EDITORIAL
“The pendulum is swinging…” Bandul 1965 itu telah bergoyang, simpul dokumenter Joshua Oppenheimer “The Look of Silence”. Seperti banyak dokumenter dan kesaksian sebelumnya, kisah Adi Rukun telah menggoyang bandul menuju pertanyaan-pertanyaan yang kini terbuka bagi publik dan generasi baru: “Bagaimana kita bisa membantai orang-orang ini; mengapa kita membantai mereka; bagaimana kita sebagai bangsa dapat hidup bersama tanpa harus menghadapi horor yang terwaris sejarah?”
Pada 20 Juli 2016, Ketua Majelis Hakim IPT, International People’s Tribunal on Crimes Against Humanity 1965, Zakeria Yacoob, memberi kesimpulan final atas kejahatan-kejahatan yang terjadi pada 1965-1966 tersebut.
Apa yang terjadi sejak 30 September 1965, utamanya, pembantaian, penghilangan paksa, pemenjaraan, dan pelbagai kekerasan terhadap perempuan digambarkannya sebagai upaya pembasmian (extermination) terhadap kelompok-kelompok bangsa. Rangkaian kejahatan ini dianggap merupakan ”Genosida sesuai rumusan Konvensi 1948”, yaitu “dengan tekad spesifik untuk menghancurkan kelompok yang bersangkutan, seluruhnya atau pun sebagian”.
Menurut Majelis beranggotakan tujuh hakim internasional yang bersidang pada 10–13 November 2015 di Den Haag itu, sejumlah kejahatan mengawali, menunjang, kejahatan-kejahatan tadi: kampanye kebencian (propaganda), penganiayaan, perbudakan, pencabutan kewarganegaraan atau pembuangan-paksa, dan keterlibatan tiga negara yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Australia, dalam rangkaian Kejahatan Kemanusiaan tersebut.
Inilah pertama kali suatu pengadilan menyimpulkan Tragedi 1965 sebagai ‘Genosida’. Zak Yacoob menilai rangkaian kejahatan 1965 tersebut “setaraf dengan Pembantaian Turki-Armenia, pembersihan Stalin dengan Goelag, Genosida Hitler, komunalisasi di RRT (China), dan Tragedi Hindu lawan Muslim dalam partisi British-India” (The New York Times, 1966).
Orang boleh saja memperdebatkan apakah dengan demikian Genosida telah menjadi kerangka dari seluruh kejahatan pasca-September 1965, ataukah sebaliknya, bahwa Crimes against Humanity (CaH) atau Kejahatan Kemanusiaan menjadi kerangka putusan Hakim dengan catatan khusus tentang kasus-kasus yang, menurut Zak Yacoob, “perlu diteliti-lanjut” karena menunjukkan kejahatan yang ditujukan kepada ethnik Tionghoa – seperti di Aceh, Medan, Lombok dan terhadap Baperki di Jawa. Kekhususan ini, di satu pihak, mempertajam pengertian Genosida sesuai Konvensi 1948, namun di lain pihak, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa mereka, seperti kelompok ethnik yang lain, menjadi korban karena dianggap ‘komunis’ atau bersimpati demikian, ketimbang karena ciri ethniknya.
Dua hal menarik: pertama, deskripsi Hakim Ketua dalam menggambarkan keseluruhan dimensi dan luasnya skala kejahatan yang terjadi sebagai akibat dari tekad atau niat “extermination” dan, kedua, narasinya membandingkan Peristiwa 1965 sebagai “setaraf” (rivalled) dengan sejumlah kasus (“Goelag Stalin, Genosida Hitler” dll) seperti dilaporkan dua liputan The New York Times. Semua itu memperlihatkan bahwa Majelis Hakim menunjuk kejahatan 1965 secara keseluruhan dalam kerangka Genosida – lebih daripada sekadar rangkaian Kejahatan Kemanusiaan CaH.
Dengan sebuah kata kunci – “terlibat” – suatu Genosida telah terjadi. Siapa saja warga dan kelompok yang dicurigai dapat dengan mudah menjadi korban kejahatan yang menjungkir-balikkan kehidupannya. Disini Genosida menjadi kerangka dan narasi kejahatan, karena tekad dan rangkaian kejahatan yang terjadi kemudian terbukti mengarah dan menghasilkan perubahan besar dan menyeluruh secara paksa pada tatanan kehidupan masyarakat.
Dengan jumlah besar yang menjadi korban (“setidaknya 400 hingga 500an ribu”) dan dalam jangka waktu cukup lama (“1965 dan setelahnya”), maka menjadi jelas Genosida itu hanya mungkin terjadi sebagai suatu benturan vertikal yang hanya mungkin dilakukan oleh, dan atas instigasi, aparat yang secara legitim memonopoli senjata dan kuasa.
Maka Genosida 1965 tak dapat dibantah lagi. Bandul zaman kini harus bergoyang lebih kuat lagi menuju langkah-langkah yang diimbau Majelis Hakim kepada negara Indonesia. Yaitu mengungkap kebenaran, mengakhiri impunitas pada para pelaku kejahatan, meminta maaf kepada para korban dan menyelenggarakan rekonsiliasi dan reparasi, termasuk rehabilitasi hak hak para korban dan penyintas 1965.
Redaksi
This post is also available in: English