Kejahatan besar yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 menyedot perhatian dari ilmuwan politik di Amerika.

Reportase: Devy DC | Yogyakarta

Benedict Anderson merupakan salah satu indonesianis yang mengamati secara cermat apa yang terjadi pada masa paling mencekam di Indonesia. Bersama dengan Ruth McVey dan Frederick Burnell di Cornell University, ia membuat penelitian  tentang apa yang terjadi setelah 30 September 1965 dengan menggunakan sumber berita di radio, media massa dan dokumen. Tulisan ini diberi judul A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia atau lebih dikenal dengan Cornell Paper. Karya Ben banyak menginspirasi peneliti-peneliti lain untuk mengungkap kebenaran yang selama ini dimanipulasi oleh pemerintah Orde Baru.

Ben telah meninggal lebih dari satu tahun lalu, tapi karyanya menghidupi generasi muda di Indonesia. Antusiasme generasi muda dalam membaca karya Ben tampak dalam konferensi internasional yang digelar oleh Universitas Sanata Dharma yang bertajuk “Conference on Reviving Benedict Anderson: Imagined (Cosmopolitan) Communities. Konferensi yang diadakan pada 13-14 Januari 2017 ini mengupas ide-ide yang dihasilkan oleh Ben dalam berbagai karyanya.

Di dalam Plenary Session III: Keynote Address di Ruang Seminar Driyarkara, secara khusus Douglas Kammen memaparkan tulisannya mengenai Benedict Anderson and ‘the Cornell Paper’. Douglas yang juga penulis dari buku The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-1968 menjelaskan mengenai tulisan Ben dan rekannya yang menyatakan bahwa Angkatan Darat lah yang mendorong program anti komunis, sehingga berujung pada pembunuhan besar-besaran yang menyebar begitu cepat ke seluruh wilayah Indonesia. Karena tulisan inilah, Ben dilarang oleh pemerintah Orde Baru untuk masuk ke Indonesia.

Di dalam sesi yang sama, Made Tony Supriatma memaparkan jaringan katolik konservatif di wilayah Asia Tenggara. Bartholomew Augustine Santamaria, seorang katolik konservatif, berperan sangat besar dalam menyebarkan paham anti komunis di Asia Tenggara; termasuk di Indonesia. Dalam menanamkan paham anti komunis di Indonesia, Santamaria bekerja sama dengan imam Jesuit yang kontroversial, Fr. Joop Beek, SJ.

Beek memiliki pusat pengkaderan bernama Khalwat Sebulan, dimana memiliki kedekatan dengan kekuasaan Orde Baru. Selain itu, ia juga membangun jaringan dengan pendukung Orde Baru, seperti Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi), Lim Bian Koen (Sofjan Wanandi) dan Harry Tjan Silalahi.

Dalam penutupan konferensi ini, Hilmar Farid, pejabat Dirjen Kebudayaan, mengutip apa yang ditulis oleh Ben Anderson di dalam tulisan berjudul Nationalism Today and The Future bahwa nasionalisme bukanlah sesuatu yang diwariskan dari masa lampau, namun lebih kepada sebuah “proyek bersama“ (common project) untuk kini dan di masa depan. Dan proyek ini lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain. Bercermin dari apa yang ditulis oleh Ben, kekuasan yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru telah mengorbankan jutaan rakyat Indonesia yang disiksa, ditahan dan dibuang tanpa adanya proses hukum.

Dan hingga kini, korban dan keluarganya belum mendapatkan keadilan dan masih dianggap sebagai ancaman bagi negara ini.

 

This post is also available in: English