screening film Senyap di Jakarta

screening film Senyap di Jakarta

screening film Senyap di Jakarta

Film Joshua Oppenheimer, The Act of Killing (2012), telah menunjukkan pada dunia internasional tentang  wajah impunitas yang berkait dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Indonesia setelah 1 Oktober 1965.  Menunjukkan pembunuh yang arogan, pemimpin politik yang membesar-besarkan diri, preman yang agresif dan pengusaha yang sombong. Sementara dalam karyanya kedua The Look of Silence (2014), kita menyaksikan impunitas dari sisi korban.

Impunitas sekitar peristiwa 1965, bukan cuma ‘sekadar’ ketidakadilan yang terjadi ketika pembunuh massal tetap memiliki kebebasan, sementara  korban beserta keluarganya dihadapkan dengan stigma, marjinalisasi, deprivasi ekonomi yang terus menerus, dan ketidakmampuan mereka untuk menuntut keadilan; impunitas ini adalah  kanker sosial yang mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan berbagai cara.

Impunitas sebagaimana didefinisikan oleh Orentlicher menyangkut ‘kegagalan negara-negara untuk  memenuhi kewajiban mereka dalam menyelidiki pelanggaran-pelanggaran; mengambil tindakan yang tepat terhadap pelaku, terutama menyangkut keadilan, dengan menjamin bahwa mereka yang diduga bertanggung jawab atas perbuatan kriminal diadili dan dihukum; untuk memberi korban penyembuhan yang efekif dan menjamin bahwa mereka menerima ganti rugi (atau pampasan) untuk penderitaan yang mereka alami, dan untuk menjamin hak yang tak dapat dirampas untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya tentang pelanggaran.’ (2005:7).

nobodycorp poster

nobodycorp poster

Dengan demikian kata-kata kuncinya adalah: hak atas kebenaran,  keadilan,  rehabilitasi, dan jaminan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi. Negara Indonesia, sampai sejauh ini  belum melakukan apa pun untuk menjamin hak-hak tersebut. Tidak ada upaya untuk menyelidiki kebenaran tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pada masa setelah upaya kudeta militer kelompok 30 September, dan tidak menindaklanjuti rekomendasi laporan Komisi Nasional Hak Azasi tahun 2012.

Masyarakat Indonesia telah dihambat untuk mengetahui kebenaran tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Negara Indonesia tidak pula memberikan keadilan terhadap korban,  dan tidak pula memberikan rehabilitasi dalam bentuk apapun (kecuali beberapa usaha mandiri dari pejabat lokal seperti di Poso). Sementara kaum preman/pelaku kejahatan tersebut,  masih dibiarkan terlibat dalam kekerasan tanpa ada pengendalian. Sampai sejauh ini tak ada satu pun jaminan dari Negara  bahwa hal tersebut tak akan terulang lagi.

Tahun 1965 adalah titik yang menentukan. Propaganda besar-besaran dari kaum pencipta ideologi Orde Baru, bukan cuma mengaburkan diskusi tentang peristiwa 1965 tapi juga mendistorsi narasi tentang zaman Orde Lama,  dan narasi gerakan nasionalis di jaman kolonial. Penulisan sejarah telah diambil alih oleh pemerintah dan terutama oleh tentara. Hampir tidak ada lagi  peluang bagi sejarawan sipil untuk menjalankan penelitian mereka (McGregor 2007; Zurbuchen 2005).

Aparat intel Orde Baru melalui kaum sejarawan tentara,  secara massif menggagalkan segala upaya untuk mengingat masa lampau. Paling tidak sejak Peristiwa Madiun tahun  1948,  terjadi berbagai ketimpangan  representasinya dalam memberi bingkai pada PKI. PKI dicap  sebagai ‘selalu mengkhianati’. Dan hasilnya adalah,  suatu tekanan yang berlebihan pada ketegangan antara kelompok komunis/sosialis dengan organisasi Islam. Ketegangan ini berhasil membungkam  diskusi tentang rekonsiliasi antara kelompok sosialis dengan kelompok Islam, ataupun kaitan antara Islam dan sosialisme. Padahal dengan memahami bagaimana perdebatan ini telah dibingkai, dan bagaimana kesadaran sejarah telah dikonstruksikan; akan sangat  membantu membuka diskusi tentang kemungkinan menggabungkan keadilan sosial dengan pengajaran agama.

lukisan dadang christianto

lukisan Dadang Christianto, “Darah itu merah, Jenderal”

Diskusi-diskusi tentang pembingkaian sejarah seperti yang disebut di atas, pada gilirannya akan sampai pada bagaimana peran ”pemuda preman” serta  ketiadaan alat untuk mengoreksi pelanggaran hak-hak  kemanusiaan.

Pembatasan atas segala interpretasi sejarah,  selain dari versi yang diakui,  telah membekukan masa lampau Indonesia secara efektif. Contoh tentang hal ini, antaranya  diorama di Museum Pancasila Sakti (MacGregor 2007). Dalam diorama tersebut, ingatan tentang semangat Orde Lama, perdebatan hangat tentang ‘emansipasi revolusioner’ kaum tani, buruh, perempuan, seniman, guru dan intelektual lain, telah dibuang ke tong sampah sejarah Indonesia.

Ingatan dan penilaian atas perjuangan ini adalah penting:  karena mengajarkan pada kita sesuatu yang bernilai,  sebuah sejarah  yang tak selayaknya dihapus dan dilupakan Rakyat Indonesia. Sebab di dalamnya pun,  kita  diajak menengok  hakekat kekerasan di Indonesia,  ke (tak)mungkinan reformasi sosial dan ekonomi, serta permainan politik yang menyembunyikan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam mempertahankan status quo.

Kekerasan di Indonesia memiliki sejarah dan budaya yang khusus. Kebengisan dan arogansi kekuasaan kolonial Belanda didampingi dua fenomena: kekerasan para preman dan penjaga keamanan lokal, dan munculnya kelompok pemuda dinamis yang menjadi penggerak kemerdekaan nasional. Kedua kelompok ini selalu muncul  dalam  banyak kekerasan yang terjadi. Sejak  penjajahan Jepang, kekerasan tampak tak terkendali, begitu juga saat revolusi nasional, pemberontakan Islam di Sulawesi, Jawa Barat,  dan berbagai tempat lain.

Pada akhir tahun 1950an, dalam perlawanan regional yang didukung  oleh CIA; preman dan mahasiswa sayap kanan berdampingan dalam kampanye pemusnahan PKI. Bahkan kali ini juga  didukung dan dikoordinasi oleh kaum militer. Kampanye teror semacam ini, terus berlangsung di jaman Orde Baru, kemudian secara ekstrim  terjadi di Timor Timur, Aceh, Papua dan daerah daerah lainnya, adalah serangkaian contoh dari sejarah kekerasan yang berkepanjangan di Indonesia (lihat koleksi Anderson 2001 dan Colombijn dan Lindblad 2002)

Lukisan Made Bayak #‎senirupaYangMenolakLupa‬

Made Bayak #‎senirupaYangMenolakLupa‬

Martha Meijer (2006) yang mempelajari jangkauan luas impunitas di Indonesia, serta aspek-aspek politik, legal, budaya dan internasional, juga  menekankan   aspek-aspek  budaya yang menghasilkan impunitas. Meijer  membahas sisa-sisa feodalisme, terutama dalam budaya Jawa (yang masih dominan),  menghasilkan suatu budaya kekerasan. Budaya tersebut  yang mempunyai ciri- ciri, yakni kecenderungan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik (dan bukan melalui diskusi atau debate),  penggunaan tabu dan pemalsuan,  serta budaya korupsi politik.

Dalam budaya kekerasan yang feodal ini,  kritik terhadap mereka yang berkuasa tidak didiskreditkan. Kritik dibisukan, polisi tidak melindungi mereka yang protes. Diskusi dan perbedaan pendapat secara terbuka tidak didukung. Sebaliknya kenyataan dikonstruksi untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Pelanggaran hak azasi manusia dilihat sebagai kabar buruk yang tidak perlu didiskusikan. Peran militer senantiasa digambarkan sebagai ‘penyelamat bangsa’ dan bukannya sebagai pihak yang telah membunuh ratusan ribu orang. Sikap ini di dukung oleh berbagai penyangkalan, kebohongan dan progaganda (Meijer 2006: 208 – 216).

Peristiwa 1965  dikelilingi oleh berbagai tabu dan rahasia. Impunitas yang berlangsung terus disekitar ‘peristiwa 1965’ , menghalangi upaya untuk memikirkan kembali sejarah dan budaya kekerasan periode 1965. Suatu periode saat polarisasi semakin membesar,  dan  perdebatan hangat tentang pandangan masa depan Indonesia tengah berlangsung. Lalu  demi masa depan ini,   ribuan mahasiswa antusias yang dikirim dan dididik di luar negeri. Bersama dengan mahasiswa dan intelektual di Indonesia,  mereka membayangkan diri  untuk menjadi elit intelektual yang bakal membangun bangsa.

Tapi oleh Peristiwa 1965, sebagian besar dari mereka terpaksa menghabiskan hidup mereka menjadi pengungsi politik, setelah paspor mereka dicabut. Stigma yang mendalam yang mewarnai diskusi terbuka tentang ‘peristiwa 1965’,  mengaburkan suatu analisis  jujur tentang suasana pasca kemerdekaan yang bercita-cita  menciptakan suatu bangsa baru yang adil.

#2 series of Project 65 (The Indonesian Mass Killings 1965/66) VICTIMS & VERSIONS, Didot Klasta

The Indonesian Mass Killings 1965/66
VICTIMS & VERSIONS,
Didot Klasta

International People’s Tribunal (IPT) didirikan untuk menghadapi budaya impunitas dengan membongkar lingkaran penyangkalan, distorsi, tabu,  dan rahasia yang tanpa ujung pangkal. Pertama, upaya ini akan dapat memberi suara pada para korban. Cerita mereka harus bergaung secara jelas sehingga mampu memiliki kekuatan membongkar stigma yang diderita oleh mereka dan keluarga mereka. Kedua adalah  Tribunal ini,  diupayakan mampu memberikan pencatatan yang transparan tentang peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi setelah 1 Oktober 1965. Transparan untuk siapapun yang ingin mengetahuinya. Laporan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia tahun 2012, adalah  pencatatan pertama tentang kejahatan-kejahatan tersebut. Laporan tersebut,   sampai saat ini tidak pernah mendapat pengakuan Negara dan tak pernah ditindak.

Tujuan ketiga dari Tribunal ini, adalah membuka ruang bagi debat publik tentang sejarah Indonesia, bail  tentang cita-cita pasca kolonial;  upaya membangun keadilan sosial; upaya menerapkan ‘rule of law’; upaya menggabungkan kekuatan sentrifugal sosialisme dan Islam; lebih lagi  upaya mengikis  budaya kekerasan.

This post is also available in: English