Fathiyah Wardah
Menurut laporan tahunan Amnesti Internasional terbaru, penegakan HAM di Indonesia di bawah Presiden Jokowi mengalami banyak kemunduran, meskipun ada sedikit kemajuan. Hal-hal yang dianggap sebagai kemunduran, antara lain meningkatnya pengekangan berekspresi dan pembatasan kebebasan beragama.
Amnesti soroti penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan
Deputi Direktur Kampanye Asia Tenggara Amnesti Internasional, Josef Benedict dalam jumpa pers di Jakarta mengatakan polisi dan militer masih menghadapi tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan yang tidak diperlukan.
Dicontohkannya, pada bulan Maret 2015 beberapa anggota Brimob menyerang para penduduk di kampung Morekau, Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku, setelah para penduduk tersebut mengadu kepada komandan Brimob yang datang ke kampung mereka bahwa para anggota Brimob tersebut mengganggu sebuah upacara keagamaan.
Tiga belas orang mengalami luka serius akibat serangan tersebut. Meskipun komandan kepolisian setempat berjanji akan menyelidiki peristiwa itu, hingga kini belum ada seorang pun yang diseret ke muka hukum.
Contoh lain – ujar Josef – terjadi ketika pada bulan Agustus seorang personel militer yang tidak bertugas menembak mati dua orang di depan sebuah gereja di Timika, Provinsi Papua. Polisi di tempat yang sama juga menembak dua orang pelajar sekolah menengah dalam sebuah operasi keamanan di bulan September, di mana salah seorang di antaranya meninggal.
Contoh-contoh itu belum mencakup penangkapan sewenang-wenang para pengunjuk rasa damai – khususnya di Papua – yang juga terjadi di sepanjang 2015.
Intimidasi dan serangan terhadap kelompok minoritas sering terjadi
Dalam laporan itu, Amnesti Internasional menyatakan bahwa pemerintah telah membatasi kegiatan-kegiatan yang memperingati 50 tahun peristiwa pelanggaran HAM 1965-1966.
Gangguan intimidasi dan serangan terhadap kelompok minoritas agama di berbagai tempat di Indonesia juga kerap terjadi tahun lalu, dengan difasilitasi oleh ketentuan hukum yang diskriminatif – baik di tingkat nasional maupun lokal.
Josef Benedict juga menyebut sebuah hukum pidana Islam di Aceh (Qanun Jinayat) yang mulai diberlakukan pada Oktober 2015, yang memperluas penggunaan hukuman yang kejam bagi pelaku hubungan seksual sejenis dan hubungan intim antara dua orang di luar perkawinan, dengan hukuman cambuk maksimum masing-masing 100 dan 30 kali. Hingga laporan ini disampaikan sedikitnya ada 108 orang dicambuk di Aceh berdasarkan hukum Syariah, baik karena perjudian, minum alkohol atau zina pada tahun 2015, padahal hukuman cambuk merupakan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi.
Josef juga menyebut eksekusi mati 14 orang terkait narkoba pada tahun 2015 sebagai bentuk pelanggaran HAM lain. Yang sangat mengkhawatirkan tambahnya pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan eksekusi mati pada tahun 2016.
Amnesti desak Jokowi memperbaiki agenda pemajuan HAM
Untuk itu Amnesti Internasional meminta Presiden Jokowi untuk memperbaiki agenda pemajuan HAM ini.
“Konsen serius kita adalah Jokowi menjadi presiden karena dia membawa agenda-agenda HAM pada saat kampanyenya, yang sama sekali kita lihat ada kemajuan kecil, tapi banyak kemunduran. Indonesia telah menandatangani berbagai kovenan internasional termasuk tentang penyiksaan. Polisi dan militer harus menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada,” ungkap Josef.
Amnesti Internasional mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang telah membebaskan sejumlah tahanan politik di Papua, seperti Filep Karma, tetapi janji Jokowi untuk membebaskan tahanan politik lainnya belum terealisasikan.
Amnesti Internasional juga memuji kebijakan Jokowi yang mengijinkan wartawan asing masuk ke Papua, meskipun belum terealisir dengan baik di lapangan.
Kontras: kebebasan berekspresi era Jokowi jauh lebih buruk
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengakui memang soal keamanan di Papua masih menjadi salah satu masalah yang berat dan tidak adanya penegakan hukum bagi aparat yang melanggar, membuat aksi kekerasan yang dilakukan aparat di Papua terus terjadi.
Haris juga menyatakan kebebasan berekspresi pada era Presiden Jokowi jauh lebih buruk di banding di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Sejumlah aturan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik justru banyak mengkriminalkan orang yang bependapat. Pembatasan kebebasan kerap dijadikan alat untuk menekan hak-hak fundamental yang idealnya harus dilindungi dalam keadaan apapun.
Selanjutnya, Haris Azhar menilai belum ada perubahan sikap aparat keamanan dalam menjalankan penegakan hukum dan menjaga ketertiban sipil.
Alasan keamanan juga kerap dijadikan agenda untuk membatasi kebebasan dan ruang-ruang ekspresi warga. Alasan keamanan cenderung digunakan untuk membungkam ekspresi politik damai di wilayah sensitif seperti di Papua. Alasan yang sama digunakan untuk menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap korban atau keluarga korban dari peristiwa 1965.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terus didengungkan pemerintah menurut Kontras hanyalah omong kosong, pasalnya hingga kini pemerintah belum melakukan apapun untuk menyelesaikan hal itu.
“Jadi menurut saya, satu tahun kepemimpinan Jokowi ini, saya mau bilang tidak bersahabat dengan hak asasi manusia, justru cenderung membahayakan angka kekerasan terhadap masyarakat sipil meningkat,” ujar Haris.
Menkumham akui masih banyak hal yang harus diperbaiki
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengakui bahwa memang masih banyak hal yang harus diperbaiki dan kerjakan. Pelaksanaan penegakan hukum tambahnya memang masih terjadi pelanggaran HAM tetapi saat ini secara bertahap hal itu diperbaiki. Ditambahkannya membangun tanpa memperhatikan persoalan hak asasi manusia sama saja dengan menafikan kehidupan manusia itu sendiri.
“Peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh banyak pihak, baik yang dilakukan secara individual atau oknum penyelenggaraan pemerintahan masih tingkat pelaksanaan penegakan hukum yang masih banyak pelanggaran HAM-nya, secara bertahap sudah mulai kita perbaiki, penegakan hukum, penyiksaan dll. Semua itu memori-memori yang harus kita jadikan sebagai refleksi,” demikian menurut Yasonna. [fw/em]
Sumber: VoA News
This post is also available in: English