Sebuah berita kecil dua pekan lalu menarik perhatian: empatpuluh tahun setelah meninggalnya Francisco Franco, Madrid akhirnya menggusur nama diktatur tersebut. Kini di ibukota Spanyol tak ada lagi Avenida del Comandante Franco. Bersamaan dengan itu, 167 nama jalan lain yang merujuk pada kenangan dan penghormatan di masa Franco, pun digusur dari khasanah publik.

Apa yang terjadi hanyalah sebuah symptom dari politik memori yang tersendat-sendat. Delapan tahun lalu, Oktober 2007, berkat perjuangan politik dan tuntutan kaum cendekia, sejarawan dan seniman, dan dengan dukungan parpol yang progresif di parlemen, Spanyol secara demokratis menyepakati Undang Undang Memoria Historica. Sejak itu, berbagai warisan, monumen, simbol dan pelencengan sejarah hendak ‘diluruskan’ dan status eksil dari masa Franco direhabilitasi. Spanyol telah mengawali halaman baru dengan langkah yang bermakna, meski upaya keadilan dan rekonsiliasi yang dimotori swadaya masyarakat dan lembaga negara, melalui jalan legal dan politik formal itu, akhirnya, untuk sebagian besar, gagal.

Transformasi dari masa kelam yang traumatik menuju masa baru yang demokratis, selalu berlika-liku. Pada saat yang demikian, proses kesadaran baru tidak berjalan dengan sendirinya, melainkan jatuh-bangun dengan perlawanan, dengan, atau tanpa, konsiliasi dan rekonsiliasi. Dari generasi ke generasi, momentum demi momentum bergulir.

Betapa pun, Spanyol setidaknya telah menemukan wacana dan narasi – sebutlah ‘rel’ alternatif-nya – untuk melampaui masa kelamnya. Berbeda dengan Armenia dan Turki pasca-Genosida 1915. Disini wacana untuk melampaui masa kelam, mau tak mau, terjalin di dalam konteks geo-politik ketika Turki tetap menyangkal wacana genosida, sementara Armenia mewacanakan kebijakan perawatan memori (the cultivation of memory). Akibat perang regional, bersamaan dengan perang saudara, pembersihan ethnik, pengusiran dan pembantaian yang menghasilkan isu ‘Genosida Armenia’ seabad lalu itu, Armenia kini menjadi negara dengan mayoritas ethnik sebangsa yang hidup di rantau (10 juta), sementara penduduk negeri dengan ethnik yang sama hanya meliputi 3 juta. Oleh karena itu, wacana ‘Genosida Armenia’ menjadi wacana pemersatu bangsa, yang dijaga dengan politik negara yang melestarikan memori bangsa.

Sementara wacana yang alternatif hanya melangkah setapak demi setapak. Sebuah dokumenter televisi Belanda ‘Bloedbroeders’ (Dua Kerabat), misalnya, baru baru ini melaporkan perjalanan dua karib asal Armenia dan Turki. Ara Halici dibesarkan oleh orangtua asal Armenia dengan menghayati nasib bangsanya yang terpuruk, sedangkan Sinan Can, yang asal Turki, dibesarkan dalam alam yang melupakan perang saudara Turki-Armenia. Keduanya bersahabat, bersikap terbuka dan berkelana bersama ke Turki Selatan dan Armenia. Perlawatan investigatif itu membuka mata keduanya. Sebuah mikrokosmos konsiliasi di tengah kontroversi genosida.

Warisan masa kelam – pembantaian, Genosida dan dampaknya – lazimnya menjadi ‘beban’ yang solusinya tergantung pada ‘bandul’. Beban historis perlu dilampaui untuk ‘diselesaikan’ dengan mengungkap kebenaran, mengejar keadilan dan menata rekonsiliasi serta reparasi bagi para korban. Namun bandul politik kontemporer-lah yang akhirnya menentukan ‘penyelesaian’ beban tersebut. Sikon dan tuntutan masyarakat dapat menggoyang bandul politik ke arah perubahan – seperti di Spanyol awal 2000an dalam menyelesaikan masalah kejahatan di masa Perang Saudara 1930an yang menghasilkan UU Memoria Historica. Tapi bandul juga bisa macet atau diam-diam tengah bergoyang tak menentu – seperti sikon politik-mental di Indonesia dalam menyikapi Tragedi 1965.

The pendulum is swinging now in Indonesia in the direction of asking ‘How did we kill all these people and why did we kill them? And ‘how have we lived side by side without confronting this historical horror as a people?“ *)

Demikian sebuah kesimpulan, baru baru ini, menanggapi perhatian masyarakat terhadap dokumenter karya Joshua Oppenheimer ‘The Look of Silence’ dan pengalaman Adi Rukun, aktor utamanya, dalam berhadapan dengan sejumlah pelaku kejahatan 1965.

Pertanyaan-pertanyaan tandas dalam kutipan diatas akan tetap melekat di tengah masyarakat. Usaha lokal dan intervensi aparat penguasa yang merintangi acara pertunjukan dokumenter seputar 1965, seringkali harus menghadapi perlawanan lokal mau pun perlawanan terorganisir seperti terjadi di salah satu kampus di Yogyakarta, Juni yang lalu. Sementara pemerintah, c.q. Jaksa Agung dan Komisi yang bermaksud menyelesaikan sejumlah kejahatan hak hak asasi manusia, tampaknya tidak serius dalam rencana mengungkap ‘kebenaran’ dan ‘rekonsiliasi’. Siklus seperti ini – intervensi aparat, perlawanan khalayak lokal dan ketidakseriusan penguasa – bakal berkelanjutan karena hanya akan memancing dan memperkuat perhatian khalayak terhadap tragedi masa kelam yang belum terselesaikan, bahkan masih juga ditabukan, menjelang setengah abad tragedi tersebut. Padahal, seperti Spanyol dan Armenia, Indonesia, pada akhirnya, perlu menemukan wacana dan narasi alternatifnya terhadap masa kelamnya.

A.S.

*) Opening Indonesia’s Eyes In ‘The Look of Silence’ Npr.Org

This post is also available in: English