Astika Andriani Raharjo | April 05, 2017

“…Mak, ijinkan aku mati dalam keadaan kiri

memperjuangkan sejarah yang dikhianati…”

Lelaki itu marah. Dengan mata merah, rambut panjang ikal yang berantakan, dan suara parau nan lantangnya, ia bukan lagi menjadi Chandra, Presiden BEM ISBI Bandung, namun seorang anak laki-laki yang di suatu malam hari di tahun 1965, ketika mengantar ibunya ke sumur untuk mengambil wudhu, malah menemui malang dan sial. Militer mampir ke rumahnya.

“Saat kepalaku dihantam palu, tanganku dihantam kayu, kemaluanku disileti dan dipaku, betapa menyakitkan dan memilukan, Emak!” lanjut Chandra sebelum mengucap terimakasih, mengakhiri pembacaan puisinya, lalu kembali ke tempat duduknya ditemani sorak sorai tepuk tangan.

Luapan kepedihan seorang penyintas tragedi pembantaian massal yang terjadi sekitar setengah abad lalu yang diungkapkan lewat puisi ini merupakan salah satu narasi anti-hegemoni Orde Baru di tengah diskusi mengenai International People’s Tribune (IPT) 1965 yang berlangsung di Univesitas Katolik Parahyangan, Jumat (31/4/2017). Senada dengan isi seminar dan diskusi, Mohammad Chandra Irfan lewat puisinya bercerita bagaimana sejarah telah dimanipulasi dan militerisme harus dihapuskan, diganti dengan budaya welas asih.

Sayangnya, dalam perjuangan melawan hegemoni Orde Baru, Chandra sendiri mengalami represi yang didorong wacana-wacana yang masih dominan. Pada 2016 lalu, LPM Daunjati yang saat itu dipimpin oleh Chandra menyelenggarakan kegiatan Sekolah Marx di kampusnya.

“Lalu konco-konco berbaju putih datang…” ucap Chandra ketika diberi kesempatan berbicara di depan, membuat seisi ruangan tertawa. Anggota-anggota Front Pembela Islam datang ke kampus dan mengintimidasi pihak LPM. Pihak kampus akhirnya melayangkan surat pembubaran kegiatan.

Mohammad Chandra Irfan, mahasiswa ISBI Bandung, membacakan puisi di Seminar IPT 1965, Jumat (31/3/17) di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Selain ormas di kampus, Chandra juga sampai didatangi intel. “Dari kota Tasik dan kabupaten, ramai-ramai ke rumahku. Akhirnya satu kecamatan tahu, bahwa saya kader komunis,” kata Chandra, membuat para peserta tertawa lagi.

Karena alasan inilah pihak penyelenggara diskusi IPT 1965 mengundang Chandra, untuk memberikan testimoni mengenai represi dan kekerasan yang, mengutip kata-kata Adi Marsiela, sang moderator diskusi, “tidak hanya terjadi lima puluh tahun lalu, namun juga masih hidup hari ini.”

Seorang laki-laki muda berkemeja hitam yang duduk di barisan paling depan juga dipanggil ke depan oleh Adi Marsiela untuk memberikan testimoninya. Ia adalah Fidocia Wima Adityawarman atau Edo, salah satu dari tiga mahasiswa Telkom University yang mendapat skorsing karena menggelar lapak baca buku gratis di kampus dan bersolidaritas dengan gerakan literasi ini.

“Di lapak buku ini sebagian isinya memang buku-buku sejarah ’65,” tutur Edo dengan logat Jawanya yang kental.“Kita berusaha meyakinkan bahwa ada beban sejarah yang mesti diluruskan di Indonesia terkait ’65, lewat menyediakan buku sejarah itulah kita bisa mengerti dan menjadi lebih maju.” Tetapi hal ini ditolak oleh pihak kampus, lanjut Edo, dengan alasan bahwa lapak buku ini menyebarkan paham yang berbahaya.

Ini hanyalah dua kejadian yang terjadi di Bandung.Masih banyak lagi yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, menurut Adi Marsiela.“Lebih dari 30 kasus di catatan Komnas HAM,” ucapnya. “Memang, apa yang terjadi pada ’65 baik dari perspektif politik maupun HAM masih menjadi masalah di negara ini.”

* * *

Ekspresi peserta Seminar IPT 1965 ketika menonton film mengenai peristiwa 1965 di Universitas Katolik Parahyangan, Jumat (31/3/17).

“Tiap malam minimal dua, kalau malam Minggu bisa sampai sekitar dua puluh,”

ucap Martono.

Ketika ditanya tentang berapa mayat yang ia buang ke sungai atas suruhan orang-orang yang mempekerjakannya dengan paksa, Martono masih ingat, bisa menjawab dengan jelas. Martono adalah salah seorang penyintas tragedi ’65 yang sempat ditangkap mereka yang memburu dan membantai orang-orang PKI. Disiksa untuk mengaku bagian dari PKI, Martono disetrum berkali-kali walau tidak mati-mati. Padahal, Martono hanya tukang listrik.

Martono juga merupakan salah satu dari beberapa narasumber yang kesaksiannya ditampilkan di film yang diputar di seminar Jumat itu, Jalan Berkeadilan bagi Penyintas. Di film ini, IPT 1965 memaparkan kisah-kisah pilu dari para penyintas yang menjadi latar belakang terbentuknya tribunal ini.

Film terus berlanjut. Seorang penyintas 1965 lain di layar, perempuan paruh baya, menceritakan pengalamannya sebagai korban pemerkosaan. Duduk di dekat Edo dan anggota-anggota Pembebasan Bandung lainnya, seorang laki-laki berambut gondrong menitikkan air mata.

* * *

Selama setengah abad, mereka yang tergabung dalam IPT 1965 telah melihat bahwa para penyintas tragedi 1965 telah mengalami diskriminasi, eksklusi sosial dan persekusi yang berkelanjutan, jelas salah satu pembicara diskusi, Antarini Arna, Tim Jaksa Sidang IPT 1965 di Den Haag. “Korban-korban ini menjadi liyan di negaranya sendiri. Setiap saat tidak tenang, takut diancam,” lanjut Antarini.

Selain itu, mereka juga melihat bahwa sistem hukum yang ada tidak bisa diandalkan.“Sistem hukum nasional menggunakan kebenaran dan keadilan yang diproduksi negara itu sendiri. Sedangkan sistem hukum di ranah internasional terlalu berorientasi pada kedaulatan negara,” jelas Antarini lebih jauh. Sistem pidana dan HAM internasional juga dibuat bukan berdasarkan tangisan dan pengalaman korban itu sendiri. Karena batasan-batasan inilah IPT 1965 dibuat, untuk memposisikan korban, kondisi dan pengalamannya di jantung dari segala yang mereka lakukan.

Antarini kemudian menjelaskan dampak-dampak dari IPT 1965: menjadikan korban sebagai fokus, mengamplifikasi kebenaran, produksi dan reproduksi komunitas anti-hegemonik, dan memperkuat tuntutan pertanggungjawaban negara.

Yang Chandra dan Edo lakukan, sejatinya, adalah juga memproduksi wacana-wacana anti-hegemonik dengan mencoba menyebarkan kepada khalayak mengenai kebenaran akan peristiwa 1965. Usaha membangun kesadaran kritis seperti inilah yang perlu dilakukan oleh anak muda, menurut Antarini, untuk melawan stigma-stigma negatif mengenai korban peristiwa 1965 dan mengungkap kebenaran mengenai apa yang benar-benar terjadi. Sayangnya, karena stigma itu sendiri yang masih ada, yang merupakan bagian dari hegemoni Orde Baru ini, mereka direpresi.

Seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran yang mengaku bernama Sulton berdiri untuk bertanya kepada para pembicara: Mengapa orang-orang sejarah di institusi pendidikan bungkam? Mengapa buku-buku pelajaran di sekolah masih mengajarkan yang sama seperti di Orde Baru?

“Setelah Orde Baru runtuh, kenapa tidak ada perubahan? Lalu ada film Senyap. Ada film Jagal. Ada tribunal. Namun kita di masyarakat biasa-biasa saja,” ia bertanya. Padahal, katanya, ketika ia menonton film-film itu, ia merasa kesal dengan Orde Baru. Difasilitasi mikrofon dan speaker yang mengamplifikasi suaranya hingga bisa terdengar ke luar ruang seminar, ia pun dengan lafalnya cadel memaki-maki Soeharto, mengasosiasikan sang mantan Presiden tersebut dengan hewan berekor yang suka menggongong. “Tapi mengapa, tetap saja ini tidak jadi isu bersama?”

“Mungkin karena terlalu banyak masalah kali, ya,” jawab pembicara Tosca Santoso, menatap mahasiswa yang bertanya itu sambil tertawa. Tosca Santoso adalah penulis buku Rosidi yang bercerita tentang seorang petani penyintas peristiwa 1965. “Tidak ada lagi yang bisa mempersatukan dengan cepat. Gerakan yang ada dulu kan gampang, ada satu tujuan: pokoknya Soeharto jatuh. Sekarang persoalannya lebih banyak.”

Harry Wibowo, Adi Marsiela, dan Tosca Santoso di Seminar IPT 1965 Jumat (31/3/17) di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Walau begitu, kesadaran orang-orang bahwa sejarah 1965 perlu ditulis ulang  memang sudah lebih baik sekarang, dibanding dulu, lanjut Tosca. Inilah yang harus dilakukan kita hari ini. “Kalau saran saya, nomor satu ditulis dulu. Jadi ada dokumen yang bisa dibaca bersama, ada kesaksian yang tertulis dari teman-teman,” terangnya. Ini akan mempermudah proses verifikasi akan rumor-rumor yang tersebar.

Tosca merekomendasikan anak-anak muda seperti mahasiswa untuk mulai menulis. “Mulai latihan menulis walau kecil, tapi di tingkat yang berbeda-beda. Ketika sudah banyak, saya kira lama-lama juga bisa menjadi counter narasi dari sejarah yang sudah ditulis oleh Notosusanto,” lanjut Tosca. Tapi memang betul, negara harus melakukan tulis ulang juga.

Harry Wibowo, pembicara lain yang merupakan Redaktur Pelaksana Jurnal Prisma, juga setuju dengan Tosca. “Kita memang harus menulis, menulis sebagai upaya pencatatan atau dokumentasi terkait temuan-temuan baru akan pelanggaran HAM. Bisa juga dituliskan dengan lebih populer, lebih renyah agar bisa diterima lebih baik,” ucapnya.

Memang, rekonsiliasi merupakan suatu proses yang menyakitkan dan harus didasari pengungkapan kebenaran dengan setulus-tulusnya, jelas Antarini. Ketika pemerintah masih menahan fakta dan data demi politik dan ekonomi, kebenaran itu tidak akan terungkap, rekonsiliasi tidak bisa terjadi.

* * *

Menjelang magrib, seminar selesai. Di salah satu lorong di antara ruang-ruang kelas di Unpar, Sulton Mochammad Khadafi, mahasiswa Unpad cadel yang beberapa jam lalu memaki-maki Soeharto di dalam ruangan seminar, sedang berfoto bersama Dolorosa Sinaga, seorang seniman yang juga merupakan Panitia Pengarah IPT 1965. “Terima kasih, Bu!” ucap Sulton dan empat teman mahasiswa Sulton lainnya yang juga ikut berfoto.

Perempuan berumur 63 tahun itu menunjukkan gigi-giginya dalam senyum lebar. “Anak-anak mahasiswa kiri progresif!” serunya.

Anak-anak mahasiswa yang disebut Dolorosa sebagai kiri progresif ini malamnya berkumpul di depan Alfamart, merokok, minum kopi, dan berdiskusi.

“Berbicara ‘65 adalah berbicara politik yang trauma,” tutur Yagus Prasetyo, mahasiswa UPI dan bagian dari komunitas Slut Frontier. “Terlebih di kalangan elemen terbawah tatanan sosial, mereka yang kini lebih banyak memilih hidup dalam ketakutan daripada menyuarakan aspirasi kebebasan berpolitik menyangkut hajat hidupnya.”

Yagus tidak puas. Menurutnya, masalah terbesar yang seharusnya menjadi fokus bukanlah hanya perihal kedudukan benarsalah. “51 tahun sudah tragedi itu kini berlalu, Bung!” ia berseru. Sia-sia rasanya kalau sampai hari ini segala bentuk pengungkapan kebenaran masih saja mandek. “Bisa tidak, agen-agen non-yudisial ini bicara juga tentang—“

“Subaltern,” potong Sulton. Sulton setuju bahwa perlu dilakukan pengungkapan kebenaranbahkan lewat hal-hal kecil, seperti menulis, edukasi terhadap teman-teman terdekat, dan terus melawan resistensi yang ditemui. Walau begitu, ketika kita masih berjerih payah mengungkap kebenaran, pelanggaran HAM tetap saja masih banyak. “Bagaimana dengan subaltern di Rembang, di tempat-tempat penggusuran, di tempat reklamasi? Ini semua kan ada hubungannya dengan developmentalisme Orde Baru yang bermula pada peristiwa ‘65.”

“Iya,” balas Yagus. “’Can subaltern speak’? Masihkan mereka layak menyimpan harapan pada perjuangan kesetaraan ekonomi politik pada apapun yang menyatakan dirinya sebagai representasi keadilan?”

Barangkali ini tidak sesederhana menyoal benar atau salah, Yagus berbicara lebih lanjut. “Selama sejarah betah untuk menyoal benar salah, yang terbantai karena Freeport, yang mati lapar sebab Pabrik Semen, yang kalap sebab dituduh makar, masih tetap jadi suara sumbang yang tak menggetarkan keadilan yang konon tertidur di negeri ini.”

(Astika Andriani Raharjo Putri)

Editor: Lia Elita

Sumber: Djatinangor.Com

This post is also available in: English