By Australian journalist Frank Palmos: first witness to 1965 Indonesian massacre

By Australian journalist Frank Palmos: first witness to 1965 Indonesian massacre

Suatu hari saya ditanya oleh seorang anak muda, yang sudah cukup lama saya kenal. Dia suka mendengarkan cerita saya, dia mengatakan cerita-cerita kami membuat dia menjadi lebih mengerti bagaimana suatu peristiwa dalam sebuah sejarah terjadi dibanding dia harus membaca buku.
Sehingga dia dapat melihat sejarah dari dua sisi yang berbeda, tidak hanya mendapat informasi dari satu sisi apalagi terkait dengan peristiwa 1965. Dan bagaimana dia sangat menghormati perjuangan kami, buat saya itu sudah cukup memberi  semangat. Karena memang tidak banyak anak muda yang mau tahu apa sih yang sedang kami perjuangkan.
Sore itu kebetulan kami hanya berdua di kantor tempat kami biasa berdiskusi, tiba-tiba dia bertanya ke saya…”Om…mau tidak kalau saya minta cerita Om dari awal ketika pertama kali Om dinyatakan sebagai salah satu orang yang harus ditangkap, sampai akhirnya Om dibebaskan?”
“loh selama ini kan kamu sudah dengar seperti apa cerita saya…”.
“Iya sih Om….tapi saya kan mendengarnya cuma sepotong-sepotong, kali ini saya mau dengar utuh Om. Siapa tahu ini bisa jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang terutama anak muda..”.
“Lalu saya harus mulai dari mana..?”
“Ya sudah, gimana kalau Om jawab saja pertanyaan dari saya?”
“Boleh juga seperti itu”.
“Oh iya Om, nanti saya rekam ya…”.
“Boleh…boleh…”.
Kamipun berdialog panjang tentang bagaimana pengalaman saya dari sebelum tahun 1965 sampai sekarang (2013). Terkadang dia tertawa, bukan karena mentertawakan cerita saya. Tapi kadang memang saya menyelingi cerita-cerita lucu saja. Tanpa terasa hari sudah menjelang malam, kamipun harus kembali ke rumah kami masing-masing.
Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi, dia menyodorkan tulisan yang katanya hasil wawancara dengan saya waktu itu. Dia minta saya membaca kembali hasil tulisannya, kalau ada yang terlewat mungkin bisa ditambahkan.
Sekilas saya membaca judulnya “SEJUJURNYA, AKU INGIN ENGKAU BERKATA JUJUR SEJUJUR-JUJURNYA”.  Judul yang agak aneh, tapi cukup menarik perhatian.
 
Jozef Beinhard Kalengkongan: Aku Ingin Engkau Berkata Jujur, Sejujur-Jujurnya
Nama saya Jozef Beinhard Kalengkongan, memasuki usia 74 tahun di tahun 2013 ini.  Saya bersyukur masih diberikan kesehatan oleh Tuhan. Hanya saja saya sudah tidak bisa makan sayuran tertentu, maklumlah sudah lama saya bersahabat dengan si asam urat. Tapi soal pedas saya masih nomor satu, karena orang Sulawesi Utara tidak bisa lepas dari rica (cabai). Istri saya satu dan masih setia mendampingi saya sampai sekarang, usianya 72 tahun. Pada bulan November 2012, baru saja diwisuda S1 nya di Universitas Negeri Manado (UNIMA ) jurusan Keguruan Ilmu Pendidikan (KIP). Fisik boleh tua tapi jiwa kami tetap muda.
Anak saya ada empat (4) orang. Anak pertama perempuan namanya Suryati, pendidikan terakhir insinyur pertanian. Pekerjaan wiraswasta penata kecantikan. Anak kedua laki-laki namanya Ato Pendidikan terakhir kedokteran, pekerjaan Dokter Umum. Anak ketiga, laki-laki namanya Surya pendidikan terakhir SMA; kuliah tidak lanjut karena ketiadaan biaya, pekerjaan berdagang. Ke empat, perempuan namanya Sari, pendidikan terakhir SMK kecantikan pekerjaan penata kecantikan bersama dengan anak pertama.
Saya lahir di desa Motoling, Minahasa Selatan Sulawesi Utara pada tanggal 6 April 1937. Ayah saya bernama Eli, beliau seorang pemimpin gereja. Ibu saya bernama Bina Paat. Beliau seorang ibu rumah tangga tulen. Saya anak ke 4 dari 8 bersaudara. Tapi yang saya tahu sekarang tinggal dua adik, perempuan dan laki-laki yang bungsu, mereka tinggal di Minahasa Selatan.
Saya masuk Sekolah Rakyat (SR) tahun 1944 di Motoling, kemudian melanjutkan ke SMP tahun1950 di Motoling. Tahun 1953 masuk SMA Insula (Institut Sulawesi) jurusan B di Makasar. Karena tidak punya saudara maka saya kos. Saya sempat kuliah di Universtas 17 Agustus Fakultas Pers Jurnalistik, tapi hanya sampai tingkat dua (1956-1957). Karena sewaktu masih kuliah saya sudah bekerja menjadi wartawan surat kabar harian Marhaen (1956-1961). Lalu saya dipilih oleh pimpinan redaksi menjadi wartawan perang Komando Daerah Pertempuran SULUTTENG di Sulawesi Selatan (KDPSST), dalam rangka penumpasan gerombolan DI/TII tahun (1956-1957). Pada Maret 1958 bertempat di Markas Perwakilan Komando Operasi Sadar Sulawesi Tengah di Jl. Kutai 74 Surabaya, saya dilantik sebagai Letnan Satu Tituler oleh Mayor Jendral A. H. Nasution dan menjadi wartawan perang komando operasi sadar untuk penumpasan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA ) di Sulawesi Tengah. Kemudian berlanjut menjadi wartawan perang komando operasi Sapta Marga III di Gorontalo, operasi  penumpasan Permesta ditahun yang sama (1958). Terakhir wartawan perang komando operasi merdeka di Sulawesi Utarara (SULUT) Manado, Minahasa, Bitung,  masih di tahun 1958-1961. Tugas saya sebagai wartawan perang adalah memantau penumpasan DI/TII dan PERMESTA. Kadangkala saya berada pada dua kelompok yang saling menembak dan biasanya berada di daerah perkebunan atau hutan. Berhari-hari  berada di lokasi pertempuran. Cara palaporan berita  melalui telegram lewat kantor pos.
Di tahun  1956 saya aktif di Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat (PAPIB) Propinsi Sulawesi Selatan di Makasar.  Tahun 1957 aktif di Sekretaris Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKS-PM) Sulawesi Selatan di Makasar. Tahun 1958 menjadi Wakil Ketua Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKS-PM) Sulawesi Utara di Manado.
Lalu ketemu istri saya  di sekitar tahun 1958. Waktu itu dia masih sekolah di Sekolah Guru Atas (SGA) Katholik Manado. Setiap hari saya antar jemput dia dengan sepeda hingga dia melanjutkan kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Hasanudin (FKIP UNHAS) di Manado. Dulu ada program kuliah kelas jauh. Waktu itu saya sudah bekerja menjadi wartawan perang yang sudah ditugaskan di Manado. Kemudian saya juga melanjutkan kuliah di Universitas Pinaesaan, jurusan Hukum. Belum sampai selesai kuliah di jurusan hukum, tahun 1962 saya memutuskan untuk menikah. Lima (5) tahun kami bertunangan, akhirnya memutuskan menikah. Karena calon mertua tidak suka saya pakai baju hijau (baju tentara), lalu saya mencari pekerjaan lain. Jadi sejak tahun 1961 akhirnya saya melamar menjadi guru SMP, mengajar di SMP Kristen bersubsidi, Manado. Saya mengajar Bahasa Indonesia, sejarah umum, sejarah dunia dan civic.
Selama menjadi guru saya aktif di organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia Non Vaksentral (PGRI NV), organisasi pecahan dari PGRI karena tidak setuju atas pilihan PGRI berafiliasi pada organisasi lain. Sementara PGRI Non Vaksentral ini setuju dengan program PKI tapi bukan underbow PKI.
Pada tanggal 30 september 1965 ( peristiwa itu sebenarnya terjadi sesudah jam 24.00, berarti sudah masuk tanggal 1 Oktober.) terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan di Jakarta, yaitu penculikan dan pembunuhan 7 Petinggi Angkatan Darat . Pagi  tanggal 1 Oktober 1965, seperti biasa saya masih melaksanakan tugas mengajar. Di sekolah saya mendengar dari teman-teman guru tentang peristiwa di Jakarta itu. Tidak sampai selesai jam sekolah saya izin pulang dan mencoba mencari tahu kejadian yang sebenarnya ke teman-teman yang aktif di partai (PKI).
Pertama saya mendatangi rumah bung Herman Siwu seorang anggota DPRD Provinsi yang mewakili PKI, di Jalan Bethesda Manado. Beliau juga hanya mendengar di radio tapi belum tahu rinci peristiwa itu. Ia masih menunggu klarifikasi atau pemberitahuan dari CC PKI ( Kantor Pusat PKI) di Jakarta dan menyuruh saya pulang sambil menunggu komando selanjutnya.  Kemudian saya menemui bung Jhon Umboh di rumahnya di Ranotano. Dia ketua Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) SULUT sekaligus kader PKI juga.  Ternyata dia juga belum mendapat informasi dan perintah untuk melakukan apa pun terkait peristiwa di Jakarta.
Keesokan harinya saya masih tetap pergi mengajar, semuanya berlangsung normal hingga sampai tanggal 9 Oktober 1965, walaupun   keadaan mulai memanas ketika tanggal 4 Oktober mayat jendral-jendral diketemukan. Pada saat itu Soeharto mengatakan, kemaluan-kemaluan jendral dipotong, disayat oleh Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Jadi saya pikir siapapun orang Indonesia yang mendengar berita ini pasti timbul amarah.
Sejak tanggal 5 Oktober, sudah mulai terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengaitkan peristiwa yang terjadi di Jakarta dengan PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab. Puncaknya penyerbuan, pengambilalihan, pembakaran gedung kantor Comite Daerah Besar (CDB) PKI Sulawesi Utara dan Tengah (Sulutteng) pada tanggal 7 Oktober. Aksi itu dimotori oleh tentara dan dibantu organisasi pemuda seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Pemuda Pancasila.
Lalu saya datang ke sekolah berencana mau pamitan ke teman-teman guru di sekolah, yang kebetulan mereka adalah aktivis IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia/ Pemuda Pancasila). Lalu ada teman-teman guru yang Pemuda Pancasila bilang, “Bapak nginap saja di sekolah”. Saya disuruh tinggal di sekolah, tidak ada yang mau ganggu…betul..sebab mereka mau melindungi saya. Dua hari saya tinggal di sekolah. Tiba-tiba ibu saya datang sambil berteriak-teriak “lari kamu..kamu mau dibunuh, kamu mau digantung…”. Beliau datang dari Minahasa Selatan untuk berjualan telur ayam kampung dan gula aren di pasar 45 di pusat kota Manado. Belum sempat berjualan, beliau mendengar pengumuman dengan pengeras suara. “bunuh Nico Mamoto pimpinan Partai Nasional Indonesia, Tangkap Yan Joshua pimpinan PKI…”. Lalu diantara nama-nama itu ada nama saya..”gantung Yosef Kalengkongan..”.
Sebelumnya memang saya sudah merasa akan ditangkap karena pada tanggal 27 September saya memimpin aksi demonstrasi di Manado. Tuntutan aksi : Turunkan  harga dan tarif kendaraan umum, yang hadir kira-kira 2000an, yang  memang pada waktu itu merupakan satu-satunya demonstrasi yang terbesar. Tapi itu tidak mewakili partai apapun, itu gabungan masyarakat. Waktu itu tarif kendaraan mahal, barang-barang semua mahal. Jadi kita menuntut turunkan harga.
Tanggal 9 Oktober saya memutuskan melarikan diri, ke kampung ibu di Minahasa Selatan. Sementara istri,  saya suruh pulang ke kampung orangtuanya di Tondano bersama dua anak saya. Kebetulan istri saya juga guru, tapi dia tidak ditangkap hanya diberhentikan. Karena memang dia tidak masuk dalam organisasi apapun. Saya lari menuju kebun-kebun di daerah pinggiran Manado karena tak ingin diamuk massa yang sudah terlanjur kalap di bakar emosi.
Di persembunyian inilah saya bertemu Herman Siwu anggota DPRD Sulawesi Utara, Jhon Umbo guru SMEA ketua organisasi CGMI, Sam Solang Ketua Pemuda Rakyat Suluteng, Wellem Tan bukan PKI dia pengusaha tapi Cina karena takut dia ikut lari, Alo Rembet aktifis PKI. Akhirnya kami menjadi satu rombongan yang berpindah-pindah dari satu kebun ke kebun lain.
Sebenarnya mungkin kami tidak akan tertangkap kalau lebih berhati-hati dan waspada. Apalagi terhadap ibu-ibu yang berjualan makanan yang kami temui sepanjang perjalanan. Kami dengan mudah bisa tertangkap oleh pemuda-pemuda dan polisi. Karena ternyata dari cerita ibu-ibu tersebut, bisa memastikan bahwa kami memang rombongan yang sedang melarikan diri. Kebetulan di antara ibu-ibu itu juga ada yang anaknya pimpinan komando pemuda anti G30S.
Pada tanggal 18 Oktober 1965 sekitar jam 3 sore, kami dikepung dan ditangkap. Mereka dari kelompok pemuda, ada Ansor, pemuda GAMKI Kristen, pemuda Katolik dibantu tentara di bawah Komandan Komando Rayon Militer (KORAMIL), Letnan TNI Ngantung dan Kepala Polisi Sektor (POLSEK) Kecamatan Pineleng Inspektur Polisi Wollah. Penyergapannya di sekitar area persawahan dekat Sekolah Tinggi Filisafat (STF) Seminari Pineleng ketika hendak menuju pegunungan Lolombulan.
Nah waktu kami ditangkap, polisi dan pemuda membawa kami ke kantor koramil/kantor militer Pineleng. Di sana sampai malam sekitar 4 jam. Waktu mau makan kami tidak mau makan. Takut toh…takut diracun..lalu ini pemuda Ansor, dia bilang “makan..”. karena kami tidak mau makan, dia lebih dulu makan. Dia makan lauk pauk lalu nasinya, dia kasih contoh bahwa makanan ini aman.
Sesudah  makan, baru tangan kami diikat semua. Di antara pemuda-pemuda yang menangkap kami, ada yang kasar sekali..”ayo mau diperiksa…” padahal ketika mereka bicara keras begitu, mereka mau melonggarkan ikatan. Jadi di antara mereka itu ada seorang yang murid saya. Juga ada murid John Umboh yang ketua PGRI dan guru SMEA.
Anak-anak muda ini bicara kasar “jangan lari kamu”. Periksa-periksa tali tapi dia berbisik,dia bilang “bapak tangannya jangan begini yah (maksudnya dibuka kepalannya)…tetap seperti diikat…” padahal talinya dia sudah buka…tapi dia punya kata-kata..”diikat kamu, jadi jangan lari…” dia buka, sebab waktu diikat oleh militer, memang  tangan biru-biru seperti darah mati
Sekitar jam 10 malam kami dijemput dengan mobil dibawa ke Kodim Manado. Di tempat ini tidak sampai  dua jam,  lalu kami dibawa ke penjara ( yang sekarang dikenal dengan nama Gedung Juang ) atas perintah Letnan Kolonel Rauf Moo selaku komandan Kodim. Tiba di penjara kami menjumpai belasan tentara yang sedang menjalani hukuman kasus pidana penyelundupan. Tentara-tentara itu sudah ditugaskan oleh bagian intel Komando Daerah Militer (KODAM) XIII Merdeka, Sulawesi Utara Tengah untuk melakukan penyiksaan kepada semua kader ataupun simpatisan PKI yang sudah tertangkap dan berada  di penjara.
Di penjara tidak ada interogasi, yang ada cuma memaki dan memukul. Kalau kami disuruh ke lapangan, berarti kami harus lari berkeliling lapangan. Ketika kami lari-lari, ada petugas yang duduk-duduk di pinggir lapangan sambil memegang kayu untuk dipukulkan di tulang kering, dan tangan.
Di penjara tiap blok punya WC, lalu semua kotoran itu mengalir di got besar menuju ke satu septictank yang besar.  Dari berapa puluh kamar menuju ke situ. Ada seorang teman kami, Derek Wondan, anggota Comite Sub Seksi Kecamatan Tomohon. Pada suatu ketika Bapak Derek dimasukkan  ke dalam bak kotoran itu. Bak kotoran yang setinggi leher. Para penyiksa ini sudah tes lebih dulu dengan tongkat. Jadi bapak Derek Wondan itu, kalau dia menunduk, mukanya akan masuk ke tai (kotoran). Kotorannya sebatas dagu, sehingga mukanya harus tegak terus. Kalau tidak, akan kemasukan kotoran.
Bayangkan bagaimana tersiksanya Bapak Derek saat itu, tidak hanya menahan kepalanya untuk tetap tegak tapi juga bau yang keluar dari kotoran. Kira-kira 3 sampai 4 jam di dalam bak, lalu ada salah seorang petugas yang datang dan berkata, “sudah angkat saja..”.
Pengalaman saya sendiri, ketika awal saya diinterogasi mereka langsung bilang..”kamu PKI, pembunuh jendral, komunis tidak bertuhan” mereka tidak mau percaya kalau saya bukan PKI…Meskipun saya jawab, “saya bukan PKI..”  dia tidak mau pusing, pokoknya dia siksa saya.
Empat  hari kemudian saya dan beberapa orang yang tergabung dalam satu rombongan sewaktu ditangkap pertama, diambil dari penjara dibawa ke markas Resimen Tim Pertempuran (RTP) I Sulawesi Utara. Markas ini juga markas Komando Operasi Tertib Wilayah I yang meliputi Sulawesi bagian utara dari Talaud, Sangihe, Minahasa, Manado, Bolaang Mongondow dan Gorontalo.
Rupanya ada yang melapor kepada panglima bahwa kita orang ini mau dibunuh semua di sana, dan ada yang sudah mati dalam tahanan. Yang meninggal itu Willem Tan yang orang Cina waktu sama-sama lari. Sementara keadaan saya sendiri juga sudah sangat mengenaskan. Tangan ini sudah membesar seperti paha, bengkak. Lalu kami diperiksa oleh dokter di RTP. Lalu perwira-perwira itu bilang..”angkat tangan, coba gerakan kelingking, gerakan jari tengah..”. Kesimpulan dari dokter tidak ada yang patah, karena masih bisa digerakkan.Sebab kalau ada yang patah, putus syaraf tidak boleh diperintah lagi. Selama tiga bulan kami di RTP terhitung Oktober, November, Desember, Januari. Akhir bulan Januari kami dipindahkan kembali ke penjara pertama.
Selama di RTP, nasib kami tidak menjadi lebih baik. Tiap hari kita diperiksa, dengan pertanyaan yang sama dan kadang tidak masuk akal hanya untuk mencari alasan menyiksa. Seperti..,”dimana disembunyikan senjata…”. Tentu saja saya jawab tidak tahu dan memang tidak ada, setelah saya bilang tidak ada justru lebih dia beringas.
Disetrum, Ibu jari kaki diletakkan di kaki meja kemudian mejanya diduduki, dipukul,menjadi sesuatu yang biasa buat kami. Pokoknya di Korem ini kami lebih disiksa lagi tapi kalau ini yang melakukan memang petugas. Tiap hari sekitar satu jam kami harus menerima siksaan-siksaan ini, siang malam. Waktu penyiksaan tiap harinya tidak pernah sama, semau mereka. Sesuai dengan mereka punya selera, panggil pagi boleh, panggil malam boleh. Karena di RTP banyak sekali tahanan jadi bisa 24 jam penyiksaan itu, setiap orang minimal satu jam saja.
Alat setrum yang digunakan di militer ini adalah semacam alat telepon yang diputar secara manual dan menggunakan batu baterai, lalu ujung kabel itu yang mengandung setrum. Jika batu baterainya baru, setrumnya tidak begitu menyakitkan tapi kalau baterainya sudah bekas maka setrumnya semakin terasa sakit. Biasanya yang disetrum tangan, tetapi sering kalau perempuan di buah dada, laki-laki di kemaluan.
Waktu diinterogasi dalam ruangan itu kadang-kadang sendiri kadang-kadang berdua. Pernah saya diinterogasi satu ruangan dengan satu anak gadis. Saya bilang anak gadis, memang saya lihat masih muda sekali. Waktu itu sayakan sudah menikah, jadi saya pikir beda jauh usianya dengan saya. Anak gadis ini berasal dari desa dan dia anggota biasa Pemuda Rakyat. Sebuah organisasi pemuda tapi bukan pengurus juga. Bayangkan ini di desa, entah bagaimana dia ditangkap. Dia duduk di sebelah saya, kami tidak boleh baku (saling) tengok. Jadi waktu dia disuruh buka blus, rupanya dia tidak mau. Akhirnya juga terpaksa dibuka. “buka BH” teriak mereka. Kemudian pemeriksa itu bilang ke saya,  “silakan kamu tengok..”. saya tidak mau tengok, dia pukul saya,”bandel kamu”. Lalu perut saya ditinju, kaki saya dipukul pakai rotan….uuh, saya meringis kesakitan, tapi saya tetap tidak mau melihat.
Lalu yang lebih menyiksa lagi begini, ini lima jari, ada 4 pensil diletakkan disela-sela jari…aduh…siksa sekali itu..lalu diremas dengan  mengepalkan tangan. Tersiksa sekali.
Tiba-tiba saya dibentak lagi, “Tengok..”.
Saya tetap bertahan untuk tidak melihat. Kenapa saya berani melawan, karena saya dan teman-teman di penjara punya pikiran dan perasaan memang tidak akan pulang lagi ke rumah. Sehingga kami merasa mati hanya tinggal menunggu giliran saja. Jadi kita punya sikap tidak perlu menghormat petugas, tidak perlu, memang kita rasa pasti mau dibunuh. Lain hal kalau tadinya kita pikir ada yang tidak akan dibunuh, mungkin  bisa kita layani. Saya pribadi berpikir seperti itu, jadi saya juga keras.
Lalu mereka teriak lagi, “coba tengok…”
Saya tidak bilang tidak, tapi saya tidak mau tengok. Dia ambil saya punya badan dengan paksa menghadap ke anak gadis tadi, lalu saya bilang ke perwira itu…”saudara…saya tahu saudara dilahirkan oleh seorang perempuan. Saudaran punya ibu, perempuan. Jadi kalau saudara bukan dilahirkan oleh seorang ibu silahkan teruskan…”
Masalahnya begini….saya sudah kawin toh waktu ditahan, jadi saya bisa bedakan itu nona yang so kawin atau dia belum kawin tapi so tahu “batona”. Ini nona pe putting..eh..itu kopral masih mau pegang, mau kasih keluar apa tuh..depe putting susu, karena memang belum pernah “batona” nihperempuan. Maksudnya mau kasih keluar puting susu, mau ikat akang kabel…beda kalau sudah pernah menetek..ini memang masih dipegang mau dikasih keluar lalu ikat tuh kabel.*
*(masalahnya begini…saya sudah menikah waktu ditahan, jadi saya bisa membedakan gadis yang sudah menikah atau belum tapi sudah tahu “pacaran”. Puting gadis ini…eh..itu kopral masih tetap mau pegang, untuk mengeluarkan puting susu, untuk diikatkan kabel. Beda kalau sudah pernah menyusui..ini masih tetap ditarik keluar untuk diikat kabel).
Nah sekarang masalahnya, sedangkan ketua pemuda rakyat di Kabupaten itu saja belum tentu tahu soal  senjata ini. Terbukti sampai sekarang tidak ada senjata itu, tapi andaikata betul ada, tidak mungkin ini perempuan tahu. Dia cuma anggota biasa, bukan pengurus ranting, bukan pengurus kecamatan, bukan pengurus kabupaten, masa dia tahu itu logika saya.Sebenarnya logika dari petugas, juga seperti itu.Dia tidak tahu apa-apa, tapi tetap dipaksakan.
Sementara gadis itu hanya bisa berteriak kesakitan dan sesekali bicara…”saya tidak tahu…saya tidak tahu…saya cuma anggota…” Akhirnya saya sempat melihat bagaimana dia jatuh ke lantai dan terbanting-banting kemudian mengejang pingsan ketika disetrum. Saya masih ingat nama-nama tentara yang menyiksa kami. Letnan Sangit, Sersan Mayor Saragih dan Letnan Kolonel Supomo.
Di RTP selama satu bulan kami berenam tinggal di WC yang berukuran 1,5 m X 1,5 m. Dalam ruangan ada WC, ada bak air sepanjang ruangan dengan lebar 40cm tinggi setengah meter. Pada awal kami masuk keadaannya masih bersih, ada air sekitar satu jengkal. Karena selama satu bulan itu tidak pernah ditambah air, maka kotoran kami menjadi menumpuk. Satu minggu pertama kami masih merasa risih tapi selanjutnya menjadi terbiasa. Bahkan ketika kami tidur kadang ada ulat-ulat keluar dari kotoran menggerayangi kami. Selama satu bulan itu kami tidak pernah dikeluarkan kecuali kalau ada panggilan interogasi. Seminggu kadang dua kali saya dipanggil, jatah makan sehari satu kali. Ada dua ventilasi dalam ruangan satu di atas pintu, satu lagi di atas bak air. Itu makanya kalau ada yang sudah mulai sesak napas, gantian berdiri di atas bak air untuk menghirup udara di lubang udara. Kalau tidur kadang kami bergantian, atau kalau malam diatur sedemikian rupa. Ada yang kakinya di atas bak mandi, di atas WC. Untuk mengurangi bau dari kotoran biasanya kami buang puntung rokok ke dalam WC.
Saya ingat tanggal 31 Januari 1966, baru saja kami sampai di penjara Manado, belum sempat kami masuk ke sel, ada pengumuman dari kantor penjara terkait pemanggilan nama-nama.
Terdengar suara: ”dengar nama-nama ini…Siapa yang namanya dipanggil siapkan barang-barang..”. Biasanya kalau begitu mungkin mau bebas. Sementara memang yang dipanggil,  semuanya ketua-ketua atau orang-orang penting di organisasi. Ketua PKI Sulawesi Utara, Ketua Partai Nasional Sulawesi Utara… Semuanya  47 orang yang dipanggil. Di antara nama-nama itu ada Herman Siwu, Jhon Umboh. Terdengar omelan dari orang-orang di dalam penjara…merasa kesal dan dongkol : “uh…kok yang mau dibebasin yang tokoh-tokoh, sementara kita cuma kroco kok tidak dipanggil . Termasuk saya.”
Semua yang namanya dipanggil diharuskan melewati portir penjara langsung dan naik ke mobil yang sudah disiapkan oleh militer. Ternyata mereka yang dipanggil 47 orang ini bukan bebas,… tapi pergi ke tempat pembunuhan karena mereka tidak kembali. Beberapa anggota keluarga korban yang sempat datang menjenguk saya, diantaranya istri Herman Siwu dan Jhon Umboh mengatakan bahwa semua keluarga mendapat sebuah surat dari Letnan Kolonel Ichdar selaku Komandan Komando Tertib (KOTIB I) KODAM XIII Merdeka. Isi suratnya pemberitahuan bahwa telah terjadi kecelakaan kapal laut yang menenggelamkan seluruh penumpangnya ketika akan menuju ke sebuah pulau pengasingan di daerah Sangir Talaud.
Saya secara pribadi memang dipanggil oleh salah satu tentara yang menjaga kami, berdua dengan bapak Fatah guru SMAN Manado. Dia orang Jawa, mungkin dia dulu Pemuda Rakyat lalu jadi tentara sebelum peristiwa atau bapaknya di Jawa sana terlibat jadi dia merasa ada kedekatan dengan kami. Dia kasih tahu saya bahwa dia salah satu yang melaksanakan perintah pembunuhan terhadap 47 orang itu di Tomohon, dulu itu namanya  Kantor Rindam, kantor resimen induk KODAM XIII Merdeka oleh sebuah kesatuan Zenit Tempur (ZIPUR) yang dipimpin oleh Kapten Kosim. Dikemudian hari Kapten Kosim sempat menjabat komandan KODIM (Dandim) di Madiun, Jawa Timur dengan pangkat Letnan Kolonel.
Jadi tentara ini pelaku langsung, dia bercerita bagaimana mereka diperintahkan membunuh tidak dengan ditembak, tidak ditusuk, tapi mereka disuruh berjalan di lubang yang sudah digali. Alat berat sudah menggali saluran setinggi orang, lalu ketika mereka pura-pura disuruh pindah ke tempat lain dari kamar interogasi melalui jalan lorong. Waktu di lorong itu, tentara-tentara yang ditugaskan, mereka sudah berdiri di tanggul dengan pentungan besi. Jadi tidak ditembak, tidak ditusuk, tapi dipukul dengan pentungan besi. Sampai pas ditimbun ada yang sempat masih hidup.
Mereka ada yang Kristen, dan Islam. Dari Gorontalo banyak yang Islam. Waktu mau ditimbun ada yang berteriak…”Yesus..”, dia orangnya tinggi besar, putih dan lebih sering berbahasa Belanda. Itu benar karena memang dari 47 orang itu ada yang ciri-cirinya seperti itu namamya Bert Waroka anggota dewan pemerintah Provinsi sekaligus pimpinan PKI. Meninggalnya 47 orang tersebut dipertanggungjawabkan oleh pihak militer, dengan kebohongan bahwa mereka tenggelam di laut.
Sekarang, andaikata betul mereka tenggelam di laut, mengapa sampai sekarang ini belum pernah kami dengar ada perusahaan perkapalan swasta yang disewa oleh Kodam yang menuntut ganti rugi. Atau belum pernah kami dengar sampai sekarang ini, istri-istri dari prajurit-prajurit pengawal ini yang suaminya mati tenggelam bersama kapal, yang menuntut ganti rugi.  Tidak pernah ada tuntutan begitu dari orang-orang bersangkutan. Jadi memang tidak benar itu kecelakaan di laut, yang benar memang dibunuh.
Pada saat saya diperiksa di kantor Polisi Militer (POM), giliran saya punya kemaluan yang disetrum. Tempatnya memang kantor polisi militer tapi yang memeriksa saya “Tim pemeriksa TEPERDA, Tim Pemeriksa Daerah”. Yang memeriksa saya seorang perwira namanya  ‘Mayor Bimo’. Memang sangat kejam sekali orang ini.
Dia perintahkan saya begini…”sebutkan 10 anggota ABRI yang saudara kenal”. Kalau cuma sekedar kenal banyak yang saya kenal. Puluhan bahkan ratusan mungkin, tapi saya tidak mau bilang. Sebab, saya ini tahanan politik, kalau saya sebutkan nama seseorang ini kaitan dengan politik. Nanti dikira dia juga teman saya. Saya tidak mau gara-gara mulut saya lalu ada istri orang lain tersiksa, atau anak orang lain tersiksa karena dia punya ayah berteman dengan seorang tahanan politik.
Waktu dipaksa saya cuma bilang begini, ”Contoh waktu saya masih bujangan di Makassar…e’..orang Manado kan suka makan ikan anjing toh..di Makassar banyak sekali anjing liar, lalu malam-malam kita mencuri anjing. Tapi masyarakat tahu, malah mereka yang membantu..mereka kasih tunjuk, ”disana yang banyak …disana yang banyak”. Kita pakai jerat malam-malam. Tidak ada yang melarang, malah masyarakat merestui kami mencuri anjing. Dari kegiatan ini lalu saya berteman seorang Brimob, polisi tentara yang orang Minahasa. Saya bilang, “kalau saya sebut mereka, yah dikira mereka ini anggota sama-sama dengan kita. Padahal mereka cuma kenalan dalam kegiatan mencuri anjing”.atau umpamanya ada teman saya teman ABRI, tinggal sama-sama di satu kompleks, kita punya tunangan sama-sama, saya tidak mau sebut.
Dia tetap memaksa saya untuk menyebutkan, karena saya tidak mau sebutkan satu orangpun kemudian saya disuruh buka baju seluruhnya. Waktu tinggal pakaian dalam saya tidak mau buka. Kami bertiga dalam ruangan, dengan satu sersan yang mendampingi mayor Bimo.
“Kamu bandel yah..” bentak Mayor Bimo
Saya jawab, “Tidak..saya menghormati bapak. Saya ini orang timur..”
“Tidak perlu saya dihormati, buka”. Akhirnya dengan sangat terpaksa saya buka. Kemudian Si sersan disuruh ikatkan kabel di kemaluan saya…tapi dia diam saja seperti tidak mendengar padahal ujung kabelnya sudah dipegang. Sekali lagi mayor Bimo memerintahkan dia seperti membangkang  tidak mau. Lalu..tiba-tiba alat setrum itu diputar oleh si mayor, jadi si sersan yang kena setrum. Karena saya kasihan sama tuh sersan, dia sudah kena setrum…saya bilang, “silakan saja sersan…”
Dia juga minta maaf, “saya minta maaf bapak, saya hanya diperintah..”
Mayor Bimo cuma mendengarkan saja. Mungkin karena dia bukan orang sini yah, dia itu orang Jawa, sedangkan si sersan orang Manado
Waduh…bukan main…rasanya saya tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata bagaimana tersiksanya itu. E’…kalau saya tidak salah hitung, mungkin 4 kali saya pingsan. Saya sudah dilantai, pingsan lagi berdiri…woo..hanya mengulang pertanyaan yang sama. Waktu itu saya dapat jam siang, jadi bayangkan saya pulang ke penjara dengan menahan rasa sakit setelah disetrum….
Hari berikutnya memang tidak disetrum lagi tapi waduh…memang disiksa, mayor ini memang benar-benar…saya tidak tahu mau bilang apa…Salah satunya seperti ini, berdiri lalu ini (sambil menunjuk ibu jari kaki) diletakkan dibawah kaki kursi lalu dia dudukin.
Saya disuruh kembali lagi besok, tapi sudah diancam dapat lagi penyiksaan yang lebih hebat dari hari sebelumnya. “kalau kamu masih bandel, tetap tidak mau menjawab apa yang saya tanyakan. Kamu akan dapat yang lebih dari hari ini.” begitu katanya.
Meskipun sebelum dipenjara saya jarang pergi ke gereja, tapi bukan berarti saya tidak percaya Tuhan. Dan juga selama di penjara saya juga tidak pernah mengikuti ibadah yang diadakan teman-teman. Dalam keyakinan saya sebagai orang kristen, jika saya berdusta maka wajar saya dipukul. Tapi ini saya jujur dan kenapa saya dipukul?
Malamnya saya belum tidur, memikirkan siksaan apa lagi yang akan saya terima. Pintu kamar terbuka, didepan ada lapangan dan ditengahnya ada tiang bendera. Lalu saya keluar, saya duduk di bawah tiang bendera. Bukan maksud untuk bersemedi, tapi mencoba merenung.
Entah kenapa akhirnya saya datang di keimanan, duduk sendirian di tengah lapangan. Suasana sunyi, tidak ada lagi suara orang-orang beraktivitas. Lalu saya berkata sendiri, “Tuhan,…kalau betul kamu ada dan kamu benar, Tuhan…Besok saya mau dipanggil ke ruang periksa, saya minta saya tidak disiksa”. Jadi dalam lamunan ini, sambil ngoceh saya bilang “ Tuhan… kalau saya disiksa karena saya berdusta saya terima, tapi ini saya bicara betul kenapa saya disiksa…?”. saya ulang-ulang terus, “ kalau betul kamu ada Tuhan, saya minta …besok saya tidak mau dipukul”. Saya ulang lagi…”kalau betul kamu Tuhan…saya minta besok saya tidak mau dipukul.” Sampai saya lelah dan masuk ke sel untuk beristirahat.
Besoknya pagi-pagi sudah terdengar dari pengeras suara, ” Josef Kalengkongan, siap”. Biasanya siap dengan pakaiaan dan lain-lain. Setiap mau pergi siap dua buah selop (sandal jepit karet), satu selop baru tidak dipakai satu selop yah dipakai. Satu selop baru itu kita pakai kalau kita mau disiksa. Untuk menahan sakit kita gigit itu selop yang kita ambil dari saku supaya bisa tahan. Dan ini pemeriksa bisik-bisik ke kita..”sudah bawa selopnya?”. Memang seperti alat kerja, setiap dapat jatah panggil yah pasti dibawa.Setelah dari penyiksaan kita simpan,…kalau cuma air liur atau apa lalu kita bersihkan, simpan bungkus dengan saputangan, atau handuk…
Sesampainya di tempat pemeriksaan, ketemu pemeriksa yang kemarin…dia langsung bertanya, ”masih bertahan pada jawaban kemarin?”
“Ya, karena itu yang benar” jawab saya
Lalu dia ambil kertas, dia kasih sama saya…”ini kertas kamu tulis sendiri jawabanmu, jam 2 saya kembali kamu sudah selesai menulis….”  Jadi apa jawaban saya, saya tulis sendiri lalu dia bilang jam 2 dia kembali. Waktu itu pemeriksaan mulai jam 9. Waktu dia keluar lalu datang ibu-ibu. Ibu kantin di kantor CPM itu membawa kue kukis  6 biji, satu kukis 2 biji jadi 3 jenis kukis 6 biji dengan kopi susu. Saya bilang,”ibu…” Dia tahu saya orang tahanan, mereka juga merasa tersiksa kalau mendengar teriakan-teriakan dari ruang pemeriksaan. ”Ibu, saya tidak bawa uang. ” Terus, ibu bilang begini, ”itu bapak mayor yang suruh…”. Bapak penyiksa itu menyuruh ibu kantin bawakan kue dengan kopi susu. Dia yang bayar. Pengalaman ini saya kaitkan dengan keimanan saya tadi malam
Lalu saya makan habis, jam 2 dia kembali. “sudah selesai?” saya bilang sudah, sudah saya tulis berlembar-lembar dan dia baca
Salah satu pertanyaannya  menyebutkan  10 orang anggota polisi atau tentara yang saya kenal.  Jawaban saya tetap tidak mau menyebutkan nama. Saya cuma menjelaskan bahwa mengapa saya tidak mau sebut nama orang-orang yang saya kenal itu. Saya takut karena mulut saya ada istri orang, anak orang lain jadi tersiksa seperti anak saya. Sebab hubungan saya dengan dia bukan hubungan politik, hubungan saya karena kegiatan mencuri anjing. Kegiatan saya dengan oknum polisi itu karena ketemu dalam kami punya pacar sama-sama sekolah perawat.
Pertanyaan lainnya seperti kegiatan sebagai wartawan perang di Sulawesi Selatan, saya tulis semua.
Lalu saya disuruh pulang begitu saja. Sejak saat itu, dimana saya lihat ada kelompok ibadah siang atau malam saya ikut. saya hanya mengucap terimakasih…”ternyata engkau Tuhan betul ada, terimakasih Tuhan”, begitu saya punya doa. Saya memang selama ini pernah atheis tapi yah…begitulah hanya jarang ke gereja…mulai waktu itu saya…waduh…mengucapkan terimakasih. Kali berikut juga masih ada penyiksaan tapi tidak seperti yang saya alami sebelumnya.
Di penjara kami dapat jatah makan dua kali sehari. Sebelum makan, itu nasi kita taruh air lalu kita goyang-goyang dan korek-korek dengan jari, maksudnya biar pasir itu mengendap didasar piring. Sebab memang tidak dibersihkan lagi berasnya dan ini bukan lalai memang sengaja. Itu makanya banyak tahanan yang dioperasi. Saya juga dioperasi usus buntu tahun 73.
Jadi kita pisahkan dulu batu-batu pasir dengan nasi, lalu lauk kangkung dengan talinya. Tali pengikat kangkung sekalian direbus. Karena tidak cukup mendapat jatah makan, biasanya teman-teman mengumpulkan sisa-sisa yang sudah dibuang seperti kulit-kulit ketimun Jepang. Mereka ambil, dicuci kemudian direbus dengan kulitnya sekaligus.
Diantara  kami  ada yang dapat kunjungan keluarga, tetapi banyak juga yang tidak. Istri saya masih rajin datang membesuk. Tidak ada jadwal tetap untuk bisa bertemu, terkadang bisa satu minggu sekali atau bahkan bisa satu bulan sekali. Tetapi mengirim makanan boleh tiap hari.
Saya ditahan sejak 18 Oktober 1965 di RTP  sampai akhir Desember 1965. Dari tahun 1966 sampai 1980 di penjara Manado. Sekitar tahun 1975, penyiksaaan sudah mulai berkurang. Sejak itu banyak pekerjaan tangan yang kami buat. Ada yang bikin kompor, alat-alat musik, pertukangan kalau yang di dalam penjara. Tapi kalau yang mau bekerja di luar yah pekerjaannya lumayan berat, kelebihannya kita bisa pulang ke rumah meskipun sebentar. Saya dapat pekerjaan memikul batang kelapa. Potongan-potongan batang kelapa dibawa ke pabrik tela. Pabrik telanya kepunyaan militer. Kalau sekarang ini batangan kelapa yang potongan satu meter dibawa dua orang. Tapi dulu dipikul oleh satu orang, angkat ke mobil. Tapi teman-teman lain ada yang dipekerjakan umpama tambang pasir, tambang batu. Yah di galian pasir begitu…
Ada teman tahanan bekas polisi dipekerjakan di galian pasir di Bitung lalu kena longsoran. Sampai sekarang orangnya lumpuh, karena tertimbun. Orangnya sampai sekarang masih hidup, anaknya baru saja menyelesaikan kuliahnya di fakultas hukum di universitas setempat.
Tahun 1977, setelah 12 tahun saya ditahan baru ada proses peradilan. Sebenarnya ini juga untuk melegalkan penahanan yang 12 tahun itu.
Saya diadili di Pengadilan Manado, didampingi pengacara tapi tidak ada pengaruhnya dengan masa tahanan saya. Ya waktu itu saya sudah menghubungkan dengan keimanan yang mulai saya yakini. Waktu disidang majelis bilang “karena saudara diancam dengan hukuman mati, dan dikenakan pasal Perpres 11/63 subversi maka saudara harus didampingi oleh pengacara”.
Yah…tuduhannya adalah karena saya seorang guru CIVIC yang dianggap merusak mental generasi muda. Mata pelajaran Civic itu yang kemudian hari dirubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan moral Pancasila. Dulu mata pelajaran Civic adalah Manifesto poltiknya (Manipol) bung Karno yang disusun menjadi mata pelajaran. Tapi mata pelajaran Civic adalah kurikulum resmi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya bilang,”Saya tidak ada uang”
”Karena saudara tidak mampu untuk membayar pengacara maka sesuai dengan undang-undang negara akan menyediakan pengacara” yang ditunjuk Bapak Julian SH.
Lalu saya bicara lagi, saya bilang…”saya merasa saya tidak perlu pembela, karena saya punya pengacara yang lebih hebat dari pembela siapapun. Saya sudah punya pembela”.
“Tadi kamu bilang tidak ada, karena kamu tahanan politik kamu sebutkan siapa pembela yang kamu rencanakan, kamu tidak boleh berhubungan dengan orang luar?”
”Pembela yang saya sudah pilih melebihi kehebatan pengacara yang ada.”
“Iya siapa?”
“Yesus. Jadi ini bukan mengada-ada tapi karena saya punya iman. Karena saya punya keyakinan, biar majelis yang mulia mau menghukum berat pada saya tapi kalau Tuhan menginginkan saya harus diringankan tapi sebaliknya walaupun majelis yang terhormat mau menghukum ringan pada saya tapi kalau Tuhan menginginkan saya harus dihukum berat itu yang terjadi. Begitu saya punya keyakinan.”
Tetap didampingi, karena hakim tidak terima. Pengadilannya sama seperti pengadilan biasa, ada saksi-saksi tapi tidak ada pengaruhnya.Sebenarnya saya sudah tahu berapa hukuman yang akan saya terima. Ada kenalan saya bilang,”Bapak punya hukuman 15 tahun, ini cuma untuk melegalkan itu penahanan”.
Saya bilang tadi saya percaya betul Tuhan mau tolong. Saya bilang sama hakim, hakimnya orang Kristen, ada satu Yoselema, Islam. Waktu saya dituntut 15 tahun tidak potong tahanan, berarti saya baru bebas tahun 1992 karena putusan tahun 1977. Saya langsung protes, harusnya saya divonis 15 tahun, tapi potong tahanan yang sudah saya jalani selama 12 tahun dari tahun 1965 sampai 1977. Sisanya tinggal 3 tahun berarti saya bisa bebas tahun 1980.
Waktu mau makan. Makan dengan hakim dengan jaksa di kantin disediakan oleh negara. Saya punya saksi, kapten polisi, kapten koramil dan ada satu komandan arsip, tiga kita punya saksi. Waktu duduk makan saya bilang,”ibu, 3 bungkus rokok dengan tambah 3 nasi”. Tapi saksi sudah pulang, setelah selesai sidang dia langsung pulang. Tapi dorang (mereka) tetap terima ini pembagian toh.
Lalu ibu menyahut yang mengurus pembagian makanan,”oh so nda ada tu orang”. (oh orang itu sudah tidak ada lagi)
“kalau so nyanda kenapa mesti bayar ini”. Sebabkan dibebankan pada terdakwa toh. Saya bilang,”ibu saya so bayar. Kita makan, kasihkan dorang pe rokok 3, dorang pe nasi 3”. (kalau sudah tidak ada kenapa harus bayar ini. Sebabkan dibebankan pada terdakwa. Saya bilang,” ibu saya sudah bayar. Yang saya makan, berikan 3 rokok mereka, 3 nasi mereka”)
Didengar oleh hakim-hakim dan jaksa yang sementara makan toh. Waktu itu ada minuman dang, minuman. Ini negara yang tanggung toh, kita minta semua. Lalu tuh hakim ketua, orang kristen ini dia punya nama Hari. Dia bilang sama saya,”katanya kamu yakin Tuhan mau tolong, baru tuntutan jaksa begitu kamu sudah menyerah..”. maksudnya sudah hilang iman. Kalau dia vonis 15 tahun tidak potong tahanan, 15 tahun lagi saya menjalani. Kong (terus) dia bilang sama saya, dia bisik,”saya hakim ketua, saya salah kalau saya mau bilang itu rahasia, pokoknya kamu berdoa saja”. Jadi tuntutan 15 tahun potong tahanan. Waktu dia vonis 15 tahun saya di tanya, apakah saya mau terima atau tolak.
Saya tanya,”Apakah 15 ini potong masa penahanan?.
Dia bilang,”potong, diperhitungkan semua”.
Saya terus maju,”saya terima”. Tapi tetap dikategorikan golongan A
Berarti 3 tahun lagi…jadi sejak persidangan itu, tinggal menghitung harilah. Karena sudah tahu kapan bebas. Tapi itu juga seringkali dipanggil-panggil juga ke Korem atau di Komando Operasi Tumpas atau Satgas intel pusat atau Teperda, diperiksa tentang orang lain. Kadang masih ditempeleng atau ditinju.
Bulan Agustus 1979 terjadi gempa bumi di Manado, membuat tembok-tembok penjara retak-retak. Khawatir akan roboh maka kami dipindahkan ke penjara baru yang belum selesai, tapi ukurannya lebih besar. Di sini satu ruangan hanya diisi 4 orang. Tanggal 17 Agustus 1980 menjadi hari yang bersejarah buat saya, karena hari itu saya dinyatakan bebas. Ternyata bebas bagi kami para tapol adalah kebebasan semu, saya masih harus wajib lapor minimal satu kali dalam sebulan ke kantor KORAMIL Manado Selatan.
Dua hari kemudian saya bertemu lagi dengan dia, kali ini kami memang sengaja bertemu untuk mendiskusikan ini. Saya langsung bertanya sama dia,”menurutmu dari tulisan ini sudah cukup membuat orang memahami apa yang sudah saya dan teman-teman alami…?”.
 
Sejenak dia berpikir…lalu dia bilang ”Mungkin ada yang kurang Om…”.
 
“Apa…?” jawab saya
 
“Tentang Tante,Om…bagaimana dia bisa bertahan menghadapi perlakuan lingkungan sekitar sementara dia harus menafkahi dua anak…?
“Kamu benar. Memang  sulit…sulit sekali…pernah ini rumah waktu masih di penjara ditanya mau jual itu rumah karena so sulit. Mungkin ada orang sudah bikin konsepnya, di penjara saya bilang tidak boleh. Bukan saya menentang. Cuma saya bilang sama dia,”kalau kamu di rumah itu (ini sekarang), biar kamu tinggal makan ketela, ubi dengan lOmbok kamu tidak malu tapi kalau jual rumah ini lalu kamu menyewa. Lalu kamu malu mau makan ketela atau ubi. Jadi tidak boleh…tidak boleh”. Saya berkeras, Ini untuk kamu tapi tidak boleh dijual. Dijual dulu biar mahal kan habis. Ini juga didorong oleh orang-orang yang kelihatannya mau menolong tapi mau menghancurkan.
Yah..seperti orang kusta, tapi saya sangat bangga dan beruntung punya istri dia. Sejak dia dipecat menjadi guru praktis tidak ada gaji yang diterima. Waktu itu dia mencoba berjualan kecil-kecilan tapi tidak mencukupi karena tidak ada yang membeli.
Tante sampai sekarang masih semangat, bayangkan sudah 73 tahun bulan lalu (Desember 2012) diwisuda di UNIMA Fakultas Ilmu Pendidikan jurusan luar sekolah. Memang dulu sebelum kita kawin dia sudah tingkat dua FKIP Universitas Hasanuddin. Tahun 2008 dia mulai kuliah lagi, dengan diwajibkan 6 semester saja. Karena ternyata waktu kuliah dulu yang sampai tingkat 2 masih diperhitungkan sehigga seolah-olah melanjutkan saja.
Tahun 2009 ada 14 guru kursus di seluruh Indonesia yang dapat penghargaan Widya Karya Bhakti Khusus dari menteri. Lalu dari 6 provinsi di Sulawesi (Sulsel, Sultra, Sulteng, Sulbar, Sulut dan Gorontalo). Cuma Tante yang dapat.
Ya pokoknya saya sangat berterima kasih kepada istri saya yang tetap tabah menghadapi cobaan waktu itu dan tetap setia sampai saat ini. Mungkin saya tidak bisa menggambarkan bagaimana tersiksanya dia dan anak-anak ketika itu tapi saya merasakan. Karena perlakuan diskriminasi ini tidak hanya di lingkungan tempat tinggal tapi juga ibadah didiskriminasi. Tapi kami yakin kalau masalah ibadah tidak ada hubungannya dengan manusia, tapi hanya kita dengan Tuhan.Tapi setelah lama kelamaan yah akhirnya sudah banyak juga orang yang berani untuk menyatakan sikap yang benar.
“Tapi akan lebih baik lagi kamu tanyakan langsung ke Tante, bagaimana situasi waktu itu ketika saya dalam penjara. Karena itu juga saya diceritakan tante waktu beliau membesuk saya dalam penjara.” Usul saya
 
“Pasti itu Om, saya akan bertanya langsung ke tante nanti…agar ceritanya menjadi lebih nyata, karena langsung dari sumbernya” katanya
Kemudian dia tanyakan apa aktivitas saya sekarang.
Saya jawab kalau aktivitas saya sejak reformasi, fulltime menyatukan diri dengan organisasi-organisasi yang memperjuangkan pelurusan sejarah, kepedulian terhadap korban pelanggaran HAM. Selain di organisasi peduli hak asasi, saya ditunjuk oleh ibu Siti Fadilla sebagai ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) sulawesi utara tahun 2010. Masih ikut-ikut aksi demonstrasi, seperti waktu demo menolak undang-undang sistem jaminan sosial nasional, menolak undang-undang no.4 th 2004. Menuntut pada presiden supaya dibikinkan peraturan tentang jamkesmas dan Jamkesda.
Sejak tahun 1999 saya mulai berorganisasi, saya mendirikan yayasan Humaniora di Manado juga mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Merah Putih. Desember 1999 saya masuk dalam bursa bakal calon Gubernur Propinsi Sulawesi Utara. Tahun 2000 menjadi pemimpin redaksi Tabloid Populer Merah Putih. Tahun 2001 sebagai Responden/Kontributor Ensiklopedia Tanah Air Indonesia (ENSTAIN) Jakarta. Mei 2005 mendeklarasikan Law Centre Tim investigasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi LSM Merah Putih di Manado. Ketua Yayasan Siloam Minahasa Selatan. Sebagai seorang Evangelis, dipercayakan menjadi ketua wilayah IV (meliputi Sulawesi dan Kalimantan) Persekutuan Pelayanan Penjara Prison Fellowship Indonesia (Internasional) sejak tahun 1999. Pada Desember 2006 menghadiri pertemuan Asia Caucus Prison Fellowship International di Singapura.
Praktis tidak ada kegiatan untuk mencari nafkah keluarga, saya minta izin dengan istri. Beliau mengizinkan dan bisa mengerti keinginan saya untuk bergabung dengan teman-teman senasib. Puji syukur pada Tuhan kami masih punya usaha sebagai sumber nafkah keluarga. Kursus dan salon masih jalan, dikelola istri dan anak. Jadi bersyukur dan terima kasih kepada keluarga yang mendukung perjuangan saya hingga saat ini.
Di lingkungan, dalam hal saling hubungan dengan masyarakat, pada umumnya mereka hormat dan segan,  bukan berarti tidak ada masalah. Tapi buat saya buat saya itu sudah cukup menjalin hubungan baik. Saya tidak punya jabatan formal tapi ternyata saya dituakan di sini. Begitu juga di daerah kelahiran saya di Motoling, Amurang Minahasa Selatan. Contohnya saja lurah-lurah itu kalau ada masalah, datang kesini minta pendapat saya. Begitu juga dengan tokoh-tokoh gereja.
Sekarang ini, baik pemerintah di Minahasa Selatan, gereja, maupun masyarakat umum tidak lagi melihat saya seperti dulu. Andaipun saya mau ikut pemilihan kepala desa di beberapa desa, umpamanya desa Kapitu Amurang, desa Towasen Amurang, desa Pondos, desa Karimbo Motoling, saya bisa memenangkan kalau saya mau.
Saat ini bukan itu yang menjadi tujuan hidup saya. Perjuangan saya untuk mencari dan mengungkap kebenaran sejarah hidup saya belum sampai pada titik yang diharapkan. Bukan untuk balas dendam tapi supaya terungkap itu kebenaran. Kan selama ini cerita tentang G30S yang tersebar baru satu versi, yaitu versi pemerintah. Mari lapang dada, hadapkan muka  juga kepada cerita dengan versi-versi lain.
Perasaan Om menceritakan masa lalu itu seperti apa Om..?
 
Yah… saya menceritakan ini, saya ingin ada orang yang mau dengar. Artinya bahwa keadaan yang kami alami waktu lalu itu memang betul-betul tidak sesuai dengan apa yang menjadi fakta bangsa yang Pancasilais. Benar-benar tidak sesuai. Luar biasa…luar biasa…diluar kemampuan orang menerima itu. Jadi saya menceritakan ini juga supaya orang bisa memahami bahwa penderitaan yang kami alami ini memang luar biasa.
Kalau soal penderitaan bathin semua bisa tahu karena kami memang terisolir  tapi kalau penderitaan fisik tidak semua orang tahu. Cuma yang mengalami. Woo…hebat sekali. Jadi saya bercerita tidak dengan latar belakang untuk balas dendam. Kalau umpamanya tidak atas dasar iman saya disiksa luar biasa. Saya bisa berpikir begini, saya ambil pisau saya tusuk dia. Kalau saya mau ditangkap saya berani jawab kenapa dulu saya disiksa tidak ada pemerintah yang mau bela. Saya bisa berbuat begitu, tapi Tuhan tidak suka dengan balas dendam. Kedua saya punya anak punya cucu, malu mereka. Dan juga saya merasa orang-orang yang pernah berbuat tidak baik pada kami ikut-ikutan atau dia juga hanya diperintah. Dan saya tidak tahu agama lain, kalau keimanan saya pembalasan diserahkan pada Tuhan.
Sejujurnya saya kecewa dan marah dengan sikap pemerintah Orde Baru. Bagaimana mereka mengambil kemerdekaan saya selama 14 tahun 9 bulan, dengan kesalahan yang mereka tuduhkan secara sepihak tanpa pembelaan. Luka fisik mungkin bisa disembuhkan tapi waktu yang terenggut tidak bisa dikembalikan. Bayangkan saya tidak bisa berkumpul dengan istri dan anak layaknya sebuah keluarga. Saya tidak bisa memeluk anak saya ketika mereka menangis saat terjatuh belajar naik sepeda. Mencium mereka ketika mereka berangkat tidur, atau mengantar mereka pergi sekolah. Bukankah itu salah satu fase penting untuk setiap manusia dalam perjalanan hidupnya.
Terlebih menyakitkan lagi saya tidak bisa membela ketika anak dan istri saya diperlakukan seolah-olah penyakit menular yang harus dijauhi. Mendengar cerita mereka pulang sekolah menangis karena dibilang anak PKI, anak pembunuh.  Stigma buruk itu tidak habis disaya tapi itu akan melekat terus hingga keturunan berapapun kalau saja sejarah ini tidak pernah diluruskan.
Saat ini rasa kecewa dan marah itu berangsur-angsur hilang setelah saya menerima kemurahan Tuhan,  saya tidak ada dendam. Sebenarnya di penjara juga saya sudah ada perasaan saya tidak boleh dendam pada siapa-siapa, tapi bukan berarti saya tidak berhak untuk menuntut keadilan…bukan…beda itu. Justru saya merasa atas dasar iman inilah maka harus dibuktikan siapa yang bersalah.
Saya pernah tulis surat sama Mbak Tutut (anak presiden Suharto), saya bilang begini: ”Kamu punya ayah pahlawan pembangunan. Selama ini banyak buku-buku menuliskan  bahwa kamu punya ayah pembunuh berdarah dingin, kamu punya ayah rakus. Sekarang biarpun masa reformasi, tapi kalau itu memang fitnah atau mencemarkan nama baik ayahmu, silakan laporkan”.  Maksudnya kalau dia merasa tidak benar tuduhan itu, laporkan dan bawa ke pengadilan. Kan nanti bisa jelas siapa sebenarnya yang difitnah dan memfitnah.
Harapan saya pemerintah yang sekarang ini mau jujur, punya keberanian untuk mengungkap kebenaran masa lalu. Sebab ini bukan hanya berguna bagi kami para korban tapi juga bagi generasi berikut. Jangan disuguhi dengan sebuah peristiwa sejarah yang direkayasa, dibikin bangsa ini jadi munafik seterusnya.
Artinya seperti ini andaikata betul G30S didalangi oleh PKI di Jakarta tapi saya di Manado tidak tahu apa-apa. Sampai ada istilah “Jakarta yang minum bir Manado yang mabuk”. Tapikan ternyata bahwa yang melakukan pembunuhan Cakrabirawa Pasukan Pengawal Presiden. Secara resmi sampai sekarang sejarah tentang G30S masih satu versi meskipun sudah ada buku versi lain tapi banyak yang belum tahu. Nah maksud dari meluruskan sejarah, bahwa saya tidak salah, saya tidak berbuat apa-apa. Saya seorang guru yang mengajar mata pelajaran kurikulum resmi kementerian pendidikan lalu dituduh merusak mental generasi muda. Dimana logikanya saya bersalah, sementara mata pelajaran itu sudah lama diajarkan.
Cerita ini buat saya tidak lagi menjadi kesedihan, cuma saya mesti menceritakan apa adanya. Belajar jujur menceritakan apa adanya, begitu. Sebab kalau kita sedih tidak menyelesaikan masalah.Jadi dengan menceritakan ini lebih mau mendorong, lebih mau mengapresiasi kita untuk bergabung dengan teman-teman untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Memang tidak semua teman-teman korban mau bercerita, yah mungkin karena trauma yang berkepanjangan. Sebab kalau menurut saya punya pengalaman, orang takut itu jangan dipaksa jadi berani, tidak boleh. Tapi masih banyak yang mau bercerita dan mau memperjuangkan hak-haknya. ***
Yah.. saya juga mengucapkan terimakasih kepada generasi muda yang dengan ketulusan hati mau turut memperjuangkan penegakan kebenaran di tanah air tercinta ini. Generasi muda yang peduli untuk meluruskan sejarah. Termasuk anda, yang sudah mau mendengarkan cerita saya.
 
“Sama-sama Om, buat saya ini satu kehormatan bisa mendengar langsung dari tokoh sebuah peristiwa yang selama ini masih diselimuti kabut gelap. Tidak semua generasi saya ataupun generasi dibawah saya punya kesempatan ini. Saya doa kan Om sehat selalu dan tetap semangat”.
 
Manado sore ini sangat cerah, secerah harapan saya akan akhir perjuangan kami… Semoga Tuhan mendengar dan membukakan jalannya, Amiin.
 
Duduk di sebuah warung kopi dengan pemandangan pantai, sungguh saat yang indah. Kami pun melanjutkan obrolan dengan topik yang berbeda.
 
Manado, Januari 2013
Antje H. Kalengkongan-Bolung
Nama saya Antje H. Kalengkongan-Bolung, S.Pd. Lahir 16 April 1939 di Kayu Besi, Tondano Minahasa Sulawesi Utara. Menikah dengan Jozef Beinhard Kalengkongan tahun 1962. Tahun 2012 baru saja merayakan pernikahan emas.
Tahun 1965 ketika Om ditangkap, kami sudah punya anak dua. Situasi pada saat itu memang sudah sangat kacau, Om sudah tidak tidur di rumah sekitar satu minggu lebih  sesudah peristiwa pecah. Karena tanggal 7 Oktober sudah ada banyak pembakaran di pusat kota Manado.
Saya dan anak-anak mencoba tetap bertahan di rumah sambil menunggu kabar dari Om. Tapi tidak juga ada kabar dan saya juga semakin cemas, tapi juga saya khawatir dengan anak-anak. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke kampung orangtua di Desa Kayu Besi Tondano, Minahasa. Ketika mau berangkat saya dapat kabar Om sudah ditangkap di daerah Pineleng, tapi tidak tahu dibawa kemana. D I dalam angkutan Bus umum, saya mencoba menguatkan diri dan berdoa agar supaya Tuhan selalu melindungi Om.
Orang tua sebenarnya tinggal di Manado, hanya saudara yang ada. Dan memang di kampung ada rumah orangtua kosong. Selama di kampung juga sebenarnya suasana sudah mencekam, saya melihat langsung orang yang disiksa dan dibunuh di sekitar danau. Beberapa hari di kampung saya mendapat kabar kalau Om ada di Korem, lalu saya memutuskan untuk kembali ke Manado. Sampai di rumah, semua sudah berantakan, buku-buku yang ada di dalam lemari sudah dikeluarkan semua. Begitu juga berkas-berkas pribadi dan foto-foto keluarga.
Memang rumah kami tidak sampai dihancurkan. Setelah membersihkan rumah, saya bersiap untuk datang ke Korem. Dengan menumpang becak  saya pergi ke Korem, membawa anak-anak. Sampai di sana memang ada nama Om, ketika saya bertanya kepada petugas jaga saat itu. Tapi hari itu saya tidak boleh bertemu. Saya pasrah dan bertanya, apakah saya boleh mengantarkan makanan untuk suami saya? Mereka bilang  boleh tapi hanya makanannya  saja, orangnya masih belum boleh bertemu.
Saya tidak tahu apa alasannya, tapi saya hanya menduga saja mungkin karena habis disiksa badannya bengkak-bengkak. Jangan sampai orang luar tahu apa yang mereka alami di dalam, maka siapapun tidak boleh bertemu. Sejak saat itu setiap hari saya mengantarkan makanan ke Korem, meskipun tidak pernah bertemu, tapi saya sedikit lega,  karena ternyata suami saya masih hidup. Mengingat apa yang saya lihat di Tondano, nyawa manusia seakan tidak berharga.
Sekitar bulan Desember 1965, tepatnya tanggal berapa saya lupa, tapi yang pasti  pada hari Natal kami sudah bisa bertemu. Bulan Januari Om di pindahkan ke penjara besar di gedung juang. Di sana juga saya datang besuk tiap hari, mungkin karena saya datang setiap hari ada beberapa dari penjaga yang kenal saya. Dan itu juga yang menolong Om mungkin, sehingga mereka tidak berani membawa atau dihilangkan…mungkin yah, saya juga tidak tahu alasannya kenapa Om tidak dihilangkan seperti teman-temannya.
Oh ya waktu baru datang dari kampung, sama teman disuruh datang ke pos. Saya jawab, “ kenapa saya harus datang ke pos”? “Untuk lihat apakah nama kamu ada dalam daftar. “ jawabnya.
Oh, saya berani langsung datang ke sana, dengan polosnya saya bertanya kepada penjaga-penjaga yang bertugas. Ternyata ada beberapa dari mereka bekas murid saya di SMP Kristen Ranotana tempat saya mengajar dulu. Mereka bilang, “Tidak ada nama di sini, kenapa datang?”
Sejak saat Om dipenjarakan praktis untuk memenuhi kebutuhan keluarga menjadi tanggungjawab saya. Terkadang orangtua juga membantu dari hasil kebun cengkehnya. Tapi untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk menyiapkan makanan yang diantar untuk Om setiap hari saya harus mencari sendiri, meskipun itu hanya sayur dan nasi.
Saya mulai putar otak, apa yang bisa saya kerjakan untuk bisa menghasilkan uang. Karena sejak dinyatakan Om terlibat, saya juga langsung diberhentikan menjadi guru dan tidak bisa mendapat pensiun. Awal-awal saya memulai usaha dengan berjualan, apa saja yang bisa saya jual. Saya pergi membeli sayuran ke petani sayur, lalu saya jual di depan rumah. Kue-kue saya beli di pasar lalu saya jual lagi, sama minuman khas Minahasa “Saguer” (air nira yang baru diambil) yang diantar langsung oleh petani.
Saya coba buka usaha jual bunga, padahal saya tidak punya keahlian membuat bunga. Caranya saya beli satu tangkai bunga lalu saya buka dan saya pelajari cara membuatnya. Bahannya ada yang dari kertas, plastik atau kain-kain perca. Saya suruh Yatty jual berkeliling, waktu itu dia masih SD. Terpaksa saya suruh dia, untuk bisa tetap bersekolah.
Setelah itu saya membuka usaha Krans (karangan bunga untuk orang meninggal). Saya beli bunga-bunga plastik lalu saya rangkai-rangkai, dengan kreasi saya sendiri. Cukup lama saya menekuni usaha bunga ini, Hingga pada satu waktu presiden Soeharto membeli karangan bunga saya. Ya memang bukan presiden langsung, tapi rangkaian bunganya saya yang buat. Mungkin waktu ada rukun Ratulangi dari Jakarta meninggal dikubur di Manado, dia memesan karangan bunga di sini. Sejak itulah usaha saya mulai dikenal orang.
Selain itu saya juga terima jahitan dan tukang kriting rambut, karena waktu itu namanya belum salon. Kalau di rumah hanya buka begitu saja, tidak ada papan nama seperti sekarang. Langganannya hanya orang yang sudah kenal. Lalu kalau saya pulang ke kampung saya bawa alat-alat salon, kemudian saya keliling ke rumah-rumah. Berkat kesabaran, lama-lama ada yang datang untuk keriting ataupun menjahit. Karena hasilnya bagus dan memuaskan akhirnya mulai ramai. Lalu sudah ada yang mulai mau belajar dan bersedia membayar tapi belum resmi jadi tempat kursus. Tahun 1969 baru diresmikan menjadi tempat kursus tapi belum ada izin dari departemen, baru tahun 1977 dapat izinnya dengan nama Lembaga Kursus dan Pelatihan YATTY. Tahun 1980an sampai 1990an, sangat maju sekali. Kita punya murid sampai 300 orang satu kali belajar, terbaik diseluruh sulawesi utara. Pesertanya SMA dan Sarjana yang mau melamar kerja.
Dulu ada kecantikan rambut, kecantikan kulit, rias pengantin, menjahit pakain wanita, komputer, akutansi, b. Inggris, jerman, belanda, jepang, seni griya. Muridnya sejak berdiri kurang lebih 8000 orang. Cuma yang aktif sekarang tinggal kecantikan rambut, kecantikan kulit, menjahit.
Begitulah proses bagaimana saya membangun perekonomian keluarga tapi tentu saja dalam perjalanan banyak yang saya alami, terutama intimidasi secara mental. Begitu juga dengan anak-anak saya yang merasakan perlakuan-perlakuan yang tidak menyenangkan.
Sebenarnya perlakuan-perlakuan yang sifatnya penekanan mulai kami rasakan  sejak Om ditahan,  misalnya saja ketika saya mencoba untuk merenovasi rumah untuk membuka usaha. Tidak mendapat izin dari pemerintah desa. Mau pasang pagar saja tidak boleh, ya memang tujuannya supaya kelihatan kumuh.
Belum lagi tekanan-tekanan yang diterima oleh anak-anak saya. Anak saya yang bungsu, sering mendengar kakak-kakaknya dibilang anak PKI buat apa sekolah tidak ada gunanya. Dia menjadi trauma hingga baru berani masuk sekolah ketika sudah berumur 8 tahun.
Memang anak-anak tidak pernah menceritakan perasaannya, mereka berusaha tegar. Tapi saya tahu apa yang mereka rasakan. Hingga saya berpikir kalau seperti ini terus akan tidak baik untuk perkembangan mental anak-anak, maka saya memutuskan untuk memasukkan mereka sekolah karate, Inkai. Selain untuk pertahanan diri, secara fisik juga baik dan tentu saja yang utama adalah mental.
Mereka rajin saya bawa ke gereja untuk mengingatkan mereka bahwa semua cobaan yang kita alami adalah kehendak Tuhan dan Tuhan tidak akan meninggalkan umatnya yang selalu mengingat dan memohon kekuatan kepada Nya.
Buat saya pribadi penguatan secara mental saya dapatkan dari gereja, saya selalu berdoa untuk keselamatan keluarga, anak dan suami yang sedang mengalami cobaan berat di dalam penjara. Di gereja juga sebenarnya ada juga tekanan dari mereka yang tidak suka, tapi saya tidak ambil pusing itu. malah saya masih bisa memimpin koor gereja, karena memang cuma saya yang bisa.
Kebetulan saya ada sedikit kelebihan di bidang bernyanyi, jadi meskipun mereka kurang senang tapi mau tidak mau mereka tetap pakai saya. Tapi kalau dari pimpinan-pimpinan gereja mereka tidak pernah mempermasalahkan. Hanya saja memang bagaimanapun pintar dan aktifnya kita, tetap tidak bisa dipilih menjadi pengurus gereja atau majelis. Karena memang sudah ada peraturannya dari pemerintah, mereka juga takut. Dengan kekuatan Tuhan, sedikitpun saya tidak pernah putus asa.  Saya yakin dan percaya suatu saat nanti kami pasti bisa berkumpul kembali. Untuk menjaga pikiran saya tetap positif, saya tidak pernah mau diam. Apa saja kegiatan yang bisa saya kerjakan saya kerjakan. Sejak dari bangun tidur sampai mau tidur lagi.
Di sekolah anak-anak tidak ada yang mendapat perlakuan yang berbeda, mungkin karena mereka juga bisa menempatkan diri di antara teman-temannya. Saya memang menekankan kepada anak-anak bahwa bagaimanapun keadaannya mereka harus tetap bersekolah. Jangan lihat sekarang yang sulit tapi bayangkan ke depan dan kita pasti mampu. Terbukti saya bisa memasukkan Yatty ke Universitas Klabat di Airmadidi, universitas termahal di Sulawesi Utara.
Di samping itu juga dia memang pintar bergaul dan tidak merasa malu bekerja sambil kuliah. Dia tawarkan ke teman-teman dan dosennya keahliannya tata rambut dan kecantikan. Ya terkadang tidak selalu dibayar dengan uang tapi juga mungkin hanya sekedar di kasih makan atau juga hanya ucapan terimakasih. Namun dia merasa dihargai dan menjadi banyak mendapat kemudahan dengan keahliannya di luar ilmu yang sedang dipelajarinya di bangku kuliah.
Dari kecil dia memang sudah mandiri dan sangat ingin membantu orangtua. Bayangkan, karena kasihan melihat saya susah, waktu itu dia masih usia 6 tahun tapi sudah tahu baca trayek. Saya suruh dia pergi membeli obat kroll, di sekitar sini kan tidak ada harus beli di stasiun yang sekarang disebut Pasar 45. Jadi kalau ada pelanggan yang mau keriting rambut, saya minta duluan bayarannya, nanti yatty pergi membeli obatnya. Jaraknya sekitar 5 km dari rumah, sebenarnya dalam keadaan normal anak itu belum waktunya untuk pergi sejauh itu.
Satu waktu ada satu bapak tentara mengantar dia pulang, lalu dia bilang “ibu, jangan dulu suruh-suruh ya….masih anak begini kecil sudah disuruh jauh-jauh”.
Saya cuma tertawa saja, karena dia juga tidak tahu siapa saya dan bagaimana keadaan kami. Sebenarnya jurusan kendaraan waktu itu kan hanya satu, kalau jurusan Ranotano yang cuma jalur ini. Cuma memang hari itu ternyata rutenya dirubah, jadi dia bingung.
Kalau saya ingat kejadian itu, saya menjadi merasa bersalah. Seakan-akan saya ini tidak bisa menjaga anak yang seharusnya saya lindungi.
Kalau diintimidasi saya pribadi sebagai seorang perempuan mengalaminya. Sering kali petugas-petugas penjara datang ke rumah.  Macam-macam yang mereka katakan, “suami mu tidak akan keluar lagi, kamu maish muda masih bisa menikah lagi”.  Ada juga yang bilang kalau Om sudah tidak ada lagi di penjara, padahal setiap hari saya menjenguk dia. Sedikitpun saya tidak tergoda, karena saya punya keyakinan pasti suami saya akan keluar hanya saja kapan waktunya saya tidak tahu.
Saya bilang ke mereka,”saya masih punya suami, meskipun di penjara Om tetap ada”.
Belum lagi yang mengintimidasi agar saya menjual rumah dan tanah tapi saya tetap bertahan, karena memang masih beruntung bisa berdiskusi dengan Om.
Memang tidak setiap hari bisa bertemu Om, terkadang seminggu sekali atau satu bulan sekali bahkan penah berbulan-bulan tidak bisa ketemu, karena memang peraturannya selalu berubah-rubah. Tahun 68-69, peraturannya sangat ketat, sampai berbulan-bulan kami tidak bisa ketemu. Pernah Om masuk rumah sakit karena operasi usus buntu saya dilarang menjenguk. Lalu saya nekat tetap datang. Dilapor oleh petugas, katanya saya bertemu di rumah sakit. Kemudian saya dipanggil menghadap.
Sesekali anak-anak diselundupkan menginap di penjara, tidur di barak bersama-sama dengan para tahanan. Karena mereka masih kecil, mereka senang-senang saja.
Satu kali yatty pernah bertanya kenapa papa di penjara?
Saya bilang, “diceritakan juga kamu masih anak-anak”
Lalu Om juga sering mengatakan sama anak-anak, kalau papanya dipenjara bukan karena memperkosa ataupun mencuri walaupun mungkin mereka belum mengerti. Lagipula mereka juga melihat ribuan orang di dalam penjara.
Hingga akhirnya tahun 1980 Om dibebaskan, saya merasa senang sekali, setelah selama 14 tahun 9 bulan saya menunggu saat ini. Tapi ternyata masih ada perlakuan diskriminasi yang kami terima. Salah satunya anak saya yang kuliah di Kedokteran Universitas Syam Ratulangi, hampir terancam tidak lulus karena ada yang melaporkan kalau dia anak PKI. Waktu itu dia sedang mengurus untuk KKN, lalu saya dipanggil oleh dokter sekaligus dekan dan kebetulan dia kakak tingkat saya waktu kuliah. Tidak banyak dia berbicara, dia hanya berpesan untuk saat ini anak saya jangan ikut berorganisasi dahulu. Sampai dia lulus kuliah nanti. Padahal itu sudah tahun 90an.
Saya bilang, “dia tidak pernah ikut-ikut kegiatan di luar kecuali hanya kegiatan di gereja,”
Memang ada orang-orang di sekitar yang mengatakan biar kuliah tetap tidak mau lulus. Kalaupun lulus di kedokteran tetap tidak mau kepakai…
Ada satu dosen yang tidak mau kasih nilai praktek, kalau teori bisa. Namanya dokter Meleka karena dia dulunya Permesta, jadi anti dengan PKI. Karena saya kenal dengan dekan lalu saya bicara dengan beliau. Saya bilang,”kalau saya tahu mau jadi begini, saya tidak akan kasih kuliah anak saya di kedokteran. Biar dia kuliah di pertanian saja. Lalu dia tanya mana anaknya. Akhirnya dia menjalani wajib lapor di kampus. Ada beberapa orang tidak hanya Ato tapi yang tidak terus. Saya lihat dia juga hampir stres, 9 tahun baru lulus.
Akhirnya ketika PTT tahun 1996, dia minta ditempatkan di Kalimantan Timur tanpa sepengetahuan kami. Karena dia tidak mau mendengar cerita-cerita yang lalu. Sampai sekarang sudah menjadi kepala Puskesmas dan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Timur.
Penulis Nurhasanah,aktivis Gerakan Rakyat Peduli (GRP) HAM dan juga aktif di Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI).
Sumber : YDRI, 16 November 2013

This post is also available in: English