Rio Apinino | 20 September, 2017

Sejumlah sejarawan setuju usulan presiden yang ingin film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dibuat ulang. Dengan catatan, narasinya berbeda sama sekali dengan yang sudah ada.

Sejumlah Sejarawan angkat bicara soal usulan Presiden Joko Widodo yang mengatakan bahwa sebaiknya film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI dibuat ulang (remake).  Andi Achdian, Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) sekaligus Editor-in-Chief Jurnal Sejarah, mengatakan bahwa usulan tersebut harusnya disambut baik.

“Saya kira silakan saja. Semakin banyak semakin baik. Tapi persoalannya, yang lain juga bisa buat tanpa ada larangan juga,” terang Andi kepada Tirto.

Andi menilai bahwa film yang diputar sepanjang masa Orde Baru tersebut salah karena menguasai narasi tunggal soal apa yang terjadi di malam 30 September hingga 10 Oktober dini hari tahun 1965. Jika usulan presiden itu direalisasikan, maka film itu tidak lagi jadi narasi tunggal kebenaran sejarah. “Jadi masyarakat punya banyak pilihan,” sambung Andi.

Andi juga menggarisbawahi bahwa persoalan film G30S/PKI bukan semata penafsiran tunggal atas satu peristiwa. Tapi lebih jauh dari itu, film juga turut berkontribusi terhadap penyingkiran hak-hak sipil dan politik kelompok tertentu.

“Problemnya bukan apa itu G30S, tapi ada orang yang terampas hak-haknya. Tujuan film itu untuk kebaikan bersama, rekonsiliasi nasional,” kata Andi.

Senada dengan Andi, Bondan Kanumoyoso, Dosen Departemen Sejarah UI, juga setuju dengan apa yang diusulkan presiden. Ia menilai bahwa setiap generasi berhak menafsirkan sejarah sesuai dengan jiwa zaman. Film yang ada sekarang, katanya, dibuat dengan semangat zaman Orde Baru.

Kalau film itu dibuat ulang, maka seharusnya narasi yang dibangun tidak lagi memojokkan beberapa pihak, dalam hal ini Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Udara (AU). Apa yang ditafsirkan pada film tersebut, seharusnya berubah seiring dengan temuan-temuan terkini.

“Penafsiran sejarah berkembang. Ada sumber sejarah baru yang bisa diakses. Tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku untuk seluruh zaman. Kalau buatan manusia, tentu bisa dan boleh dikritik,” sambungnya.

Catatan Sejarawan Soal Pembuatan Ulang Film G30S/PKI

Sementara Asvi Warman Adam, salah satu peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekaligus juga sedikit dari sejarawan yang fokus membahas peristiwa G30S, setuju pembuatan ulang film setidaknya karena dua alasan. Pertama, film itu jelek, baik dalam hal kualitas teknis film, juga substansi cerita atau niat membuat film tersebut.

“Film itu bertujuan untuk mengangkat kepahlawanan Suharto, tapi di sisi lain untuk merendahkan Sukarno. Film itu untuk memperlihatkan bahwa Sukarno dekat, bisa diatur, dan membela PKI. Padahal kan tidak demikian,” kata Asvi, kepada Tirto.

Lebih jauh, Asvi menginterpretasikan usulan Jokowi tersebut sebagai penolakan tidak langsung atas rencana Panglima TNI yang ingin film G30S/PKI diputar ulang lagi, baik untuk kalangan internal mereka sendiri ataupun masyarakat umum. Asvi juga mengaitkan ini dengan penggantian Gatot Nurmantyo yang direncanakan tahun depan.

“Tahun depan ada penggantian Panglima TNI. Sekarang AS, jadi kemungkinannya besok AU. Nah apakah tujuannya terkait dengan itu? Ini buat orang bertanya, apa biar tetap AD atau apa? Itu kan dugaan-dugaan yang mungkin. Instruksi untuk menonton film ini jadi sangat politis,” kata Asvi.

Sebelumnya, Gatot memang menegaskan nobar film G30S/PKI di tingkat Kodim-Koramil-Babinsa adalah perintahnya. Ia menantang pihak-pihak yang tak sependapat dengan instruksinya. “[Ya], perintah saya, mau apa memangnya,” kata Gatot seperti diberitakan Antara.

Gatot tak mau peduli dengan polemik yang muncul terkait acara nobar film G30S/PKI. Ia menyatakan hanya pemerintah yang bisa melarang instruksinya. “Yang bisa melarang saya hanya pemerintah. Polemik dan ada penentangan dari berbagai pihak itu, ‘memangnya gue pikirin’,” ujarnya.

Sumber: Tirto.Id

This post is also available in: English