Minggu, 19/03/2017 17:09 WIB | Oleh: Eli Kamilah
Jakarta – Sebagian besar temuan tim Indonesia People’s Tribunal (IPT) 1965 belum tercantum dalam laporan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai tragedi 1965/1966. Sehingga sedianya, bisa menjadi bukti baru untuk menggambarkan keluasan dampak dari tragedi 52 tahun silam tersebut.
Laporan penyelidikan Komnas HAM itu, hanya mengambil sampel tujuh kasus, di antaranya Medan, Bali dan Pulau Buru.
Sedangkan temuan IPT 65 mencakup bukti dan temuan di daerah lain, termasuk kesaksian-kesaksian baru. Itu sebab pegiat HAM IPT 1965, Harry Wibowo menyayangkan sekaligus heran dengan keengganan Komnas HAM menempuh penyelidikan lanjutan. Padahal temuan IPT 65 itu dinilai bisa memperbaiki berkas penyelidikan Komnas HAM yang, berulang kali dikembalikan Kejaksaan Agung.
“Kesimpulannya adalah komnas Ham tidak mau membuka penyelidikan lanjutan dan proteksi kuburan massal yang merupakan kewenangan di bawah UU Nomor 26 tentang pengadilan HAM,” ungkap Harwib dalam keterangan pers di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Minggu (19/3/2017).
Beberapa di antaranya yang tak dicakup di laporan Komnas HAM, misalnya terkait kasus pembantaian di Aceh terhadap orang-orang yang dituduh komunis dan yang berafiliasi dengan Baperki. Selain itu, penumpasan di Blitar Selatan pada 1966-1968 yang dengan gamblang membeberkan rantai komando eksekusi. Seluruh bukti dan dokumen dua kasus itu, menurut Harwib, masih tersimpan baik.
Bahkan, penyelidikan mengenai kuburan massal pun hingga kini tak kunjung ditindaklanjuti. Padahal, penyelenggara IPT 65 telah menyerahkan laporan 120an kuburan ke Komnas HAM pada 2 Mei 2016 lalu. Jangankan menyelidiki, upaya perlindungan terhadap kuburan massal itu pun tak dilakukan.
“Padahal pengadilan awal soal pengungkapan kebenaran tragedi 65 berada dalam wewenang Komnas HAM.”
Wacana pembuktian kuburan massal itu mengemuka pada April 2016 lalu, setalah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965. Presiden Joko Widodo memerintahkan Menkopolhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban tragedi 65. Langkah ini ditempuh untuk membuktikan sekaligus meluruskan sejarah terkait kondisi politik saat itu dan pembantaian massal di tahun-tahun berikutnya.
Mempertanyakan Niat Pemerintah?
Namun rentetan upaya itu belum membuahkan hasil. Dialog lintas lembaga mengenai penuntasan tragedi 1965/1966 dengan Komnas HAM pun berkali-kali digelar. Termasuk pembahasan mengenai tindak lanjut rekomendasi pengadilan rakyat internasional IPT 65 di Den Haag, Belanda pada November 2015 lalu.
Saat itu Hakim IPT 65 menyatakan, Indonesia harus bertanggungjawab atas berbagai kejahatan kemanusian, termasuk kemungkinan terjadinya Genosida.
Lagi-lagi, pertemuan demi pertemuan itu, nihil.
“Kami melakukan advokasi, dan komunikasi, dengan Komnas HAM, Istana, Watimpres, Lemhanas, kami berdialog terus, tapi tidak ada niatan untuk penyeleseian itu,” tutur pegiat HAM, Harry Wibowo.
Para penyintas maupun pegiat HAM di IPT 65, lanjutnya, juga menyesalkan langkah pemerintah yang menjawab desakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu itu dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Dia menilai, DKN justru hanya akan memanipulasi langkah rekonsiliasi dan menghilangkan unsur pengungkapan kebenaran.
Senada dengan Harwib, Dolorosa Sinaga yang merupakan Steering Committee IPT 65 menyebut, negara memang tak punya nyali untuk menuntaskan tragedi 65/66. Padahal pelbagai rekomendasi dan upaya penyelesaian yang telah dibangun–semisal melalui persidangan rakyat internasional IPT 65 dan simposium nasional di Aryaduta–menunjukan bahwa ada kejahatan kemanusiaan.
Sumber: KBR.ID
This post is also available in: English