Kesaksian wartawan Tirto yang terjebak di dalam Gedung YLBHI selama pengepungan dan penyerbuan akhir pekan lalu.
Minggu malam, 17 September 2017, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kerumunan orang duduk menikmati musik. Di atas panggung, Ananda Badudu, mantan personil band duo Banda Neira, tengah menyanyikan lagu, “Esok Pasti Jumpa (Kau Keluhkan)”. Beberapa pengunjung turut serta menyanyikan lagu itu.
Suasana riang, nyaris tak ada keributan. Di tengah lagu, Ananda menyelipkan frasa “Kau keluhkan tindakan aparat….” Beberapa pengunjung tertawa, ada yang memberikan tepuk tangan.
Saat itu, LBH Jakarta, kantor bantuan hukum yang bernaung di bawah YLBHI, menjadi tuan rumah acara “AsikAsikAksi: Darurat Demokrasi”. Acara ini merupakan respons atas pelarangan dan pembubaran acara seminar sejarah “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” yang diselenggarakan sehari sebelumnya (Sabtu, 16/9).
Pihak kepolisian meminta Gedung YLBHI dikosongkan, tetapi pihak penyelenggara acara menolak. Lantas adu ngotot terjadi, panitia dan peserta menyatakan tidak akan pergi dari gedung jika polisi tidak pergi, sementara polisi bersikeras tidak akan pergi jika gedung tidak dikosongkan. Sejak Sabtu pagi itu, sekitar pukul 06.00, polisi sudah memblokade akses masuk ke dalam Gedung YLBHI. Mereka yang di dalam tidak bisa keluar, pengunjung yang masih berada di luar tidak bisa masuk ke dalam.
Singkat kata: kegiatan pada Sabtu gagal terlaksana.
Merespons situasi itu, dibuatlah acara “AsikAsikAksi: Darurat Demokrasi” untuk menunjukkan dukungan terhadap LBH Jakarta dan penyelenggaraan acara. Para pengisi acara berasal dari berbagai kelompok. Komunitas sastra, musisi, hingga mereka yang secara spontan datang untuk sekadar menunjukkan dukungan.
Ananda masih bernyanyi hingga setidaknya sekitar jam 21.40. Menjelang akhir lagu, lampu ruangan tengah yang sebelumnya terang tiba-tiba mati. Ananda yang berencana turun panggung ditahan para tamu. Ia diminta membawakan satu lagu lagi.
“Memang di luar ada sesuatu, ya? Ada yang konferensi pers malam-malam begini?” kelakar Ananda yang kemudian disambut gelak tawa pengunjung.
Itulah tawa terakhir yang terdengar di dalam gedung YLBHI malam itu.
Di luar gedung, sekitar jam 22.00, sekelompok massa mulai menggeruduk YLBHI dari arah Jalan Mendut. Dari pengamatan saya yang berada di dalam gedung, massa awalnya hanya beberapa orang. Namun, massa bertambah banyak dalam waktu yang sangat cepat. Hanya dalam tempo satu jam, jumlah massa berlipat-lipat lebih banyak.
Pintu gerbang Gedung YLBHI ditutup. Polisi berjaga di dua pintu masuk. Massa yang berasal dari kelompok tidak dikenal memaksa masuk ke dalam gedung. Mereka menuduh di dalam gedung sedang berlangsung kegiatan konsolidasi orang-orang PKI.
Seseorang yang mengaku perwakilan Rukun Warga (RW) memaksa masuk. Lagi-lagi ia menuduh di dalam Gedung YLBHI sedang berlangsung acara PKI. Seorang pria yang membawa senter lantas menyorotkan cahaya kepada para relawan dan simpatisan yang tengah duduk di depan pintu masuk. Lampu di halaman Gedung YLBHI, juga lampu di luar tengah, memang sudah dimatikan, dan orang itu kemudian menggulirkan cahaya senter ke wajah para relawan dan simpatisan yang berada di beranda sembari berteriak: “Ini wajah orang-orang PKI.”
Pengurus YLBHI dan LBH Jakarta tentu saja tidak percaya mereka perwakilan RW. Tapi negosiasi tidak terhindarkan karena jumlah massa semakin masif. Perwakilan massa ingin masuk, pengurus dan panitia menolak. Proses negosiasi kemudian berubah menjadi penuh ancaman.
Menjelang tengah malam, sekitar pukul 23.59, mediasi kembali dilakukan. Dari pihak massa yang melabeli diri Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Komunis diwakili dua orang berbaju putih, Pimpinan Badan Masyarakat (Bamus) Betawi, Muhammad Rifki atau yang akrab dipanggil Eki Pitung. Dari pihak keamanan: Kapolda Metro Jaya Irjen Idham Aziz, Kapolres Jakarta Pusat AKBP Suyudi, dan Dandim Jakarta Pusat Kolonel Edwin. Perwakilan panitia adalah Usman Hamid, Yati Andriyani, Alghiffari Aqsa, dan Asfinawati. Mediasi berlangsung di antara pagar.
Perwakilan massa terus berupaya masuk. Mereka tak percaya dengan kesaksian Kasat Intel AKBP Danu Wiyata bahwa di dalam Gedung YLBHI tak ada acara berbau komunis. Saat mediasi, massa terus berteriak: “Ganyang PKI! “Biarkan demonstran masuk!” Setelah lewat tengah malam, teriakan tentang PKI dan komunis semakin intens. Teriakan yang awalnya hanya “Ganyang PKI!” berganti menjadi “Bunuh PKI!”, “Bantai PKI”, “Bakar mereka!”
Aya Oktaviani, salah seorang pengunjung yang sebenarnya sudah pulang, datang kembali ke Gedung YLBHI. Di depan pintu gerbang ia berusaha menjelaskan kepada polisi bahwa acara yang diselenggarakan sejak sore tak ada kaitan dengan komunisme, sekedar bernyanyi dan membacakan puisi saja.
Di dalam gedung, kebanyakan pengunjung tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar. Mereka tidak mengerti mengapa Gedung YLBHI Jakarta dikepung. Acara sebenarnya telah selesai saat Ananda Badudu turun panggung.
Aditya Wardana, salah seorang pengunjung, berkata sebelum acara selesai ada beberapa orang yang datang untuk menanyakan acara ini. Ia sebenarnya sudah bersiap untuk pulang setelah seluruh rangkaian acara selesai, namun ia tertahan di Jalan Mendut.
“Tiba-tiba dari arah Jalan Diponegoro ada suara takbir, lalu polisi menutup pagar, dan suasana jadi tegang,” katanya.
Diperkirakan ada seratusan orang yang terjebak dalam gedung. Mereka terdiri dari staf YLBHI dan LBH Jakarta, pengisi acara, tamu, penyintas kekerasan Tragedi 1965 dan ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng. Panitia dan pengurus YLBHI-LBH Jakarta meminta mereka bersembunyi di tempat yang aman di dalam gedung. Ruangan tengah yang lampunya sudah dimatikan perlahan-lahan menjadi pengap dan panas. Asap rokok yang tak bisa keluar membuat beberapa orang merasakan sesak nafas.
“Tolong pengertiannya, rokok harap dimatikan dulu,” kata salah seorang pengunjung.
Di dalam gedung hanya ada satu AC dan satu kipas angin. Orang-orang sibuk dengan ponsel masing-masing. Mereka tak bisa ke luar gedung. Beberapa orang menelpon kerabatnya masing-masing, mereka meminta siapa pun yang dianggap bisa melakukan evakuasi. Beberapa aktivis mahasiswa menelpon senior-seniornya. Raut wajah mereka tegang.
“Siapapun, semuanya harus bersiap, ya! Jika nanti massa masuk, rekam apapun yang ada jika terjadi kekerasan,” kata salah seorang pengunjung.
Imbauan itu menyiratkan satu hal: mereka yang berada di gedung mulai menyadari potensi penyerbuan dari arah luar. Dan itu jelas mengerikan. Selain tidak sebanding dari sisi jumlah, Gedung YLBHI yang tidak seberapa luas pasti akan menyulitkan tindakan mempertahankan diri.
Dari luar, terdengar teriakan yang meminta agar aliran listrik ke Gedung YLBHI diputus.
Lini Zurlia, aktivis yang terjebak di dalam Gedung YLBHI, sibuk mengambil gambar dari luar ruangan. Ia menyebarkan video pengepungan ini di media sosial. Lini berharap orang-orang bisa ikut menekan pihak kepolisian untuk menyelamatkan para tamu yang terjebak di dalam gedung. Ia juga ditelepon kakaknya yang khawatir akan keselamatan Lini. Kepada kakaknya, ia berusaha menjelaskan bahwa meski dikepung, kondisi di dalam gedung relatif stabil.
Hal serupa dilakukan oleh mereka yang berada di dalam gedung. Saya berkoordinasi dengan tiga reporter Tirto yang berada di luar, juga berkomunikasi dengan editor. Beberapa kali saya menelepon editor melaporkan perkembangan yang terjadi.
Kondisi makin buruk saat beberapa orang meminta air minum karena kehausan. Nyaris tidak ada air minum yang tersisa di dalam gedung. Gelas-gelas plastik air mineral yang berserakan, botol air minum yang ada di tempat sampah, dipunguti kembali untuk mengais-ngais sisa air minum.
Melihat itu, pihak YLBHI kemudian membuka satu galon air. Sepanjang malam pengepungan, galon terakhir itulah yang menjadi satu-satunya sumber air bersih layak minum untuk seluruh orang yang terjebak di dalam gedung.
Selewat tengah malam, massa makin membeludak. Ratusan orang telah berkumpul di luar pintu gerbang LBH.
Bahagavad Shambada, salah satu pengunjung yang terjebak di dalam gedung, naik ke lantai atas. Dari ketinggian ia menyaksikan betapa massa sudah menyemut hingga ke kawasan Metropole.
Perwakilan massa tetap memaksa masuk seraya merentangkan spanduk karton bertuliskan: “Tutup & Segel Kantor LBH, Sarang PKI”. Mereka tidak percaya kalau di dalam hanya acara seni. Mereka menduga acara di dalam adalah “konsolidasi komunis”.
Kapolda Idham Aziz mengingatkan bahwa ia adalah pihak yang berwenang. “Saya menghargai privasi dalam suatu ruangan. Perizinan sudah didapat dari Badan Intel Keamanan Mabes Polri. Kami ke sini hanya melaksanakan pengamanan. Kita kalau bicara begini terus tidak akan selesai. Yang paling penting, di dalam tidak ada kegiatan itu,” katanya.
Pihak massa masih ngotot bahwa di dalam sempat dinyanyikan lagu “Genjer-Genjer” dan mencurigai adanya atribut PKI. Eki Pitung bersuara: “Massa sudah tidak terbendung. Kalau di dalam bukan PKI, silakan perwakilan menyatakan sikap bahwa bukan PKI. Saya penjamin, saya ingin dikawal juga oleh kepolisian. Kami mengawal bapak, Bamus Betawi dan FPI semua mengawal. Kita mau 5 menit saja ke dalam,” katanya.
Kapolres dan Dandim Jakarta Pusat masuk ke dalam Gedung YLBHI, mereka memeriksa kondisi para tamu LBH dan menyampaikan bahwa mereka sebenarnya ingin semua aman. Baik Kapolres maupun Dandim menjamin keselamatan para tamu dan berjanji akan melakukan negosiasi dengan para pendemo agar tamu yang terjebak di dalam bisa pulang.
Di luar gedung, Kapolres Suyudi memberi tahu demonstran bahwa tidak ada lagi kegiatan dan tidak ada kegiatan PKI. Kapolda, Dandim, Kapolres, dan perwakilan massa yang ikut mediasi menyampaikan hasil perundingan ke demonstran. Dandim Kolonel Edwin memerintahkan demonstran untuk diam. “Setelah ini rekan-rekan, saudara-saudara sekalian tenang, karena yang di dalam mau keluar juga tidak bisa keluar,” katanya
“Jangan kasih keluar,” sahut massa.
“Tidak bisa, dong,” kata Dandim, “biarkan mereka pulang!”
Seruan Dandim itu dianggap angin lalu, massa tetap memadati Jalan Mendut dan menolak bubar. Melihat kondisi semakin tidak terkendali polisi menambah personil. Tim Sabhara bermotor trail datang dari arah belakang Jalan Mendut. Ada 4 motor dan 7 personil Brimob. Brimob yang menyetir motor membawa laras panjang, yang dibonceng membawa senjata gas air mata.
Sekitar pukul 01.00, hari telah berganti menjadi Senin, teriakan “Ganyang PKI!”, “Bantai PKI”, “Bakar PKI!” terdengar semakin keras. Para tamu LBH yang ada di dalam ruangan kemudian makin merapatkan diri. Tak lama kemudian sebuah batu melayang dan memecahkan kaca depan Gedung YLBHI. Makin lama lemparan batu makin sering. Para tamu yang ada di dalam mengungsi dan saling menjaga diri di dekat tangga. Beberapa tamu LBH lantas berinisiatif membuat barikade di pintu dan jendela dari kursi, papan, dan meja.
Bilven Rivaldo Gultom, dari Penerbit Ultimus Bandung, memeriksa rekan-rekannya. “Semua mundur dan menjauh dari jendela!” katanya.
Teriakan bunuh dan ganyang PKI semakin keras. Beberapa orang demonstran terlihat melompati pagar, polisi lantas bersikap tegas mendorong mereka keluar lagi dari kompleks gedung. Lemparan batu semakin sering, kaca bagian depan gedung LBH sudah pecah berntakan dan mobil sedan milik salah satu pengacara publik LBH Jakarta rusak akibat lemparan batu. Sementara pagar besi di depan gedung YLBHI nyaris roboh.
Jam 01.35, Kompi Sabhara bermotor memecah massa. Lima orang polisi yang kepalanya bocor ditarik mundur ke Jalan Mendut. Gas air mata ditembakkan lebih dari 9 kali. Mobil water cannonmenyemburkan air. Satu kompi Brimob dikerahkan mendesak massa. Konsentrasi massa terpecah ke arah Jalan Pegangsaan Barat, Jalan Kimia, dan Salemba. Pukul 01.39 satu mobil Barracuda dikerahkan ke arah demonstran.
Polisi masuk ke dalam gedung. Mereka meminta para pengunjung untuk dievakuasi. Dalam kondisi yang setengah ricuh, panitia dan pengurus menyarankan agar polisi memprioritaskan evakuasi orang-orang yang sakit terlebih dahulu. Dari lantai dua, seorang perempuan yang pingsan digendong dan dibawa keluar. Pihak kepolisian ngotot bahwa orang-orang harus dievakuasi segera dan gedung harus dikosongkan.
Para aktivis di dalam gedung bergeming. Mereka tetap berada di dalam ruangan. Beberapa orang bersikeras tinggal, mereka merasa bahwa acara “AsikAsikAksi” bukan rapat komunis, mereka berhak berada di LBH karena tidak melakukan kesalahan apapun. Salah seorang mengatakan: “Jika gedung dikosongkan, bagaimana nasib gedung dan seluruh dokumentasi?”
Karena keadaan semakin tidak kondusif, Asifinawati dan Alghiffari kemudian keluar bersama Usman Hamid. Sekitar pukul 02.30, perundingan dalam rangka evakuasi dimulai. Setelah negosiasi Usman Hamid merekomendasikan seluruh orang di dalam Gedung YLBHI untuk dievakuasi total. Kondisi sudah tidak memungkinkan untuk bertahan.
Wakapolda Metro Jaya Brigjen Purwadi Arianto meminta pengunjung duduk, agar mudah dikenali jika ada orang asing atau penyusup. Polisi sempat mengamankan tiga orang yang diduga penyusup yang berhasil menyelinap ke halaman Gedung YLBHI. Dia juga meminta agar tak mengabarkan ke sanak saudara sedang berada di mana dan akan dievakuasi ke mana. Wakapolda bilang evakuasi akan dilakukan ke Polda. Tapi ketika Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM datang, tujuan evakuasi berubah ke Komnas HAM.
Alghiffari kemudian bersuara. Ia meminta orang-orang yang ada di dalam gedung LBH untuk keluar dan menyelamatkan diri. Sementara Alghiffari bersama beberapa staf LBH berencana mengumpulkan berkas lebih dulu dan menyusul jika semua sudah dokumen penting telah diamankan.
Pukul 02.52, evakuasi gelombang pertama dimulai. Dua truk polisi, masing-masing berisi 24 orang, mulai bergerak menandai berakhirnya 5 jam yang mencekam di Gedung YLBHI.
Sumber: Tirto.Id
This post is also available in: English