SEKITAR Lebaran 25 Desember 1965. Saya sudah lupa tanggalnya, tapi apa yang saya saksikan pada hari-hari itu kemudian melekat di benak hingga sekarang. Kembali dari Malang menuju Bandung, selepas Yogya, tiba-tiba semua kendaraan berhenti. Di jalanan orang hilir mudik. Semua diam atau berbisik-bisik. Tak ada tentara. Ada yang muram, setengah lari kembali ke rumah. Ada yang hanya saling pandang. Aneh, tak ada riang selepas Lebaran itu. Yang ada kegalauan yang membuat kami – kala itu saya masih di bangku terakhir SMA – masygul, terheran-heran ada apa gerangan. Maka kami pun menuju tepi jembatan tempat banyak orang berkumpul dan memandang ke bawah, ke sungai. Sejumlah jasad terkapar di pinggir dan tengah sungai yang dangkal. Terkejut dan terhenyak sesaat, saya tak menghitung jumlahnya. Yang pasti ada puluhan.

 

Mikrokosmos 

Mereka menonton, diam, lalu pergi. Pertama kali saya menyaksikan puluhan mayat manusia menjadi tontonan publik dan membiarkannya. Kami pun melanjutkan perjalanan pulang.

Tak ada yang istimewa dari kesaksian itu – kecuali bahwa hanya mimik dan raut wajah mereka menjadi bahasa yang bercerita. Sebelumnya, sejak Oktober, sudah ada kabar media tentang aksi-aksi “Basmi PKI” (Partai Komunis Indonesia). Kebanyakan orang mungkin tak segera menyadari skala dan betapa mendalam apa yang terjadi bagi masyarakat. Bandung memang bukan tempat yang tepat untuk merasakan getaran drama dan tragedi yang tengah berlangsung. Tetapi, bahasa wajah di Jawa Tengah tadi menunjukkan bahwa orang menyadari benar yang terjadi, bahwa mayat-mayat terkapar di sungai itu hanyalah sebuah mikrokosmos dari malapetaka yang lebih besar. Sebuah porsi lokal dari gambar besar yang menjelma menjadi warna zaman. Meski diam, takut, atau berbisik-bisik, khalayak desa menyadari sebuah tragedi sedang melanda bangsa ini – dan sebuah aparat negara berada dibaliknya.

Inilah pembantaian manusia terbesar di Nusantara sejak, sebutlah, anak buah Jan Pieterzoons Coen membantai penduduk Pulau Banda, sejak aksi Kapten Westerling di Sulawesi Selatan, sejak Jepang memaksakan Romusha, sejak aksi pemuda terhadap tawanan Belanda di masa yang disebut ‘Bersiap’ 1945-46. Kini, dua dasawarsa setelah merdeka, bangsa ini menjadi korban ketika setengah juta nila tumpah, merusak sebelanga susu republik – yaitu republik hasil perjuangan bangsa itu sendiri.

 

Dua Zeitgeist

Tiga tahun kemudian, 1968, semasa mahasiswa di Leiden, Belanda, setiap hari saya bersepeda melewati sebuah jembatan-gantung yang ditandai graffiti Soeharto Moordenaar (Soeharto Pembunuh). Di Amsterdam beredar poster bertajuk ‘The Archipelago of Prisons’ (Kepulauan Penjara) terbitan Amnesty International sekitar 1974. Tahun 1968 hingga 1980an pergolakan di Dunia Ketiga mewarnai Eropa. Di Belanda, guru besar sejarah dan sosiologi Asia Prof. Dr. W. F. Wertheim yang memimpin Komittee Indonesie dan majalah Feiten en Meningen, memelopori kajian kritis dan penyadaran masyarakat akan isu kediktaturan dan kekejaman di Indonesia, tepat di saat Belanda memulihkan hubungan dengan Indonesia.‘Terug van weggeweest’ (‘Belanda Kembali lagi ke Indonesia’), begitu istilah sinisnya. Di Paris, semacam Mekkah gerakan mahasiswa tahun 1970an, filsuf Jean-Paul Sartre menyulut kebangkitan cendekia dan perhatian dunia pada Dunia Ketiga. Di Stockholm, filsuf Bertrand Russel menggugah nurani dunia melalui Vietnam War Crime Tribunal (1971) dan mengingatkan bahwa di Indonesia dalam enam bulan jatuh korban sebesar Perang Vietnam dalam beberapa dekade (1954-1975). Sementara pemboman-permadani atas Kamboja melahirkan rezim Khmer Rouge yang tak kalah kejam dengan rezim Orde Baru di Indonesia.

Betapa kontras zaman telah memuncak. Di Dunia Ketiga, rezim-rezim di Asia dan Amerika Latin menemukan ‘solusi’ Perang Dingin dengan jalan pintas berupa kediktaturan militer dan pembantaian massa, di satu pihak, justru ketika di Eropa tuntutan Zeitgeist (warna zaman) menyoal ‘solusi’ semacam itu dan di Amerika masyarakat bangkit menentang Perang Vietnam, di lain pihak. Pada titik itulah orang menohok hipokrisi dunia: percaturan negara (geo-politik) yang mencurahkan perhatian besar terhadap kekejaman rezim komunis ala Khmer Merah di Kamboja, tetapi pada saat bersamaan bungkam tentang pembantaian manusia 1965-1966, yang memukul sayap kiri di Indonesia.[1]

 

Kejahatan beranak-pinak

Tahun 1990-2000an, konsep ‘Dunia Ketiga’ tadi lenyap dari khasanah publik, narasinya hilang dari wacana dunia, dan tokoh-tokoh tadi telah tiada. Tetapi ‘1965’ masih melekat, merasuki naluri masyarakat, menjadi trauma bangsa, dan kini perlahan tampil di permukaan publik dengan upaya-upaya lokal menggali kuburan-kuburan massal, fakta dan khasanah baru seputar tragedi itu. Pasca-1998, tahun ‘1965’ itu terbit kembali. Ada yang menyebutnya ‘Prahara’, ada yang memilih istilah ‘Holocaust’ dari khasanah Nazi di Jerman 1940an yang lebih mengena bagi Tragedi Besar ‘1965’.[2]

Di pertengahan 1990an itulah seorang pemilik hotel di Kuta berkisah kalem tentang perburuan dan pembunuhan di desanya bagaikan hal keseharian yang wajar saja – tanpa sesal dan pahit. Sehari sebelumnya, seorang supir bus yang membawa saya ke kota Denpasar bercerita serupa dengan semangat kebanggaan seorang jago – juga tanpa sesal dan pahit. Menyesal saya tak merekam cerita mereka. (Bali saat itu tempat transit dalam perjalanan tugas saya ke Timor Timur).

Betapa pun, setidaknya orang mulai bicara – bahkan kepada orang dari luar desa mereka. Gejala-gejala seperti itu menandai suasana zaman saat bintang Sang Jenderal Besar merosot, legitimasi rezimnya mulai goyah, tapi juga saat tragedi-tragedi berdarah yang membuka jalan bagi Orde Baru makin terungkap – bahkan berkepanjangan seperti di Timor Timur dan Aceh.

Di provinsi ke 27 itu, dunia memantau lebih intensif sehingga di akhir pendudukan militer di sana, ketika gelombang kekerasan melandanya selepas jajak-pendapat Agustus 1999, badan PBB UNAMET dapat menyimpulkan bahwa amuk ABRI dan milisi sepanjang paro kedua September menjadi-jadi justru karena mereka kaget dan marah. Bukan saja karena kalah dalam referendum, tapi karena kalah dan menjumpai situasi kebalikan di tahun 1965-66, ketika mereka bisa menghabisi musuh-musuhnya dengan leluasa.[3] Kehadiran ratusan pejabat asing, pengamat asing, LSM dan media dunia menghalangi perburuan massal. Tapi, pada gilirannya, itu mendorong aparat memacu operasi mendeportasi sekitar 200 ribuan warga Tim-Tim ke NTT dalam tempo kurang dari seminggu, dengan mengerahkan truk-truk, kapal dan Hercules. Saya menyaksikannya di kota Dili dan di bandara Comoro.

Di tahun yang sama, akhir 1999, warisan ‘1965’ itu juga membayangi operasi tentara di Aceh. Rumah Geudong, sebuah gedung mewah disewa oleh RPKAD.

This post is also available in: English