Ivan Aulia Ahsan | 17 September, 2017
Pembungkaman diskusi seminar 65 di gedung LBH Jakarta oleh Polri telah mencoreng kebebasan berkumpul dan berpendapat.
Peristiwa penggerebekan gedung LBH Jakarta oleh aparat keamanan bukan terjadi Sabtu kemarin saja (16/9). Pada masa lalu, gedung itu pernah digerebek akibat aktivitas yang dianggap “mengganggu ketertiban”.

Paling tidak sampai 1994, LBH Jakarta tidak pernah terjamah oleh penggerebekan aparat. Staf LBH juga dikenal dengan sosok-sosok aktivis militan yang berani mengusir aparat keamanan. Pada masa pemerintahan Soeharto, Lembaga Bantuan Hukum yang didirikan sejak 1970 ini dikenal suaka paling aman bagi para aktivis jika mereka dikejar-kejar aparat.

“Dulu itu jangankan ke dalam gedung, bahkan masuk halaman pagar saja tak pernah,” kenang Wilson (49), yang sedianya menjadi salah satu pembicara seminar soal korban 1965, di LBH Jakarta kepada Tirto.

Wilson salah satunya dikenal sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang dilarang pada masa Orde Baru karena dituduh menyebarkan komunisme dan melawan pemerintah. Ia pernah merasakan dinginnya lantai penjara Orde Baru, bersama para aktivis PRD lain, gara-gara dituduh penggerak kerusuhan 27 Juli 1996.

Ia juga salah satu saksi hidup bagaimana LBH sempat menjadi tempat berlindung yang aman bagi para aktivis. Menurut Wilson, saat kerusuhan 27 Juli 1996 meletus, para aktivis bahkan masih mengadakan rapat di dalam gedung LBH yang berjarak kurang dari 1 kilometer dari tempat kerusuhan. Padahal situasi di luar sangat rusuh pada saat itu.

“Tapi aparat tentara dan polisi enggak berani masuk ke dalam LBH,” ujarnya.

Namun, apa yang terjadi pada 1996, berkebalikan dengan kejadian dua tahun sebelumnya.

Pada 1994, pemerintah Orba membredel tiga media massa, yakni TempoDetikEditor. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tiga media massa itu dicabut gara-gara pemberitaan soal karut-marut pembelian kapal perang bekas dari Jerman. Setelah itu, protes terhadap pembredelan merebak.

Salah satu protes paling besar terjadi di gedung LBH Jakarta. Aktivis mahasiswa yang kritis terhadap Orba membuat tenda solidaritas di halaman parkir gedung LBH Jakarta. Sebagian besar adalah mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.

Polres Jakarta Pusat merangsek masuk ke dalam gedung. Mereka hendak membubarkan aksi dan menangkap para aktivis.

“Bahkan aktivis-aktivis yang lari ke ruang lobi gedung ada yang ditangkap,” kenang Wilson.

Sepengetahuan Wilson, penggerebekan gedung LBH Jakarta pada 1994 adalah kali pertama aparat masuk ke gedung LBH. “Aku termasuk salah satu orang yang ditangkap di ruang lobi. Aparat ganas sekali saat itu,” kenangnya.

Pada saat itu ada sekitar 60 aktivis yang ditangkap aparat keamanan. Sebagian dibawa ke Polres Jakarta Pusat, sebagian lagi ke Polda Metro Jaya. Ia sendiri dibawa ke Polda.

Kejadian itu membuat Adnan Buyung Nasution, salah satu pendiri LBH Jakarta, bereaksi keras. Ia murka karena baru kali itu aparat berani merangsek masuk ke dalam gedung LBH.

Catatan Polri Menggerebek Aktivitas Politik di LBH Jakarta

Penggerebekan kantor LBH Jakarta berikutnya pada Maret 2012. Saat itu para mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Nasional Mahasiswa Indonesia melakukan unjuk rasa menentang penaikan harga BBM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kejadian bermula saat gabungan mahasiswa berencana datang dari berbagai daerah akan mengadakan demonstrasi besar-besaran di depan Istana Negara pada 1 April 2012. Namun, tiga hari sebelum demonstrasi besar, 29 Maret, aksi unjuk rasa dalam skala kecil terjadi di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Massa mulai menutup jalan dan semakin lama situasi semakin panas.

Aparat kepolisian meminta mahasiswa untuk mundur, tapi mahasiswa bersikeras untuk bertahan di tempat. Setelah terjadi bentrok, akhirnya polisi berhasil memukul mundur mahasiswa. Demonstrasi pun bubar.

Dalam bentrokan itu, satu mobil dan satu sepeda motor polisi dibakar demonstran. Bahkan Kapolsek Senen Iman Zebua saat itu dikeroyok beberapa mahasiswa. Kejadian ini membuat polisi semakin mengamuk, meski demonstran telah mundur.

Polisi tetap mengejar para demonstran hingga ke dalam kantor LBH di Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Tujuan para demonstran untuk mencari perlindungan dari kejaran aparat.

Namun, amarah polisi rupanya kian sulit dikendalikan. Sekelompok polisi mengejar demonstran yang diduga melakukan kerusuhan sampai ke dalam gedung LBH. Di dalam gedung, polisi menangkap 53 orang.

Aksi ini sempat dihalang-halangi beberapa staf LBH Jakarta, polisi tetap memaksa masuk dan menggerebek gedung itu. Polisi bahkan turut menangkap Direktur Litbang YLBHI Agung Wijaya. Para demonstran yang ditangkap kemudian dibawa ke Polda Metro Jaya.

Kini, berselang lima tahun kemudian, LBH Jakarta digerebek lagi. Kali ini gara-gara diskusi tentang pengungkapan kebenaran sejarah 1965/1966.

Pada masa Orde Baru, LBH memang dihormati sebagai institusi yang menyuarakan pembelaan ketidakadilan bagi kaum tertindas. Ini berkat kegigihan dan integritas Adnan Buyung Nasution (1934-2015), pendiri YLBHI. Namun, tindakan aparat polisi pada kejadian Sabtu kemarin (16/9) di LBH Jakarta, tak hanya soal menghalangi acara seminar, melainkan sudah mencoreng kebebasan berkumpul dalam demokrasi.
Sumber: Tirto.Id

This post is also available in: English