September 27, 2017 4.45pm WIB

Ariel Heryanto*

Setiap masyarakat menyimpan keganjilan. Ini contoh keganjilan berganda dari Indonesia.

Di ruang publik “komunisme” menjadi topik yang super meriah. Nyaris tak ada topik lain yang lebih dibahas dalam tiga generasi paling mutakhir. Mungkin yang mengungguli popularitasnya hanya topik keagamaan, khususnya Islam.

Keganjilan pertama, sejak berakhirnya Perang Dingin topik itu memudar dalam percakapan dunia. Tapi topik ini tidak pernah ada surutnya di negeri yang paling berhasil melakukan pembantaian terhadap kaum komunis.

Yang lebih ganjil, sumber bahaya yakni “komunisme” dilarang dipelajari. Buku sumber komunisme, juga Marxisme, terlarang. Bahkan sobekan sampul buku semacam itu, jika bergambar palu-arit, bisa dianggap membahayakan negara. Pemiliknya bisa diserang gerombolan preman bayaran, atau ditahan polisi.

Dalam sejarah peradaban manusia, ilmu pengetahuan dikejar demi pemahaman yang dianggap sangat penting atau sangat berbahaya. Ilmu kesehatan ditekuni karena nilai pentingnya. Berbagai kuman, penyakit atau bencana alam diteliti karena bahayanya.

Mencintai tanpa memahami sesuatu disebut cinta buta. Memusuhi tanpa memahami sesuatu namanya sikap membabi buta.

Menghasut tiga generasi bangsa ke empat terbesar di dunia ini untuk memusuhi sesuatu, sambil melarang pemahaman tentangnya, ibarat menjerumuskan masyarakat Indonesia ke medan perang, membekalinya senjata, dengan mata tertutup.

Secara hukum, larangan terhadap penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme tidak berlaku untuk kajian ilmiah, misalnya di universitas. Tetapi dalam sebuah masyarakat yang terlanjur angker dan dianggap dihuni aneka hantu, rasa takut merajalela dan bukan etika atau akal sehat.

Warisan Orde Baru

Untungnya pembodohan massal yang pernah dilancarkan pemerintah tidak pernah berhasil total. Selalu ada batasnya. Generasi muda Indonesia, seperti di mana pun, punya wawasan segar, bebas dari beban sejarah Perang Dingin yang diderita generasi terdahulu.

Apa yang terlarang membangkitkan keinginantahuan mereka. Seperti topik seks, komunisme, Marxisme, dan pembunuhan 1965 di Indonesia menjadi topik yang menggiurkan. Semakin dilarang, semakin dicari. Tapi kaum muda tidak sepenuhnya merdeka dari generasi terdahulu dan warisan politik dan elite Orde Baru.

Maka bertimbun aneka cerita tentang diskusi yang dibubarkan karena membahas komunisme, Marxisme, atau 1965. Ada polisi yang menangkap dan menyita buku, kaos t-shirt bergambar palu-arit. Kemungkinan besar, si polisi dan pemilik benda-benda yang disita sama-sama tidak pernah belajar tentang kisah di balik gambar palu-arit.

Di tahun 1990-an saya pernah mengikuti dari dekat serangkaian sidang pengadilan subversi terhadap anak-anak muda yang dituduh mendiskusikan komunisme dan Marxisme. Hingga seluruh persidangan berakhir dan vonis dijatuhkan, jaksa penuntut menolak permintaan terdakwa agar jaksa menjelaskan apa itu komunisme, dan apa itu Marxisme yang menjadi kata kunci dalam dakwaan.

Sebuah novel milik saya pernah disita petugas bea cukai di Semarang ketika saya kirim lewat paket dari negara lain. Alasannya, novel itu berjudul Atheis, karya Achdiat Karta Mihardja, yang isinya menjelek-jelekkan orang Indonesia yang terpikat pada Marxisme.

Rupanya petugas di pelabuhan itu contoh korban cuci otak dan propaganda Orde Baru yang menganggap semua pengikut komunisme atau Marxisme itu ateis. Dan yang ateis disamakan dengan komunis atau Marxis. Agaknya si petugas juga tidak tahu novel ini diterbitkan pemerintah yang mengangkat si petugas sebagai pegawai negeri. Novel itu sudah dicetak ulang belasan kali sejak diterbitkan tahun 1949, dan pernah dijadikan bacaan wajib di sebagian sekolah.

Menjadi alat politik

Jelas, kampanye anti-komunisme di Indonesia tidak akan pernah semarak sekarang jika tidak disponsori elite politik negara, dengan modal daya dan dana berlimpah.

Dalam propaganda Orde Baru, Islam dan Komunisme dipertentangkan secara hitam putih. Tetapi di kalangan elite politik negara, baik Islam maupun Komunisme sama-sama diperlakukan sebagai alat berpolitik untuk membakar emosi massa atau stigma yang dilemparkan kepada lawan politik.

Jadi, kapan Indonesia bisa reda dari hiruk pikuk hantu komunisme? Jawabnya: bila sudah ada alat lain yang bisa dimanfaatkan para politikus itu untuk ambisi politiknya. Bagi mereka tidak terlalu penting apakah itu ajaran komunisme, atau Islam. Sehingga tak perlu dipelajari bersungguh-sungguh. Yang penting sejauh mana atribut itu bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik mereka.

Selama alat pengganti itu belum ada, stigma dan hantu komunis akan terus diproduksi, disebarkan untuk mengaduk-aduk emosi dan akal masyarakat yang lembek logika.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi berkali-kali dijadikan sasaran tembak stigma komunisme oleh lawan-lawannya. Beberapa pihak menyebut serangan itu sebagai hoaks. Saya sendiri menyebutnya sebagai hoaks-ikutan. Ini sejenis hoaks yang dibangun di atas hoaks yang lain, yakni hoaks-induk.

Hoaks-induk pada tingkat dasar berupa bualan tentang komunis sebagai iblis. Sedang mereka yang membantai komunis adalah malaikat. Ketika hoaks ini sudah dirawat mapan seperti aspal, di atasnya diluncurkan aneka hoaks generasi berikut, yakni hoaks-ikutan. Misalnya hoaks yang mengaitkan Jokowi dengan komunis.

Dalam kampanye hitam ini tidak dikatakan Jokowi itu iblis. Tidak perlu, karena hal itu sudah mapan tersirat dalam hoaks-induk. Jika Jokowi dan pendukungnya hanya menampik kaitan dirinya dengan komunisme, mereka hanya mematahkan hoaks-ikutan.

Selama hoaks-induknya dibiarkan awet, aneka hoaks-ikutan lain akan muncul lagi, dan lagi, dan lagi. Apalagi Jokowi sendiri menyatakan tuduhan terhadap dirinya sebagai penghinaan. Atau dia menyatakan tekad menggebuk bila komunisme bangkit lagi.

Di tengah kekalapan massa anti-komunisme, posisi Jokowi mirip Aung San Suu Kyi ketika Myanmar dilanda kalap-massa anti-Rohingya. Bila Jokowi hanya cari selamat dan tidak menggugat hoaks-induknya, secara moral dan kesejarahan ia sudah kalah sebelum pemilu 2019 dimulai.

*Ariel Heryanto, Herb Feith Professor for the Study of Indonesia, Deputy Director Monash Asia Institute, Monash University

Sumber: TheConversation.Com

This post is also available in: English