Oleh: Bonny Andalanta Tarigan, S.H*
Munir Said Thalib atau lebih dikenal dengan Cak Munir, seorang aktivis HAM yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan HAM dan mendampingi para pencari keadilan baik semenjak ia memulai karir di LBH Pos Malang kemudian di LBH Surabaya maupun setelah berada di YLBHI Jakarta dan mendirikan KontraS, Imparsial juga terlibat aktif di berbagai lembaga yang memperjuangkan pemenuhan terhadap HAM lainnya.
Tepat hari ini 12 tahun lalu 7 September 2004 Munir meninggal dunia di perjalanan pesawat terbang menuju Belanda. Seyogyanya ia akan melanjutkan study ke negeri Kincir Angin tersebut namun hal memilukan terjadi di penerbangan Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 dengan tujuan Amsterdam. Munir meninggal sebelum pesawat tiba di tujuan, kepergian munir menyisakan luka yang dalam bagi keluarga, para penggiat HAM dan semua masyarakat yang pernah didampinginya dalam mencari keadilan seperti korban penculikan aktivis mahasiswa 1998, korban tragedi semaggi I dan II, kasus buruh perempuan Marsinah, kasus DOM Aceh dan masih sangat banyak lagi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang disuarakan oleh Munir untuk diselesaikan dengan mekanisme peradilan HAM oleh negara khususnya juga pemerintahan otoritarian Orde Baru saat itu.
12 Tahun sudah semenjak kematian Munir namun penyelesaian kasusnya dianggap masih sangat jauh dari kata adil. Pollycarpus yang pada saat itu bertugas sebagai petugas aviation security pesawat Garuda Indonesia adalah satu-satunya tersangka yang akhirnya dihukum penjara setelah disidangkan di PN Jakarta Pusat, Desember 2005. Sementara itu Mayjen (purn) Muchdi Prandjono atau Muchdi PR divonis bebas setelah disidangkan pada tahun 2008 dimana jaksa penuntut umum sejatinya mendakwanya dengan hukuman 15 tahun penjara. Sebagai orang yang menganjurkan Pollycarpus dalam kasus pembunuhan Munir dengan cara diracun melalui makanan/minuman yang diberi racun arsenik.
Sebelumnya di tahun 2004 berangkat dari berbagai kejanggalan kematian Munir yang melibatkan beberapa pejabat sentral dari BIN, TNI sampai dengan Pejabat Garuda Indonesia, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Tim ini bertugas melakukan penyidikan terhadap kematian Munir. Dibentuk melalui Keppres 111 Tahun 2014 tentang pembentukan TPF Munir. Tim ini terdiri dari aktivis HAM, Kejaksaaan, Kepolisian sampai dengan unsur Kementrian Luar Negeri. Masa kerja TPF adalah 3 bulan dan kemudian diperpanjang 3 bulan sampai kemudian pada 24 Juni 2005 akhirnya TPF munir menyerahkan hasil laporan penyidikannya ke Presiden SBY di Istana Negara.
Sesuai perintah Keppres 111 tentang pengangkatan TPF Kasus Kematian Munir di dictum yang ke sembilan disebutkan bahwa pemerintah wajib mengumumkan hasil penyidikan Tim TPF Munir kepada masyarakat, namun hal tersebut juga tidak dilakukan oleh pemerintah sampai dengan hari ini.
LBH Jakarta dan KontraS akhirnya mengajukan persidangan adjudikasi sengketa informasi publik terhadap termohon Kementrian Sekretariat Negara (Kemensetneg) di Komisi Informasi Pusat (KIP) terkait laporan hasil penyidikan TPF Munir pada bulan Mei 2016. LBH Jakarta dan KontraS dalam tuntutannya meminta pemerintah mengumumkan hasil laporan TPF Munir kepada masyarakat luas sesuai perintah Keppres 111 Tahun 2004 Tentang Pengangkatan TPF Kasus Kematian Munir. Sebelumnya KontraS juga sudah beberapa kali meminta dokumen hasil laporan TPF tersebut ke Kemensetneg namun tidak membuahkan hasil sehingga akhirnya membawanya ke jalur sengketa Informasi publik di KIP.
Persidangan ini sendiri masih berjalan hingga saat ini, dari dua saksi yakni anggota TPF saat itu Hendardi dan Usman Hamid dalam keterangannya di KIP membenarkan hasil laporan TPF telah diserahkan ke Presiden SBY saat itu, mereka juga terus mendorong pemerintah mengumumkan hasil penyidikan kematian munir tersebut karena itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah sesuai yang diatur dalam Keppres 111 Tentang Pengangkatan TPF Kasus Kematian Munir.
Pekan ini dimulai dari tanggal 4 September – 11 September melalui serangkaian kegiatan bertajuk malam menyimak Munir dalam rangka peringatan 12 tahun kematian Munir dan untuk merawat ingatan kita bersama akan kasus Munir yang masih menimbulkan tanda tanya besar. Omah Munir bekerjasama dengan LBH Jakarta, KontraS dan beberapa lembaga lainnya mengadakan pemutaran film tentang Munir di setiap malamnya dalam sepekan ini.
Pada 3 hari pertama sudah dilakukan di LBH Jakarta disertai dengan diskusi di akhir pemutaran film. Animo masyarakat khususnya anak-anak muda terhadap sosok Munir sangat terlihat dengan antusias mereka meluangkan waktunya dan juga berdiskusi terkait sepak terjang Munir semasa hidupnya. Warisan nilai-nilai yang diajarkannya maupun perkembangan kasus kematian Munir. Suciwati Munir (istri alm Munir) hadir dalam hari ketiga pemutaran film dan diskusi di LBH Jakarta, menyampaikan bahwa anak-anak muda lah yang memiliki peranan yang sangat besar untuk meneruskan pemikiran-pemikiran Munir. Sehingga walaupun Munir sudah tiada tetapi perjuangannya akan tetap hidup di hati orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan masyarakat tertindas dan HAM.
Suciwati menambahkan bahwa harapan untuk penuntasan kasus Munir akan terus diperjuangkan tanpa letih, namun ia mengkritisi pemerintahan Jokowi yang malah mengangkat Wiranto yang disinyalir banyak melakukan pelanggaran HAM di masa lalu menjadi Menko Politik dan Keamanan. Sehingga ia berpendapat bahwa pemerintahan Jokowi sama sekali tidak pro terhadap HAM karena mengangkat pelanggar HAM menjadi pejabat sekelas menteri dan bukannya mengadilinya.
Munir memang telah tiada namun seperti yang dirasakan setiap orang yang pernah ada di sekitar atau didampingi olehnya bahkan anak-anak muda yang mendengar cerita ataupun membaca buku tentangnya, Munir akan terus hidup melalui pemikiran-pemikirannya.
*Penulis adalah Asisten Bantuan Hukum LBH Jakarta
This post is also available in: English