eksil_belanda

Oleh  Dyah Ayu Kartika

Sumber : Ingat65, 21/06/16

Saya tahu Belanda merupakan gudangnya sejarah Indonesia. Saya juga tahu banyak warga Indonesia yang tinggal dan menetap di Belanda. Tapi saya tidak pernah tahu bahwa berkuliah di sini menuntun saya bertemu para eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia pascaperistiwa 1965.

Awal perjumpaan saya dimulai dari ajakan seorang kawan yang kebetulan bertemu dengan komunitas ini. Ia mengajak saya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan mereka, sekedar bersilahturahmi dan ngobrol-ngobrol.

Berjumpa dan berinteraksi dengan para eksil membuat saya malu sekaligus bangga. Malu karena sebagai generasi muda, saya kalah bersemangat mengikuti perkembangan sosial dan politik tanah air dibandingkan opa-oma yang sudah puluhan tahun menetap di negara orang. Banyak dari kami, generasi muda, yang belum sampai satu tahun di negeri orang tetapi sudah luput dari kondisi sosial maupun politik di tanah air.

Namun saya merasa bangga berkesempatan mengenal mereka lebih dekat, mengetahui cerita perjalanan mereka dari mulai di Indonesia sampai sekarang di Belanda. Tak jarang cerita mereka sangat tragis, penuh kejutan, dan juga lucu. Ada yang setelah sekian lama menjadi sasaran massa karena dianggap mengetahui keberadaan petinggi organisasi mahasiswa kiri. Ada pula yang menghabiskan seluruh waktu, tenaga, dan uang hasil kerjanya untuk mengumpulkan buku dan arsip seputar kondisi politik Indonesia, peristiwa 65, dan pemerintahan Orde Baru.

Suatu waktu, pertemuan komunitas membahas gerakan perempuan di Indonesia. Saya ingat sekali, para eksil tampak bersemangat bertanya, mengklarifikasi, dan mengemukakan pendapat atas paparan narasumber. Mereka sangat antusias untuk mengetahui apa yang terjadi di Indonesia, bagaimana perjuangan perempuan yang sempat kandas karena peristiwa 65, dan bagaimana generasi saat ini menghadapi tantangan yang ada. Hampir-hampir moderator kewalahan karena tidak bisa mengakomodasi semua pertanyaan maupun tanggapan.

Kecintaan mereka terhadap merah-putih juga terpatri jelas di ingatan saya. Ketika itu, Mei 2016, saya ikut dalam aksi solidaritas bersama para eksil dalam kunjungan presiden Jokowi ke Belanda. Kami mengibarkan bendera merah-putih bersama puluhan pendukung Jokowi, orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Sebuah bendera jatuh dekat kaki saya, namun saya tidak sadar karena sedang asyik mengobrol. Saya baru sadar ketika seorang eksil bersimpuh mengambil bendera itu dan berkata, “Bendera ini sudah diperjuangkan habis-habisan oleh leluhur kita untuk tetap berdiri. Masa’ kita menghormatinya saja sulit?”

 

Kalau Kamu Sendiri, Kenapa Tertarik dengan Isu 65?

Salah satu eksil melontarkan pertanyaan ini ketika kami berjumpa di sebuah acara ramah tamah yang sederhana dan hangat di rumah salah satu kawan di Amsterdam. Makan-makan adalah tujuan utama, tentu dibarengi dengan berbagi pengalaman untuk mengenal satu sama lain (atau terbalik ya?).

Saat itu hadir sekitar 7–8 orang eksil, masing-masing menjabarkan ceritanya mulai dari dikirim ke luar negeri hingga saat ini hidup dan menetap di negeri asing. Mulanya kami, para mahasiswa, hanya duduk dan mendengarkan. Namun rupanya mereka juga penasaran mengapa para anak muda tertarik pada kisah mereka.

Begini jawab saya.

Minat saya akan peristiwa ini berawal dari pelajaran sejarah ketika SD. Pak guru berkata, “PKI menyiksa dan membunuh tentara-tentara ini, jahat ya mereka?” Tentu saya terkesiap, tak siap ditanya seperti itu. Sebagai anak sekolah dasar yang masih planga-plongo, ya saya manggut saja meski dahi terus berkerut. Dalam hati saya berpikir, “Kenapa mereka (PKI) bisa sejahat itu tanpa ada dendam kesumat, tanpa duduk perkara yang jelas?”.

Setelah itu, kami pun diajak study trip ke Museum Satria Mandala dan Lubang Buaya untuk lebih memahami peristiwa G30S. Maklum, ketika itu sudah masuk masa reformasi, jadi film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ sudah tidak lagi menjadi tontonan wajib. Sebagai gantinya, kami yang masih SD ini menonton diorama-diorama sadis di kedua lokasi ini. Alih-alih semakin paham, banyak dari kami yang ketakutan, tak jarang menangis, bahkan terbawa ke alam mimpi. Mengerikan sekali.

Cerita ini tersimpan seiring beranjaknya saya menuju remaja. Ketertarikan akan isu ini tetap ada, meskipun kadang tertutupi dengan hal-hal lainnya. Ketika saya SMP/SMA (tepatnya saya lupa), saya diingatkan kembali akan peristiwa ini melalui film GIE.

Diceritakan bahwa Soe Hok Gie bersama mahasiswa-mahasiswi UI turun ke jalan di tahun 1966. Angkatan ini menghasilkan tiga tuntutan rakyat, salah satunya bubarkan PKI dan antek-anteknya. Kembali, PKI menjadi sasaran utama.

Saat itu saya menonton bersama Ayah yang memang menyukai film-film sejarah. Setelah film berakhir, Ayah bercerita bagaimana hiruk pikuknya Indonesia pada masa itu. Banyak orang dibunuh dan disiksa. Mereka bukan dari pihak jenderal, melainkan PKI sendiri!

Kontan saya kaget karena versi ini berbeda dari yang saya dapat dari buku-buku sejarah dan cerita pak guru di sekolah. Tapi saya tak punya alasan pula untuk menuduh ayah saya membual. Saya memilih untuk percaya kepada ayah saya sambil terus mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi di masa itu.

Saya mulai mencari informasi tentang peristiwa 1965 dan mulai menemukan beberapa kejanggalan dari cerita yang selama ini saya dengar. Saya juga mendapati berbagai alternatif cerita. Sebagian besar informasi tersebut mengonfirmasi kata-kata Ayah. Banyak sumber yang juga menyebut bahwa orang yang tidak terlibat dalam kegiatan politik maupun terlibat sebagai anggota PKI bisa dengan mudah ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh.

Perasaan saya campur aduk. Sedih, marah, kesal, merasa terkhianati, dan dibohongi. Selama ini saya dicekoki rasa nasionalisme yang parsial dan untuk pertama kali terpaksa menerima sejarah pahit dari negara tercinta ini. Saya merasa negara tidak adil bukan hanya karena tidak mengakui penyiksaan, penahanan, dan pembunuhan terhadap sebagian besar masyarakatnya pada masa itu, tetapi juga karena menutupi cerita ini dari generasi muda dan memaksa kami untuk percaya dengan cerita versi mereka yang dibumbui dengan rasa takut.”

Mendengar cerita saya, para eksil mengamini. Pemerintah Orde Baru berusaha membuat narasi yang berbeda dan menutupi cerita yang sesungguhnya. Padahal, di tengah laju arus informasi dan tuntutan transparansi belakangan ini, menutupi suatu hal justru seperti mengarahkan telunjuk ke diri sendiri.

Beberapa dari mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak akan menuntut ganti rugi. Hanya permintaan maaf dan adanya alternatif sejarah terkait peristiwa 65 bagi generasi mudalah yang mereka inginkan.

Bagi mereka, hidup sudah tidak lagi bisa kembali seperti dulu lagi. Yang penting di masa depan, tidak lagi ada orang-orang yang bernasib sama seperti mereka dan supaya generasi muda juga bisa mengetahui dan belajar dari sejarahnya sendiri. Sebuah permintaan sederhana yang saya kira perlu proses yang sangat panjang, berbelit, dan perlu berpuluh tahun untuk mencapainya.

Tentu masih banyak kisah, kesan, dan pesan yang saya ambil dari kisah para eksil. Yang jelas, dalam kesempatan emas ini, saya belajar banyak hal. Belajar tentang sejarah, politik, dan terlebih lebih tentang hidup.

Saya belajar bahwa meskipun raga tak bebas bergerak, tapi semangat memang tak bisa mati.

Para eksil yang saya kenal, yang bilangan umurnya sudah tinggi, hingga kini masih terus peduli dan aktif mendukung maupun mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Masih membela merah putih. Masih setia kepada negara Indonesia dan Pancasila. Kita sebagai generasi muda patut belajar dari sejarah dan mengkontekstualisasikannya.

Mereka adalah korban-korban perang ideologi yang kalah dan terasing. Belajar dari sejarah membantu kita untuk bersikap lebih bijak, mencegah berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi terhadap siapapun.

This post is also available in: English