Martin Aleida*

Di kalangan para pengecamnya Pramoedya Ananta Toer dicap sebagai tak punya selera humor. Novel dan karya-karyanya yang lain selalu kelam. Begitu kesimpulan mereka. Maka, suatu ketika seorang wartawan majalah Tempo bertanya kepada Pram, mengapa di dalam berbagai karyanya tak ada yang lucu, yang menggelitik. Semuanya mengharu biru. Sang wartawan pulang membawa jawaban telak: “Saya bukan tukang dagelan!”

Sedikit atau banyak, sesuatu karya mencerminkan kehidupan pribadi pengarangnya. Hampir dua-puluh tahun dari usianya dihabiskaan Pram di dalam penjara. Pahit, tentu! Namun, kalau jujur menelaah karyanya, sebagai manusia biasa dia juga bisa menunjukkan bahwa hatinya tidak selamanya kaku seperti baja. Dalam salah satu novelnya pernah muncul seorang tokoh, Sarpin Danuasmara namanya. Kalau tak salah. Begitu orang ini dijebloskan ke dalam sel yang dihuni Pram, ruangan segera berbau kentut yang menyengat. Gas buangan itu, selama berhari-hari, terus-menerus menjadi siksa tambahan. Sarpin jadi bulan-bulanan. Belakangan baru ketahuan saluran got yang tak tertutup rapat.

Dalam kehidupan sehari-hari Pram juga hangat, dengan rokok yang sambung-menyambung dan tawa serak berderai. Suatu hari, setelah dia pulang dari pulau pengasingan dan perbudakan, Buru, untuk kesekian kali, saya mampir ke rumahnya di wilayah Utan Kayu, Jakarta Timur. Ngobrol ke sana ke mari, ditingkahi deru-deram suaru mobil dan motor tiada henti, dan sesekali raungan pesawat-terbang, Pram menggeleng-gelengkan kepala: “Jakarta ini merusak menusia. Orang-orang yang begitu baik di Buru, di sini jadi bobrok.”

pram_tertawaDia bercerita, tak lama setelah pulang dari Buru, dengan uang royalty bukunya, yang dia terima dari mana-mana, Pram mendirikan sebuah perusahaan kecil-kecilan, bergerak di bidang pembangunan rumah sederhana. Sekitar 60 bekas tahanan politik Buru turut dalam perusahaan itu. Sebagai pendatang baru dalam usaha pembangunan, dan terutama oleh stigma Orde pimpinan Jenderal Soeharto terhadap komunis dan para simpatisannya, perusahaan itu kembang-kempis nafasnya. Antara lain ada pemesan yang tak membayar, karena tahu yang bekerja adalah bekas tahanan politik. Dari Buru pula! Order berkurang dan malahan terbang. Buat Pram keadaan itu bisa dia telan. Tetapi, yang tidak habis-habisnya jadi pikirannya adalah rusaknya mental kawan-kawan Buru yang bekerjasama dengannya. “Kami punya mobil mini-truk dengan kap terbuka. Setiap pulang,” kataya terkekeh, “kalau saya perhatikan diam-diam, bannya yang baru ditukar dengan yang bekas. Saya tahu mereka begitu untuk mengatasi masalah periuk-nasi mereka. Karena bukannya berkembang, malah merosot, akhirnya bersama kawan-kawannya, perusahaan tersebut diputuskan bubar untuk sementara. Cari nafas.”

Begitulah, bekas orang-orang rantai itu terbang ke mana-mana, mengikuti nasib mereka sendiri-sendiri. Sampailah suatu hari, mereka mengerubung kembali, laksana merpati pulang ke sarang. Mencari Pram di rumahnya. “Ada apa ini?” bingung Pram bertanya kepada mereka.

“Lho, kan Bung dapat hadiah Magsaysay. Dapat 350.000 dolar Amerika!” jawab seorang.

“Itu kan pengakuan terhadap saya,” tangkis Pram.

“Lah.., Bung di Buru kan tidak kerja …!” sahut seorang lagi.

“Kami yang bekerja untuk Bung. Yang membelikan rokok saya!” letup yang lain.

“Saya yang membawa telor dan sayuran untuk Bung!”

“Saya yang memperbaiki mesin ketik kalau rusak!”

“Bung jangan lupa, saya yang menyelamatkan manuskrip Bung. Ingat, kan saya yang menyelundupkannya ke Namlea. Kalau tidak dunia bebas takkan bisa membacanya!”

pram_senyumManusia yang selalu mengenakan kaos oblong putih dan bersarung, yang menjadi sastrawan terbesar di negerinya ini, tidak pernah membayangkan bahwa suatu ketika dalam hidupnya akan berhadapan dengan tuntutan yang membangkitkan kenangannya pada masa-masa paling getir bersama belasan ribu tahanan politik yang senasib dengannya di pulau isolasi Buru. Ini menyangkut uang. Namun, kepekaannya tidak majal karena harta. “Baiklah, kawan-kawan. Tapi, bagaimana menghitungnya? Bagaimana membaginya …?” Perjumpaan di dalam perusahaan yang bangkrut itu seperti menemukan jalan buntu. Semua terdiam.

Pram tidak berpihak pada korban hanya dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam kehidupan nyata. Di antara kawan-kawan sepenanggungan. Belakangan – tidak dari mulutnya – saya dengar dia benar-benar berbagi. Termasuk ada yang dibelikan sepeda motor dan sepeda seadanya, sesuai permintaan. Tentu ada pula yang kepercik uang.

Tak lama setelah episode menghadapi “gugatan” kawan-kawannya itu, Pram kedatangan pula seorang tamu, kawan lamanya: penyair Agam Wispi. Dia muncul tepat waktu. Dari Pram saya dengar Agam meminta pinjaman $2.000. Sang penyair, yang jadi eksil di Negeri Belanda itu, mengaku kehilangan sepeda motor di sana. Dia mau beli yang baru. “Mengapa Wispi harus naik motor di negeri yang angkutan umumnya begitu bagus dan murah?” tanya saya.

“Bung kasi?” saya mendesak. Dia tak menjawab. Cuma menyedot asap rokok dan merelakan asapnya terbang.

“Medan, Bung…!” saya meledek. Dan dia terkekeh.

Di lain kesempatan saya mampir lagi. Pram muncul menenteng buku. Tebal, ukuran folio. Ternyata manuskrip “Kronik Revolusi” yang dia kerjakan begitu rapi penjilidannya. “Tertarik?” dia bertanya seraya menyodorkannya. Saya segera menyambutnya. Karena manuskrip tadi, kami ngobrol cuma sebentar. Saya bilang saya akan langsung menawarkannya kepada Goenawan Mohamad, siapa tahu bos majalah Tempo itu tertarik untuk menerbitkannya.
Dari rumahnya, hannya sekitar setengah kilo jauhnya, saya mampir ke markas Komunitas Utan Kayu di mana Goenawan banyak menghabiskan waktu, pikiran, juga uang, tentu, dalam menggerakkan paguyuban tersebut. Sebagai seorang bekas wartawannya, tak sulit buat saya untuk menemuinya.

“Saya barusan dari Pram. Dia memberikan ini,” saya memindahkan buku itu ke tangannya. “Mas berminat menerbitkannya?” Tanya saya. Goenawan menimang manuskrip yang tebal berkulit warna telur asin itu. Dia bolak-balik sesaat. “Hmmm … Bagus,” katanya berkomentar. Tak jelas apanya yang bagus, isinya ataukah bentuk penjilidannya. “Kita sedang kesulitan dana,” ucapnya. Melihat jendol yang nangkring di keningnya, saya teringat ketika dia pada suatu hari awal 1980-an meminta saya mengantarkannya untuk menemui Pram. Waktu itu saya masih bekerja di Tempo. Juga turut Zulkifly Lubis, yang semula adalah wartawan, tetapi belakangan pindah ke divisi manajemen majalah tersebut. Waktu itu menemui Pram adalah juga pertaruhan, karena dia tentu masih diamat-amati.

Saya agak terkejut mendengar kata-kata paling awal yang diucapkan Pram begitu menerima uluran tangan Goenawan: “Apa saya gepeng?” Tamunya itu kelihatan agak kikuk untuk mencari jawaban. Saya lupa apa jawaban Goenawan. Tetapi, ketika kami hendak berpisah, Goenawan mengeluarkan segepok uang dalam genggamannya dan menyerahkannya kepada Pram. “Titipan royalty dari Australia,” katanya. Tapi, saya tak melihat ada berkas yang ditandatangani. Jadi, pikiran baik saya menduga itu adalah uang pribadi Goenawan. Tempo sedang jaya-jayanya.
Kembali ke kisah manuskrip “Kronik Revolusi” setebal bantal tadi. Setelah gagal membujuk Goenawan, keesokan harinya saya menelepon Parakitri, Direktur Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Sambutannya sangat hangat. Dia bilang Pram sudah memberikan begitu banyak kepada bangsanya, mengapa untuk urusan penerbitan buku itu menjadi masalah yang musykil. Cuma, katanya mengingatkan, Joesoef Isak sudah pernah menawarkannya, dengan meminta royalty 20%. Perundingan gagal, karena Joesoef ngotot. Tapi, kata Parakitri lagi di ujung telepon, “Kalau Bung mau menghidupkan kembali perundingan, saya siap saja,” katanya. Baik, saya bilang, dan mengundang dia untuk menemui Pram.

Selang beberapa hari, Parakitri datang, menapaki tanggga rumah Pram, lengkap dengan stafnya. Pram menunggu di ruangan tamu, di sebelah kanannya duduk mendampingi adiknya, Koesalah. Saya sendiri tak ingin terlibat, dan duduk lima-enam depa jauhnya dari kursi pertemuan. Sambil nguping, saya dan Bu Maemunah, istri Pram, duduk menghadap meja makan. Nonton TV, mengudap cemilan.

Sudah diduga perundingan berjalan alot, berkisar soal royalty: 20, 18, 15 persen! Pram masyhur dengan keteguhannya. Namun, dalam perundingan ini dia berubah menjadi liat. “Dulu, pada waktu Balai Pustaka, royalty saya paling tinggi, 20%,” katanya meyakinkan. “Kalau sekarang turun jadi 18% bisa saya terima.” Tiba-tiba Parakitri mengeluarkan pisau Swiss bergagang merah. Seraya menodongkan ujung pisau itu kepada Pram yang duduk di seberangnya, dia bilang: “Sudahlah, Bung, 15% saja! Nanti, kalau laku jadi 18%…” Pram tak bergeming melihat mata pisau itu. Parakitri melipat dan memasukkan benda tajam itu ke saku celananya. Pram, nyengir, “Kok main pisau segala hahaha…” Dia, juga yang lain, terbahak-bahak.

Sekitar setengah tahun setelah perundingan yang ditutup dengan todongan pisau itu, telepon rumah saya berdering. Di ujung sana Koesalah mengundang saya untuk datang ke kediamannya, di Depok. “Ada uang buat Bung,” katanya. Uang apa? Saya tertanya-tanya terus. Istri saya ajak berangkat saat itu juga untuk menemui Koesalah. Saya terkejut ketika dia menyerahkan satu amplop berisi uang, dalam pecahan seratusan ribu, juga recehan dalam bentuk logam.

“Dari Pram, bagian dari royalty yang dia terima dari ‘Kronik Revolusi.’ Bung kan punya andil,” katanya senyum simpul. Total lebih dari Rp 900.000!

Di tengah jalan, menuju Pasar Minggu, saya dan istri mampir di tiga pedagang durian. Total, kami yang pendendam durian, menghabiskan 12 biji! Saya anggap pesta di tepi jalan itu sebagai penghormatan terhadap kejujuran Pram. Bahwa hak orang lain, tak peduli berapa pun besarnya, harus diberikan, walau yang bersangkutan sudah lupa pada apa yang telah disumbangkannya. Kalau kuingat apa yang dilakukan sastrawan lain, Ajip Rosidi, terhadap saya, maka Pram adalah langit, yang satu lagi adalah bumi yang membusuk.

Dalam bukunya tentang Lekra sama dengan PKI, dia melancarkan insinuasi stigmatisasi militeristis, dengan mengatakan saya adalah tokoh Lekra yang bernama Nursan (dia salah eja!) yang “sekarang menulis dengan nama Martin Aleida.” Saya yakin, dia lah yang bermain di belakang, sehingga saya dianulir sebagai penerima penghargaan seni dari Akademi Jakarta untuk tahun 2013. Tim juri yang ditunjuk AJ menetapkan saya sebagai penerima penghargaan, tetapi AJ sendiri, di mana Ajip Rosidi duduk sebagai anggota yang cukup lama, menolak keputusan juri tersebut, dan menunjuk seniman lain sebagai penerima penghargaan tahunan yang berhadiah uang Rp 50.000.000. itu. Akibatnya juri mengundurkan diri dan menyatakan tidak bertanggungjawab terhadap keputusan AJ. Publik tidak pernah diberi tahu mengapa Martin dianulir. Goenawan Mohamad, yang sudah sejak lama mengundurkan diri sebagai angggota AJ, menyebutkan lembaga itu “sudah kadalu warsa,” dan di media sosial dia mengecam sikap berdiam diri dari lembaga yang dana operasionalnya berasal dari pemerintah DKI Jakarta itu.

Kebencian Ajip terhadap saya, kalau boleh saya katakan begitu, berawal dari kritik saya terhadap obituari yang ditulisnya mengenai AS Dharta, salah seorang pendiri dan pimpinan Lekra yang pertama. Bayangkan, dalam obituari dia menuduh Dharta ateis dan arwahnya tidak akan diterima Allah. Seakan-akan dia telah dititahkan Yang Maha Kuasa untuk menentukan kufur tidaknya seseorang. Tulisannya yang muncul di Pikiran Rakyat Bandung itu kemudian saya kritik dalam penerbitan koran yang sama. Saya katakan apa yang dituduhkan Ajip tidaklah benar. Setelah diyakinkan oleh seorang sahabat dekatnya, dia terpaksa menelan kembali ludahnya. Ajip menulis dua kali untuk seorang yang telah pergi: AS Dharta. Yang pertama mempersilahkannya masuk neraka, yang kedua dia bersujud meminta ampun kepada keluarga penyair itu.

Pramoedya Ananta Toer, Ajip Rosidi, dua-duanya saya kenal. Yang satu langit, yang satu lagi rombengan busuk.

***

Martin Aleida, sastrawan, tinggal di Jakarta

This post is also available in: English