never_again

 

Nama IPT 1965 atau International People Tribunal 1965 pertama kali didengar oleh publik pada saat mereka menggelar sidang di Nieuwe Kerk, Den Haag, 10-13 November 2015.

Sidang yang dibuka oleh koordinator umum IPT 1965, Nursyahbani Katjasungkana langsung menarik perhatian masyarakat dan media di Tanah Air.

Masyarakat pun bertanya, apa yang disidangkan oleh IPT dan apa kaitannya dengan tahun 1965?

Pertanyaan itu langsung terjawab saat Jaksa Ketua Todung Mulya Lubis membaca pengantar dakwaan. Todung merupakan sosok yang tidak asing lagi bagi masyarakat di Indonesia. Dakwaan yang dibacakan anggota dewan Lembaga Bantuan Hukum dan pengacara HAM terkemuka di Indonesia itu pun langsung menjadi tajuk utama.

Inti dari dakwaan antara lain terkait peristiwa pembantaian massal yang terjadi pasca terbunuhnya tujuh jenderal pada 1965. Setelah peristiwa itu, Tentara Nasional Indonesia di bawah komando Jenderal Suharto dengan bantuan organisasi masyarakat melakukan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya. Penangkapan itu berakhir dengan penahanan selama lebih dari satu dekade hingga penghilangan nyawa.

Karena itu, dalam empat hari sidang, Todung dan tim penuntut menyusun dakwaan dalam beberapa bagian. Antara lain:

  • Pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Penahanan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Penindasan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Penculikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
  • Penindasan lewat propaganda kebencian, dan
  • Keterlibatan negara-negara lain dalam pelaksanaan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam dakwaannya, sidang itu menghadirkan saksi-saksi korban dan ahli, salah satunya adalah Profesor Saskia Wieringa yang meneliti tentang Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang ikut ditumpas dan dituding menyilet kemaluan tujuh jenderal.

Dakwaan itu pun kemudian diperiksa oleh hakim dan menghasilkan beberapa keputusan sementara. Antara lain menurut para hakim, pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas peristiwa kejahatan terhadap kemanusiaan, karena rantai komando terorganisir dari atas sampai ke bawah dalam badan-badan institusi negara.

Hakim juga menyebut negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, ikut bertanggungjawab mengungkap kejahatan kemanusiaan ini, karena beberapa dari mereka ikut memberikan bantuan.

Keputusan ini disambut baik oleh aktivis dan pemerhati hak asasi di Indonesia. Namun keputusan finalnya baru akan dikeluarkan beberapa bulan berikutnya.

Berawal dari sebuah diskusi

Namun, jauh sebelum IPT 1965 sukses dilaksanakan, sesungguhnya gagasan untuk menggelar sidang ini berawal dari sebuah diskusi sederhana bersama sineas muda Joshua Oppenheimer, yang banyak dikenal masyarakat dunia karena filmnya yang berjudul ‘The Act of Killing’ atau Jagal pada 2012.

Film itu dinilai telah mengusik kebungkaman nasional dan internasional.

Tepatnya pada Maret 2013, film dokumenter ini dirilis di Den Haag, Belanda, sebagai bagian dari Festival Movies That Matter.

Usai pemutaran film tersebut, panitia mengadakan diskusi yang dihadiri 35 orang eksil atau Warga Negara Indonesia yang dicabut paspornya karena dianggap sebagai simpatisan PKI pada 1965, yang mendatangkan sang sutradara langsung, Joshua.

Salah satu topik bahasan antara lain, bagaimana caranya mengakhiri impunitas seputar Crimes Againts the Humanity yang dilakukan pasca 1 Oktober 1965?

Padahal sudah ada upaya untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, seperti merilis laporan Komnas HAM pada 2012 tentang apa yang terjadi selama dan sesudah tahun 1965. Tapi sayangnya hingga hari ini laporan itu tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia.

Kegagalan pemerintah untuk berusaha mencari solusi nasional untuk kejahatan-kejahatan ini membuat para peserta sidang IPT mengambil keputusan bahwa tekanan internasional diperlukan untuk melawan impunitas yang selama ini dinikmati oleh pelaku kejahatan-kejahatan tersebut, sekaligus memecah kebungkaman dan stigma yang selama ini mengakar dalam masyarakat.

Wujud terbaik untuk kampanye ini—dalam pemikiran penyelenggara—adalah menggelar Tribunal Rakyat Internasional atau IPT.

Maka dibentuklah tim IPT 1965.

Mereka yang terlibat: Aktivis HAM hingga pengacara

Siapa saja yang terlibat?

Nursyahbani Katjasungkana yang merupakan pengacara Hak Asasi Manusia langsung ditunjuk menjadi koordinator umum IPT.

Setelah itu, tim kerja skala kecil terbentuk dan konsep mulai disusun.

Forum kemudian menunjuk Profesor Saskia Wierenga sebagai koordinator riset dan Lea Pamungkas sebagai koordinator tim media di Indonesia dan Belanda.

IPT 1965 kemudian resmi menjadi badan hukum (dalam bentuk yayasan) pada 18 Maret 2014. Tahun berikutnya, para penuntut dan beberapa orang yang berpotensi duduk di panel hakim mulai dihubungi, tuntutan dipersiapkan, dan sidang digelar.

Nama-nama lain kemudian menyusul, Ratna Saptari, Sri Lestari Wahyuningrum, Helena van Klnken, Annet van Offenbeek, Sri Tunruang, Hess Melvin, Dolorosa Sinaga, Reza Muharam, Wijaya Herlambang, dan Aboeprijadi Santoso, Joss Wibisono, Arif Kurnia, Yusuf Sudrajat, Lexy Ramadetta, Olien Monteiro, Indra Porhasw, Agnes Indraswari, dan Soe Tjen Marching.

IPT bahkan memiliki wakil di tiap negara di berbagai belahan dunia, mereka adalah:

  • Belanda: Stichting IPT 1965
  • Australia: Jess Melvin dan Annie Pohlman
  • Inggris: Soe Tjen Marching
  • Jerman: Sri Tunruang (Aken), Arif Harsana (Munster)
  • Swedia: Tom Iljas
  • Perancis: Mulyandari Alisyah
  • Belgia: Elisabeth Ida Mulyani
  • Kanada/Amerika Serikat: Ayu Ratih
  • Skotlandia: Maria Pakpahan
  • Muangthai: Dewi Ratnawulan

Apa tujuan IPT?

Secara umum, Yayasan IPT 1965 bertujuan untuk memperbaiki sejarah yang cenderung menyepelekan, mentolerir, menyisihkan, dan mengaburkan kejahatan-kejahatan pasca 30 September tersebut.

Terutama terkait pemerkosaan, kejahatan seksual, dan penyiksaan terhadap para tahanan perempuan.

Termasuk, penderitaan akibat pencabutan sewenang-wenang paspor ribuan Warga Negara Indonesia yang menolak untuk mendukung Pemerintahan Orde Baru seharusnya diakui sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara khusus, tujuan Yayasan IPT 1965 adalah:

  1. Memastikan pengakuan nasional dan internasional untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama dan sesudah ‘peristiwa 1965’, dan juga keterlibatan beberapa pemerintah asing dalam kampanye teror rezim Orde Baru terhadap mereka yang dituduh terlibat Gerakan 30 September.
  2. Mendorong perhatian nasional dan internasional yang konsisten untuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama dan sesudah pembantaian 1965, dan perhatian untuk pemerintah yang tetap tidak aktif untuk menuntut para pelaku, antara lain dengan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk urusan HAM masa lalu (United Nation Special Rapporteur on Past Human Rights Violations).
  3. Dalam jangka panjang:
    a) Membantu dalam proses pemulihan untuk para korban – dan keluarga mereka —genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selama dan sesudah 1965.
    b) Membantu untuk menciptakan iklim politik di Indonesia yang mengakui dan menghormati HAM.
    c) Mencegah terulangnya kekerasan terhadap korban genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia selagi dan sesudah 1965, dan memastikan diadakannya persidangan yang adil untuk para pelaku.
  4. Menyediakan data untuk publik tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pasca 1 Oktober 1965.
  5. Menebarkan harapan bahwa keadilan itu tetap bisa terwujud, dan kejahatan-kejahatan seperti ini tidak akan pernah terulang kembali, serta membantu dalam mewujudkan iklim politik di Indonesia yanng memberikan kekuatan hukum, pengakuan, dan penghormatan terhadap HAM.

Maka kemudian terselenggara persidangan IPT pada 10-13 November tahun 2015 di Den Haag, Belanda, tepat 50 tahun peringatan kebungkaman atas kejahatan yang terjadi pada 1965.

Kurang lebih sebanyak 100 relawan membantu penyelenggaran tribunal tersebut, termasuk peneliti dari segala penjuru dunia, tim media di Jakarta dan Belanda, dan mahasiswa Indonesia dari berbagai negara di Eropa.

Selengkapnya tentang IPT ini bisa dibaca di situs resmi www.tribunal1965.org

Tim IPT 1965 

 

This post is also available in: English