by: Kajitow Elkayeni | September
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984), menurut para sineas memiliki tingkat artistik yang patut dipuji. Namun ada beberapa poin yang tidak ada dalam fakta sebenarnya. Prof. Salim Said memberikan pemakluman, ia menyatakan bahwa seseorang bebas berinterpretasi atas fakta sebagai bentuk olah kreatifitasnya. Saya kira ini pendapat yang berbahaya, karena kita sedang berbicara tentang sejarah.
Jika semua orang dibebaskan merekonstruksi sejarah semaunya, maka sejarah akan membingungkan. Sejarah akan jadi kubangan pembodohan. Jika seseorang ingin membuat interpretasi bebas, maka karyanya itu tak layak disebut film sejarah. Ia hanya film kreatif biasa. Apalagi jika film itu dijadikan alat propaganda Pemerintah dan militer selama puluhan tahun. Ini tidak masuk akal.
Sejarah punya kerangka, logika, keterkaitan tokoh. Sejarah tidak boleh diotak-atik semaunya. Siapapun yang ingin merekonstruksi sejarah harus menyertakan ahli sejarah. Jika ia ingin membuat sudut pandang berbeda, harus ada bukti kuat sebagai pendukungnya. Bukan asal bikin, apalagi jika dilakukan dibawah tekanan dan diedit oleh militer. Itu jelas alat propaganda, bukan bagian dari rekonstruksi sejarah dalam bentuk film.
Apalagi ketika file CIA, baik yang bocor lewat Wikileaks atau yang baru saja dibuka sendiri, menunjukkan bukti sebaliknya. Bukti-bukti lain dari memoar pelaku sejarah (seperti Kolonel Abdul Latief) justru menyudutkan Soeharto. Persis seperti tudingan Sukmawati Soekarnoputri, Soeharto adalah dalang dari peristiwa G 30 S. Peran Soeharto hanya secuil, tapi dibesar-besarkan. Ia dielu-elukan, dikultuskan, persis tokoh komunis Korea Utara.
Gatot Nurmantyo agaknya gagap dalam memahami fakta ini. Sebagai Panglima TNI, tentu ia harus melindungi bawahannya. Ia harus punya satu perintah jelas, agar bawahannya tidak kebingungan. Prajurit tidak siap dengan dinamika. Mereka bergerak dengan komando dan doktrin tunggal. Menurut Gatot, film itu adalah bagian dari doktrin tunggal tersebut. Perintah kepada tiga matra TNI sekaligus secara resmi untuk mengadakan nonton bareng film G 30 S, sebagaimana yang beredar di internet, dianggap keputusan yang tepat.
Banyak orang berasumsi atas prilaku Gatot ini. Sebagian asumsi mengerucut pada kepentingan Pilpres 2019 mendatang. Apa yang dilakukan Gatot itu dianggap upaya menaikkan posisi tawarnya (bargaining position) sebagai salah satu kandidat. Gatot seolah hendak mengejar momentum. Tinggal setahun lagi masa aktifnya sebagai prajurit TNI. Sementara Prabowo semakin kehilangan karisma. Naiknya nama gatot tentu akan sangat diperhitungkan. Semua pihak membutuhkan figurnya. Dengan reaksi kerasnya itu, Gatot akan mendapat kepercayaan dari kaum phobia PKI.
Jika Jokowi memecatnya sekarang, dengan sedikit trik seperti SBY yang menghiba dizalimi atau meniru jejak siluman Soeharto dengan membuat chaos, ia akan menuju puncak singgasana sebagai orang nomor satu dengan sangat mudah.
Sejarah kita dipenuhi pengelabuan, distorsi, pembungkaman. Termasuk film sejarah yang cacat bernama Pengkhianatan G 30 S/PKI. Semua pihak dalam lembar sejarah yang buram itu menyumbang kesalahan mereka masing-masing. Kesalahan itu harus diakui, dimaafkan, tapi tidak boleh dilupakan. Baru kita bisa masuk babak baru bernama rekonsiliasi. Namun anasir-anasir Orba ingin sekali membungkam kesalahan sejarah itu. Mereka tak ingin mengakuinya, untuk generasi esok yang lebih baik.
Usul jokowi tentang pembuatan film baru, saya pikir tidak terlalu buruk. Ya, pendapat itu hanya komunikasi politik. Bahkan bisa dijadikan pembenaran bagi propaganda sejarah yang dibuat Soeharto dan CIA. Namun setidaknya bisa dijadikan opsi lain, daripada harus menonton ulang film menjijikkan yang dibuat Arifin C. Noer itu. Jika film itu jauh dari espektasi, penonton akan menghakiminya. Generasi youtubers sekarang ini berbeda jauh dengan angkatan 65. Mereka lebih kritis dan punya banyak pilihan. Jika Gatot dengan kekuasaan yang dimilikinya menyerukan menonton G 30 S, mereka tanpa bersusah payah bisa menonton film Jagal ( The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence) setiap saat. Tanpa perlu surat perintah.
Pernyataan Gatot, apalagi komentarnya, “…emang gue pikirin” itu tidak tepat konteks, bahkan arogan. Di jaman sesudah ambruknya rezim otoriter Orde Baru, Gatot terlihat gagap sejarah. Di saat semua mata menelanjangi Pemerintah dan militer, tidak bijak rasanya berakting masih hidup di jaman pembungkaman Soeharto. Gatot boleh memoles citra demi kepentingan politiknya, tapi semestinya tidak mengorbankan luka masa lalu. Ada ribuan nyawa terbuang sia-sia. Baik dari kubu kanan maupun kiri.
Luka sejarah itu, kalau belum bisa diobati, jangan pula terus digarami. Dengan instruksi nobar film G 30 S itu saja, seolah-olah hendak mengajak kami masuk ke dalam masa kecil penuh trauma. Mengulang-ngulang kalimat menjijikkan dalam film sampah G 30 S karya Arifin C. Noer, “Darah itu merah, Jenderal…”

Sumber: Seword.Com

This post is also available in: English