Sebagai koresponden asing di Jakarta, Peter Schumacher mengungkap cara aneh Indonesia dalam menangani mereka yang tak tersentuh politik lagi. Buru adalah penjara paling aneh di dunia. Artikel ini pernah terbit pada harian London The Guardian, tanggal 5 Januari 1972.
Setelah berbulan-bulan terus mengajukan permintaan, akhirnya Jaksa Agung Indonesia Sugih Arto mengizinkan baik wartawan Indonesia maupun wartawan asing untuk berkunjung ke pulau Buru, tempat 10.000 orang tahanan politik disekap. Mereka ditahan akibat kudeta gagal September 1965. Setelah bertahun-tahun disekap dalam penjara-penjara sempit di Jawa, kelompok tahanan pertama sejumlah 2.500 orang akhirnya diberangkatkan juga ke salah satu pulau di kepulauan Maluku ini dua tahun silam.
Yang mereka jumpai di sana semata-mata adalah tanah yang baru dibabat dari hutan lebat dan sejumlah barak sebagai penampungan. Oleh pihak berwajib mereka diberitahu inilah tanah baru mereka. Mereka memperoleh bibit dan peralatan bertani dan diminta untuk bercocok tanam, supaya dalam delapan bulan bisa hidup mandiri. Mereka juga diberitahu bahwa dengan bekerja keras keluarga mereka bisa bergabung dalam dua tahun ke depan. Enam bulan kemudian kloter kedua tiba di Buru, sekarang jumlah mereka mencapai 9.957 orang. Tanah yang mereka garap mencapai 600 kilometer persegi (seperpuluh pulau Buru), berupa hutan lebat dan bergunung yang dibelah oleh sungai Apu yang punya ratusan anak sungai dan sarat buaya. Keluarga pertama diharapkan akan tiba pada bulan Juni mendatang.
Semua tahanan, sebagian besar ditangkap lima atau enam tahun silam, tidak pernah didakwa karena pihak berwajib memang tidak punya cukup bukti untuk mengadili mereka. Tetapi, karena sebagian besar pernah menjadi anggota partai komunis atau organisasi yang dipengaruhi oleh partai komunis itu, maka mereka tetap dianggap “membahayakan masyarakat” dan karena itu dikurung untuk sementara. Secara singkat inilah yang oleh pemerintah disebut sebagai Badan Pelaksana Resettlement Pulau Buru disingkat BAPRERU.
Untuk mengurangi wartawan yang ingin ke Buru sampai pada jumlah minimum, pihak otoritas memerintahkan supaya mereka yang ingin berangkat membiayai sendiri perjalanan mereka. Tiap orang dikenai 150 Pound Sterling. Kami hanya akan berada di Buru selama 36 jam. Karena itu banyak wartawan mundur, pemerintah sendiri berharap jumlah wartawan tidak sampai enam orang.
Unit canggih
Proyek Buru terdiri dan 18 unit dan kami hanya diizinkan mengunjungi empat unit saja. Tak satupun di antara kami yang pernah ikut rombongan wartawan pertama dua tahun silam, sehingga kami tak bisa mengadakan perbandingan. Unit I dan II adalah yang paling tua dan paling canggih. Begitu pula unit IV. Di situ terlihat sawah, ladang jagung, kacang, singkong dan tanaman lain. Kami juga sangat terkesan melihat jaringan pengairan. Unit XIV masih baru dan belum pernah dikunjungi wartawan asing.
Pada Unit IV kami mengunjungi rumah sakit kecil yang merawat enam orang pasien. Empat orang mengidap malaria. Kepada dokter kami bertanya apakah malaria sering dijumpai di kalangan tahanan, “Ya,” katanya. Cukupkah persediaan obat-obatan? “Tidak, kami tidak punya cukup antibiotika, kinine dan vitamin dalam bentuk tablet,” katanya. Berapa jumlah tahanan yang meninggal di Buru? “Empat puluh satu orang. Dua puluh empat orang meninggal secara alami, empat belas karena kecelakaan, satu orang bunuh diri dan dua dibunuh warga setempat ketika dua tahun lalu mereka berupaya melarikan diri,” kata dokter.
Resminya, semua tahanan yang dibawa ke Buru dalam keadaan sehat dan berusia 45 tahun ke bawah. Tetapi kenyataannya lain sekali. Salah seorang tahanan yang diperkenalkan kepada wartawan, Profesor Suprapto, sudah berusia 58 tahun, dan juga terlihat beberapa orang lanjut usia serta sakit-sakitan, ada yang mengidap asma dan TBC pada saat mereka dipindahkan ke Buru. Menurut seorang rohaniwan Katolik yang bermukim di Buru, Pastor Werner Ruffing dari Jerman, sekelompok orang tua dan mereka yang sakit ini merupakan masalah besar. “Tahanan yang muda dan sehat merawat mereka sebagai saudara, tetapi kecil harapan mereka bisa bertahan hidup,” kata Pastor Ruffing.
Kepada pembantu pastor, Suster Cecilia dari Belanda ditanyakan apa kira-kira yang menurutnya merupakan masalah para tahanan. “Sebagian besar,” katanya, “sangat mengkhawatirkan keluarga mereka. Mereka menerima sedikit surat. Ada beberapa yang belum pernah memperoleh kabar dari istri mereka selama lebih dari dua tahun. Masalah kedua adalah masa depan yang tidak menentu. Resminya para tahanan ini akan dibebaskan supaya bisa pulang kembali jika mereka bisa membuktikan diri warga negara baik, hidup dan berpola pikir sesuai dengan dasar negara Pancasila. Tetapi tidak ada yang tahu kapan itu akan terjadi”.
Yang mengejutkan adalah jumlah pemeluk agama Nasrani di kalangan para tahanan: 17% beragama Katolik, dan 25% Protestan. Yang lain beragama Hindu (6%) dan Islam (52%). Pastor Ruffing tidak menyembunyikan simpatinya kepada para tahanan, ini menyebabkan hubungannya dengan pihak militer menjadi tidak mudah, belakangan ini.
Keluarga-keluarga hanya akan disatukan kalau mereka sudah mandiri. Otoritas menyalahkan tahanan sebagai pemalas, tetapi beberapa orang menyatakan penyebab utama panen gagal adalah buruknya perencanaan, korupsi, birokrasi dan optimisme yang berlebihan. Sumber yang lebih tahu menyatakan bahwa banyak hal yang dibuat oleh para tahanan, seperti perabot rumah tangga dan kerajinan tangan, diekspor dalam jumlah besar oleh pengusaha Tionghoa. Sedikit sekali penghasilan yang kembali kepada pembuat.
Banyak tahanan sebenarnya adalah petani, tetapi yang lain, sekitar 40 sampai 50 orang cendekiawan, tidak pernah mengolah tanah sebelumnya. Mereka menempuh kehidupan yang keras di Buru. Beberapa di antara mereka sempat saya temui. Pada hari pertama, ketika berjalan di sepanjang ladang singkong di Unit XIV untuk merekam wawancara, secara kebetulan saja, saya bertemu seorang cendekia. Ia mengaku bernama Basuki Effendy (42 tahun), sutradara film dan penulis skenario. Pada tahun 1950an ia berhasil menggondol hadiah pada beberapa festival film internasional untuk film-filmnya Si Pintjang dan Pulang. Pada tahun 1965 dia ditahan dengan tuduhan anggota Liga Film Indonesia yang konon dekat dengan kalangan komunis. Setelah empat bulan dia dibebaskan dan sempat bekerja sebagai tenaga pemasaran. Pada tahun 1969 dia kembali ditangkap dan ditahan di Penjara Salemba, Jakarta.
Penahanan kembali ini merupakan kejutan bagi Basuki dan keluarganya. Dia diinterogasi panjang lebar. Ketika ditanya apakah dia diberitahu alasan penahanannya kembali, Basuki menjelaskan, “Sampai sekarang tidak, pak.” Pernahkah dia memperoleh kabar dari keluarganya? “Terakhir saya ketemu istri bulan Juni 1971. Dia mengunjungi saya di penjara, dia hanya diizinkan berkunjung sekali dua bulan.” Sudahkah dia menerima surat setelah datang di Buru Agustus tahun lalu? “Belum juga.” Basuki Effendy punya dua anak, seorang perempuan 14 tahun, dan anak laki-laki tujuh tahun.
Pendidikan minim
Kepada semua tahanan yang sempat saya temui, saya bertanya apakah mereka ingin keluarga datang bergabung. Kaget juga mendengar sebagian besar berkata tidak. Mereka tidak ingin istri dan anak ikut menanggung beban berat. Hal lain yang mereka khawatirkan adalah pendidikan anak-anak mereka. Proyek Buru tidak punya pendidikan lanjutan.
Sebenarnya bukan hanya para suami yang tidak ingin disatukan kembali dengan istri mereka dalam keadaan sekarang. Penelitian yang dilakukan sendiri oleh pemerintah mengungkap bahwa 70% istri tidak melihat banyak manfaat ikut suami ke Buru. 60% para istri itu ingin bercerai saja. Alasan yang dikemukakan bagi keengganan ini masuk akal. Para ibu hanya diizinkan membawa tiga anak, dan karena keluarga Indonesia biasanya lumayan besar —delapan anak bukanlah perkecualian— maka para istri tidak ingin keluarga mereka dipecah lagi.
Di atas kapal kecil dalam perjalanan kembali ke Namlea, saya bertanya kepada Jenderal Wadly yang segera mengambil alih kepemimpinan BAPRERU dari Sutrisno Hamidjojo, apa kesannya selama dua hari ini. Maklum saja ini juga merupakan perlawatan pertamanya ke Buru. Ia mengangkat bahu dan dengan sangat jujur berkata, “Saya tak bisa berkata apa-apa. Terlalu sedikit yang saya lihat.”
Beberapa saat kemudian dari seseorang yang sudah mendatangi seluruh unit yang mencapai 18 itu kami mendengar bahwa apa yang ditunjukkan oleh pemerintah memang terlalu sedikit. “Yang kalian lihat itu cuma model saja,” katanya. Kepada Jenderal Wadly saya juga bertanya apa dasar penunjukannya. Misalnya apakah dia berpengalaman dengan tahanan politik? Apakah dia berijazah sarjana hukum? Kembali dia mengangkat bahu, “Saya tak tahu kenapa dapat tugas ini. Saya hanya mentaati perintah atasan.”
Saya menghiburnya dengan menegaskan bahwa Jaksa Agung Indonesia, Jenderal Sugih Arto juga bukan seorang sarjana hukum. Soal tahanan politik, Jaksa Agung itu hanya melaksanakan satu ketentuan hukum sederhana, “Setiap warga negara Indonesia bisa ditahan dan dipenjara untuk jangka waktu yang tidak terbatas kalau pemerintah atau tentara menganggapnya membahayakan bangsa.”
(alih bahasa: JW)
This post is also available in: English