Rabu, 02 Agus 2017 | 22:56 WIB | Ade Irmansyah 

“Ketika membubarkan acara, mereka bilang ‘jangankan acara-acara berbau politik, acara sunatan pun harus seizin kami. Negara harus hadir dalam acara tersebut untuk mengamankan’.”

Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kapolri Tito Karnavian menjelaskan landasan hukum pelarangan acara lokakarya yang dilaksanakan International People’s Tribunal (IPT) 1965 bersama para korban penyintas 1965-66 dan aktivis hak asasi manusia.

Acara yang semula digelar 1-3 Agustus 2017 di Jakarta Timur itu dibubarkan Polres Jakarta Timur dan Koramil setempat.

Pengacara publik LBH Jakarta, Pratiwi Febry Hutapea mengatakan, berdasarkan peraturan perizinan yang harusnya digunakan oleh Polri terkait suatu acara, izin hanya dibutuhkan ketika berkaitan dengan keramaian yang dihadiri minimal 500 orang maupun aktivitas yang menggunakan kembang api.

Pratiwi mengatakan acara lokakarya IPT 65 tersebut tidak masuk kategori itu sehingga tidak perlu menyampaikan izin kepada kepolisian setempat.

“Silakan lihat di website Polri terkait perizinan. Izin itu hanya digunakan untuk dua kepentingan. Pertama, keramaian dan kedua, acara kembang api. Apakah acara kemarin menggunakan kembang api? Saya rasa tidak. Kedua, keramaian yang dihadiri 500 orang. Apakah kemarin sampai 500 orang? Tidak. Kita juga tahu, Polisi mengeluarkan Peraturan Kapolri tentang HAM, Nomor 8 tahun 2009. Di dalamnya dinyatakan kepolisian menjamin untuk berkumpul, untuk berpendapat dan berekspresi,” kata Pratiwi Febry Hutapea di Jakarta, Rabu (2/8/2017).

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menganggap pembubaran yang dilakukan aparat kepolisian tersebut disebabkan karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah pusat, terutama Menko Polhukam Wiranto dan Presiden Joko Widodo.

Padahal, kata Usman, sebenarnya hal itu tidak perlu terjadi lagi semenjak pemerintahan Presiden Joko Widodo menyelenggaran secara resmi Simposium Nasional membahas pembunuhan masal tahun 1965-1966 pada April 2016 lalu.

Usman mengatakan acara-acara serupa setelah Simposium digelar ternyata sering dikait-kaitkan dengan pendiri PKI. Padahal acara tersebut hanya membahas soal korban dan hak-haknya yang mulai diperhatikan oleh pemerintahan Jokowi.

“Kecuali kalau memang Presiden Jokowi sudah mengubah janji-janjinya saat pencalonan menjadi Presiden dan dituangkan di dalam Program Nawacitanya saat menjadi Presiden. Setahu saya itu belum berubah. Kalaupun berubah, berarti telah terjadi kemunduran. Harusnya mereka tegas, sehingga koordinasi hingga ke bawah satu suara,” kata Usman Hamid.

Kronologi pembubaran

Kegiatan lokakarya yang dilaksanakan International People’s Tribunal (IPT) 65 bersama para korban dan penyintas 1965-66 bersama aktivis hak asasi manusia, pada 1 Agustus 2017 lalu disatroni aparat kepolisian dan TNI.

Pembubaran dilakukan sekitar 10 orang berpakaian preman dipimpin Kepala Satuan Intelijen Polres Jakarta Timur Sianturi, pejabat Koramil Sianipar dan lurah Jakarta Timur Abdurahman. Mereka dengan terang-terangan menekan dan memaksa pengelola Wisma menghentikan kegiatan lokakarya dengan alasan tidak ada izin.

Aparat menyalahkan pengelola yang tidak awas terhadap detail kegiatan.

Selain itu, aparat juga melakukan intimidasi terhadap peserta yang datang dari Jakarta maupun luar kota. Para peserta diminta menunjukkan undangan dan lembar panduan kegiatan.

“Ketika membubarkan acara, mereka bilang ‘jangankan acara-acara berbau politik, acara sunatan pun harus seizin kami. Negara harus hadir dalam acara tersebut untuk mengamankan’. Saya bilang, pertama, ini acara privat di ruang tertutup yang kami sewa. Saya jelaskan bahwa ketentuan minta izin itu jika memang berpotensi mengganggu publik. Tapi ini nggak,” kata salah seorang panitia Lokakarya IPT 1965, Reza Muharam di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (2/8/2017).

Panitia sempat menanya soal landasan hukum pelarangan acara yang dianggap mengganggu keamanan publik tersebut. Namun, kata Reza, aparat yang datang itu tidak bisa menjelaskan landasan hukum tersebut. Mereka hanya menjelaskan masyarakat sekitar terganggu dengan acara tersebut.

Namun, ketika ditanya balik terkait pihak yang melaporkan acara tersebut ke aparat, Kasat Intel menolak untuk memberikan informasi lebih lanjut.

“Masyarakat yang mana? Ada yang tahu saja tidak soal acara ini. Ini jelas mengada-mengada,” kata Reza.

Panitia penyelenggara lokakarya memandang hak kebebasan berkumpul dan berpendapat yang dilindungi konstitusi telah diinjak-injak oleh aparat.

“Ini bukan kali pertama kami diperlakukan seperti ini. Di kampus-kampus seperti di Ambon, Bandung dan Semarang kami juga diperlakukan sama,” tambahnya.

Panitia dan pengelola tempat akhirnya membatalkan acara tersebut dan memindahkan acara ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Kantor Komnas Perlindungan Perempuan.

Sejatinya acara tersebut dilakukan selama tiga hari sejak tanggal 1 hingga 3 Agustus mendatang.

Editor: Agus Luqman

Sumber: KBR.ID

This post is also available in: English