Prolog Untuk Mengarifi Sejarah Lokal di Sumatera Utara

Oleh: J. Anto

Suatu waktu, ketika perkawanan saya dengan beberapa eks tapol 65 di Sumatera Utara tergolong sudah cair, Karnaen Djambak , salah seorang eks tapol 65 yang pernah saya wawancara, meminta bantuan untuk memfoto-copy- kan beberapa buku dan artikel seputar Peristiwa G 30 S 1965.

Ia misalnya menyebut buku pledoi Kolonel A. Latief, memoar Hasan Reid dan beberapa artikel Ben Anderson yang sudah diterjemahkan. Ketika saya tanyakan untuk apa memfoto-copy buku-buku tersebut, Karnaen Djambak menjawab kurang lebih begini:

“Ya, untuk meyakinkan teman-teman bahwa memang bukan PKI pelaku kudeta tahun 65”, jawabnya.

Jawaban tersebut tentu saja membuat saya tercengang. Apalagi ketika Karnaen kemudian menuturkan bahwa masih banyak eks tapol 65 di Sumatera Utara yang meyakini tentang keterlibatan partai (PKI) dalam kudeta tahun 1965.

Penasaran dengan jawaban tersebut, saya kemudian mengkonfirmasikan kepada Astaman Hasibuan, salah seorang seniman yang juga aktivis Lekra Medan. Jawaban yang lebih tak terduga justru saya peroleh dari Astaman:

“Bung harap tahu, sampai tahun 1980-an, masih banyak teman-teman yang mempercayai bahwa Soeharto itu mengkhianati partai. Dan keyakinan seperti itu sebagian besar dianut oleh para petinggi partai”, Kata Astman. Masih menurut Astaman, dalam tahanan terjadi perdebatan keras tentang siapa Soeharto sebenarnya.

Pandangan yang dominan berpendapat bahwa Soeharto adalah kader partai yang “diasuh” tentara (Sjam). Tindakan Soeharto membunuhi banyak anggota partai dan mereka yang berafiliasi dengan partai, dipandang sebagai taktik. Kelak setelah “berkuasa” Soeharto “akan membangun tatanan politik sesuai keinginan partai”.

Apa yang diungkapkan Karnaen Djambak dan Astaman Hasibuan, menjadikan saya sadar bahwa dalam konteks “korban 65” rezim Orde Baru, telah terjadi proses penghancuran secara sistematis terhadap daya nalar para eks Tapol 65 yang saat itu terpenjara secara fisik dan mental. Mereka menjadi korban dalam arti yang sesungguhnya.

Ya, mental kognitifnya, ya fisiknya. Saya jadi teringat dengan panataran-penataran P-4, yang telah berhasil “mencuci” otak para (calon) pegawai negeri sehingga menjadikan mereka mengembangkan pelayanan publik yang berorientasi “daulat tuanku” daripada “daulat rakyat”.

Dalam istilah Gramsci, telah terjadi proses hegemoni pada sebagian besar para eks Tapol 65 di Sumatera Utara. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni tak dicapai melalui coercive power, tapi diskursus sistemik (bahasa), terarah dan berkelanjutan untuk memenangkan penerimaan publik (public consent) akan sebuah gagasan atau rezim secara suka-rela.

Publik “digiring” untuk menilai dan memandang persoalan sosial dalam kerangka wacana yang telah ditentukan, sehingga terjadi penerimaan publik. Bagi Gramsci, proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berpikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup dari kelompok elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.

Namun hegemoni sejarah 65 kini mulai mengalami proses keruntuhan dengan terbitnya sejumlah publikasi yang isinya merupakan counter hegemoni dari konstruksi Peristiwa 65. Walau sebagian besar masih didominasi dengan kisah sejarah sejumlah aktor “nasional”.

Terbitnya dokumen-dokumen sejarah alternatif tersebut, tidak saja telah membuka wacana baru dalam penulisan sejarah kita, tetapi juga telah menyumbang bagi proses pendidikan bagi masyarakat. Dalam arti, masyarakat kita yang multi etnik, multi agama dan juga multi ideologi, dirangsang untuk terus melakukan dialog terhadap sejarah yang dibuat oleh bangsanya sendiri.

Dengan demikian, (penulisan) penerbitan berbagai dokumen sejarah alternatif tersebut telah menyumbang bagi bergulirnya proses demokratisasi sejarah. Di sisi lain, juga akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menerima aneka ragam perspektif ke dalam masa lampau kolektif, termasuk masa kekiniannya, yang akan membantu menentukan kelangsungan hidup tradisi kemajemukan yang ada. (Hersri Setiawan, 2001).

Namun sejarah alternatif Indonesia yang berisi masa lampau kolektif maupun yang bersifat kekinian, masih bersifat Jawa sentris dan baru memberikan ruang bagi para pelaku sejarah “nasional”. Sejarah lokal masih belum menjadi pusat perhatian para peneliti, sejarawan atau pihak-pihak yang memiliki kepedulian untuk menyumbang pada proses demokratisasi sejarah Indonesia.

Di Sumatera Utara, berbagai peristiwa masa lampu yang memiliki hubungan kesejarahan yang membentuk sejarah nasional Indonesia, masih kurang memperoleh perhatian untuk digali, direkonstruksi dan dipublikasikan agar menjadi wacana baru di tengah-tengah masyarakat. Hingga kini yang terjadi adalah hegemoni tentang konstruksi peristiwa 65, terutama yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa lokal yang terjadi pra dan pasca G30S 1965 di
Sumatera Utara, versi “para pemenang”.

Apa yang dikategorikan sebaga “pihak pemenang”, masih kukuh menguasai ruang publik di Medan untuk menyebarkan hegemoni sejarah 65 yang menjadi modal mereka untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan politik dan ekonomi mereka.

Tindak heroisme “membasmi” kaum kiri atas nama perbedaan ideologi dan keyakinan politik, masih dijadikan senjata politik untuk mengingatkan memori kolektif rakyat Sumatera Utara akan “kejahatan kaum kiri” dan “kepahlawanan mereka”.

Kutipan berita dari harian Waspada yang saya lampirkan, bisa menjadi contoh yang gamblang. Memori kolektif rakyat Sumatera Utara juga terus-menerus diingatkan dengan “kekejaman kaum petani (BTI)” pada apa yang dikenal sebagai Peristiwa Bandar Betsy.

Oleh Orde Baru, peristiwa terbunuhnya Letda Soedjono di Perkebunan Bandar Betsy, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, oleh massa BTI (Barisan Tani Indonesia), dikonstruksi sebagai salah satu “persiapan” dari serangkaian kegiatan aksi sepihak yang dilakukan PKI, yang muaranya adalah pemberontakan G 30 S 1965.

Dalam Buku Putih tentang G 30 S/PKI yang diterbitkan Setneg RI tahun 1994, Peristiwa Bandar Betsy digolongkan sebagai aksi sepihak yang dilakukan PKI (BTI) seperti yang terjadi di Klaten (Jawa Tengah), di Indramayu (Jawa Barat), dan Desa Gayam, Kediri (Jawa Timur). Konstruksi peristiwa Bandar Betsy dari “sudut pemenang” ini masih menjadi keyakinan sebagian besar masyarakat Sumatera Utara.

Selain diajarkan lewat bangku-bangku sekolah, media massa, buku dan upacara-upacara peringatan militer, untuk mendukung legitimasi sejarah yang dikonstruksinya, Orde Baru juga membangun Patung Sujono di perkebunan Bandar Betsy. Lewat simbolisme kejuangan Soedjono, setiap tanggal 30 September dilakukan upacara militer untuk menghormat “jasa” Soedjono yang mati karena “kekejaman orang-orang BTI”. Karenanya setiap upacara peringatan, orang-orang PKI menjadi korban yang terus menerus “disumpah-serapahi” sebagai “pemberontak”, “biadab’, “tak bermoral” dan sebagainya.

Peristiwa Bandar Betsi akhirnya dijadikan stigma untuk merujuk “pada kekejaman” yang dilakukan orang-orang PKI. Tahun 1994 ketika terjadi kerusuhan di Medan sebagai dampak dari protes para buruh yang tengah menuntut kenaikan upah, Mochtar Pakpahan pernah merasakan bagaimana stigma tersebut menempel pada dirinya ketika SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia); sehingga semakin melegitimasi penguasa untuk mengirimkannya ke penjara.

Selain itu, Sumatera Utara juga mempunyai sejumlah “tokoh” atau pelaku sejarah (sedikit pun sumbangannya) yang selama ini dibungkam dan tidak pernah diberikan kesempatan untuk menyampaikan sejarahnya ke masyarakat. Sebagai contoh ada orang seperti Yoe Sim Boen (mantan Ketua Baperki Medan 1954-1965) yang dikenal sebagai pribadi yang sangat pluralis. Pada zamannya dikenal sebagai aktivis yang banyak membela masyarakat Tionghoa miskin di Medan yang diperlakukan tidak adil oleh pemerintah (pembelaan kasus Pasar Ramai, Pasar Petisah, Pasar Sambu).

Juga ada beberapa seniman LEKRA yang kini mulai merintis untuk berkarya kembali setelah sekian lama mengalami kematian perdata dan “kreativitas”. Beberapa seniman yang tidak sekelas (dan memang tidak perlu sekelas) dengan Pramoedya Ananta Toer, mulai mencipta sajak dan cerpen dengan alasan yang sangat manusiawi. “Bahwa aku dulu itu penulis, tapi anakku tak percaya karena tak pernah melihat hasil tulisanku.” Sebuah alasan yang sangat a-politis, walaupun bobot karya yang dihasilkan barangkali bisa memiliki muatan politik!

Tetapi terlepas dari itu, keinginan mencipta sajak, cerpen, barangkali adalah bagian dari proses untuk membangun kembali jati diri mereka. Menurut hemat saya, “membunuh” potensi dan daya kreasi seseorang sesuai dengan potensi yang dimiliki, dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap fitrah kemanusiaan seseorang.
Persoalannya adalah, ketika mereka sudah mencipta sajak dan cerpen, ruang publik mana yang bisa menampung karya-karya mereka?

 

Ruang Publik untuk “Para Korban”

Persoalan hegemoni sejarah 65 versi “para pemenang” yang terus-menerus mengisi memori kolektif rakyat Sumatera Utara, serta upaya pencarian jati diri para seniman Medan yang mencoba berkarya kembali, mendorong saya berpikir tentang pentingnya sebuah upaya untuk memberikan “pentas” kepada sejumlah saksi sejarah lokal yang terlibat langsung dalam berbagai peristiwa lokal yang terjadi di Sumatera Utara.

Misalnya Peristiwa Bandar Betsy. Ketika saya melakukan wawancara dengan Sjahriar Sandan, seorang pengacara yang pernah menjadi Tapol 65 di Sumatera Utara, yang juga menjadi pengacara para petani Bandar Betsy. Saya memperoleh jawaban bahwa peristiwa terbunuhnya centeng Sujono oleh para petani sebenarnya merupakan peristiwa kriminal biasa. Dan itu menurut Sjahriar, bukan tanpa latar belakang yang kuat. Para petani secara massal menganiaya Seodjono karena selaku centeng, Soedjono dianggap kasar, suka berkata-kata yang tidak sopan terhadap para petani, dan mentraktor tanaman petani yang tinggal dipanen. Hal tersebut mengakibatkan para petani marah dan mengeroyok Soedjono hingga tewas.

Saya juga berkesempatan melakukan wawancara dengan Roemandung DS, wartawan harian Patriot Medan, yang meliput peristiwa jalannya pengadilan terhadap para petani di PN Pematang Siantar. Sementara rezim Orde Baru menebarkan sejarah yang “suram dan bengis” tentang Peristiwa Bandar Betsy yang merupakan awal dari “kegiatan makar PKI terhadap Republik”.

Belum lama ini, saya memperoleh sebuah copy-an draft buku kumpulan Puisi “Pancang”, yang merupakan kumpulan sajak Astaman Hasibuan. Buku itu memuat 35 buah sajak Astaman Hasibuan yang ditulis sejak ia dibebaskan dari kamp tahanan tahun 1978 sampai tahun 2000-an. Buku kumpulan sajak tersebut, menurut saya merupakan upaya untuk menghadirkan jati diri Astaman sebagai seorang seniman yang telah sekian lama “dibenam” dalam penjara nilai-nilai hegemonik rezim orde baru yang komunis-phobi!

Astaman Hasibuan, sepanjang yang saya tahu, telah mempergunakan berbagai ruang publik untuk membacakan sajak-sajaknya, misalnya pada saat demo kaum buruh tanggal 1 Mei di halaman kantor Gubernur Sumatera Utara, dalam demo-demo yang dilakukan aktivis PRD maupun Front Reformasi Total. Memberikan ruang publik untuk menampung dan menyebarluaskan karya kreativitas para korban, pada hemat saya juga merupakan upaya rehumanisasi yang bisa membantu para korban untuk kembali menemukan jati diri mereka sebagai manusia.

 

Sebuah Harapan

Persoalannya menjadi sangat dilematis ketika muncul kesadaran bahwa yang disebut “kaum pemenang” memiliki banyak wadah yang dari waktu-waktu kerapkali digunakan sebagai kendaraan politik mereka. Misalnya lembaga Eksponen 66, Pemuda Pancasila dan IPK (Ikatan Pemuda Karya). Di sisi lain, mereka juga aktif berada pada institusi-institusi strategis yang banyak mempengaruhi wacana publik di Medan, seperti media pers, partai politik, legislatif dan lembaga pendidikan. Hampir setiap waktu, dalam berbagai kesempatan, mereka sering mengingat masyarakat Medan tentang “bahaya komunis”.

Mereka juga kerap menggelar apel siaga yang biasanya ditindak-lanjuti dengan ikrar kesetiaan untuk menentang kembalinya aksi kaum komunis. Tak seperti di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta atau Yogyakarta, dimana banyak elemen masyarakat yang memberi dukungan terhadap upaya demokratisasi sejarah, di Medan, apa yang disebut sebagai sejarah tandingan tampaknya belum mempunyai kesempatan untuk tampil diri.

Ada berbagai alasan atau mungkin kecurigaan saya: Pertama, aktor atau sejarah lokal barangkali tidak tergolong “seksi”, dalam arti dipandang kurang memiliki signifikansi dalam kontribusinya terhadap pembentukan “sejarah nasional”. Kedua, masih kuatnya “hegemoni” para sejarawan, aktivis LSM atau pemerhati sejarah, yang diakui masih banyak berada di Jakarta. Ketiga, situasi lokal sendiri yang kurang kondusif untuk proses demokratisasi sejarah, khususnya kota Medan yang saya kenali.

Di kota yang dijuluki sebagai “sarangnya para preman” tersebut, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan para preman, masih menjadi musuh kongkrit yang cukup menyita energi para aktivis Ornop di Sumatera Utara. Preman dan premanisme saat ini telah merasuk ke segala lini kehidupan di Medan. Barangkali hal ini juga merupakan faktor yang harus diperhitungkan secara taktis, seandainya ada kesempatan untuk memberikan ruang publik bagi para bekas Tapol 65 di Sumatera Utara tersebut.

Soalnya, sejumlah tokoh preman Medan adalah pelaku “pembantaian” terhadap orang-orang kiri di Medan pasca tahun 1965-an. Dan “peran kepahlawanan” tersebut, hingga kini masih dijadikan bahan indoktrinasi untuk merekrut para calon preman baru!

***

This post is also available in: English