26 April, 2018 – 00:02 | Hawe Setiawan*
INGATAN kolektif, betapapun retaknya, tersimpan di halaman koran. Laporan Gadis Rasid, “Boekencensuur in Indonesië Blijft Aanhouden“, dalam NRC Handelsblad, 28 September 1976, mencatat bahwa 99 judul buku karya para penulis Indonesia dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Kejaksaan Orde Suharto mengaitkan buku-buku itu dengan Partai Komunis Indonesia dan organisasi-organisasi mantelnya. Di antara buku-buku tersebut terdapat karya S. Rukiah (1927-1996).
Para penyensor toh tidak hidup abadi, sedang kata-kata yang tercetak bisa hadir lagi. Penerbit Ultimus di Bandung menerbitkan kembali buku-buku S. Rukiah pada 2017. Terbentang masa 41 tahun setelah Orde Suharto memberangus sastra atau 21 tahun setelah S. Rukiah wafat.
Hari ini, generasi Indonesia dapat membaca karya tulis yang begitu lama dikubur, mengenal sosok penulis yang begitu lama dipupus. Terbitnya kembali buku-buku S. Rukiah, dalam suasana Indonesia yang lebih leluasa, turut memungkinkan ingatan melawan lupa.
Ibu cendrawasih
S. Rukiah berasal dari Purwakarta. Ia ikut bergiat dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Setelah Peristiwa 1965, segalanya berubah. Dari Jakarta, ia kembali ke kota asalnya. Anaknya enam. Suaminya, Sidik Kertapati, sedang berada di Tiongkok, dan tidak pulang hingga berpuluh tahun kemudian. S. Rukiah sendiri selama sekitar 5 tahun harus berada dalam tahanan, mula-mula di Purwakarta, kemudian di Bandung. Seterusnya, ia menyambung hidup antara lain dengan berjualan kue.
Baru-baru ini saya bertemu dengan Kang Windu, anak kedua Bu Rukiah. Kami ikut hadir dalam forum diskusi tentang karya-karya S. Rukiah di kampus Universitas Padjadjaran, di Jatinangor, yang diselenggarakan oleh Komunitas Lorong. Saya baru sadar bahwa Kang Windu adalah adik mendiang Kang Aga Prayoga, editor yang pernah bekerja satu ruangan dengan saya sewaktu kami masih bekerja di Pustaka Jaya, sekian tahun silam.
Menurut catatan Holger Warnk, dalam ulasannya mengenai Tjenderawasih, majalah anak-anak terbitan Ganaco di Bandung yang diasuh oleh S. Rukiah dkk pada 1950-an hingga 1970-an, setelah merebaknya pembunuhan massal menyusul pergantian kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, “Ibu Cendrawasih” dari Purwakarta, burung langka dari tanah Priangan, ini berhenti menulis.
Pengarang memang bisa berhenti menulis, entah karena tekanan dari luar atau karena beban dari dalam, sedangkan pembaca tidak akan berhenti dengan kata “tamat” di akhir buku. Riwayat tulisan lebih panjang daripada riwayat penulisnya.
Novel dan puisi
Terasa ada kedekatan nuansa dan suasana antara liku-liku cerita dalam novel Kejatuhan dan Hati dan suara dalam puisi “Sahabat Ku” dan “Kenangan Gelita” dari koleksi puisi Tandus. Eska —-kiranya mengacu kepada mendiang Sidik Kertapati, tokoh politik yang kemudian jadi suami S. Rukiah—- dalam “Kenangan Gelita” mengingatkan kita kepada karakter Lukman dalam Kejatuhan dan Hati.
Novel ini, pada hemat saya, dapat dibaca sebagai tanggapan batin dari pribadi yang terguncang terhadap gelombang besar perubahan sosial politik.
Ditulis oleh individu yang jadi bagian dari masyarakat terpelajar pada masa- masa awal kemerdekaan Indonesia, terbit pada masa-masa itu —Kejatuhan dan Hati pernah terbit pada 1950 sedangkan Tandus pernah terbit pada 1958—, buku ini dapat dikatakan turut melukiskan sejarah dari sudut pandang pelaku sejarah —jika istilah sejarah kita artikan dalam cakupan yang luas, dan jika cara melihat sejarah mengandalkan pula jendela kecil dalam kehidupan individu.
Sang “aku” yang mengemukakan sudut pandangnya dalam novel, yang memperdengarkan
suaranya dalam puisi, adalah bagian tersendiri dari gelombang perubahan sejarah yang dia tanggapi.
Kata kuncinya adalah “revolusi” —yang dalam sajak ada kalanya ditulis dengan “R” besar. Kiranya ada masanya istilah itu bukan sekadar slogan, melainkan juga memang menemukan jejaknya dalam pengalaman.
Untuk sekadar meminjam istilah dari sebuah buku Martin Oppenheimer, dari ruang dan waktu yang berbeda, kita dapat membayangkan suatu proses, entah berdarah entah damai atau kedua-duanya, yang melibatkan “radical movement” untuk “reconstruct… society“.
Revolusi dalam tulisan S. Rukiah terlukiskan beserta bagian-bagiannya yang gelita —kiranya sepadan dengan gulita dalam bahasa Indonesia hari ini. Tatanan lama sudah terbenam, mungkin seperti suara figur ibu dalam keluarga Saputro, yang ditentang sama sekali oleh Dini tapi masih cenderung diamini oleh Lina, sedang oleh Susi tidak bisa diabaikan sepenuhnya meski ia sendiri menaruh hati pada pikiran baru. Adapun tatanan baru yang dicita-citakan, sebagaimana yang diserukan bahkan diperjuangkan oleh Lukman, masih diliputi ketidakpastian, bahkan seringkali ditandai dengan pembunuhan, keributan, dan percekcokan.
Guncangan pada tatanan lama —yakni tatanan yang melahirkan dan membesarkan sang individu— beserta lonjakan perubahan dalam sikap hidup, mendapatkan lukisannya antara lain sebagai berikut:
“Terasa perubahan ini amat melonjak. Ibu bertanya, dan terus bertanya… Tapi aku makin benci. Benci pada simpanan janji yang ditimbulkan dari ibu dulu, benci pula pada kasih sayang yang dibikin oleh ibu. Akhirnya aku makin menjauh, jauh dari perasaan kekeluargaan, jauh dari aturan- aturan manusia yang mengaku dirinya beradab,… Kadang-kadang aku berpikir sendirian, betapa enaknya jika manusia lepas dari kemestian- kemestian adat yang dibikin oleh manusia itu…” (Kejatuhan dan Hati, halaman 17)
Kehendak menjauh dari tatanan lama, dan kehendak mendekat kepada cita-cita baru, membawa sang individu ke jantung perubahan sosial politik sendiri, di garis depan di antara para gerilyawan. Di situ pada gilirannya ia masuk begitu jauh, bersetubuh dengan Lukman, sang gerilyawan revolusioner yang begitu fasih memaparkan pandangan politiknya.
Namun pada saat-saat yang demikian genting, tatkala ada semacam pilihan di antara kegentingan memperjuangkan negara yang masih dalam cita-cita dan mengindahkan nilai-nilai lama yang bagaimanapun masih nyata, individu seperti Susi seakan terpental dari pusat gempa perubahan revolusioner. Di tengah situasi yang penuh guncangan, tidaklah mudah untuk “belajar praktis di dalam romantik”. Susi berbeda dari Dina, juga tidak sama dengan Lina, tapi seringkali tidaklah mudah baginya untuk merealisasikan diri.
Kesadaran literat
Saya berupaya menangkap kesadaran di balik karakterisasi Susi di dalam Kejatuhan dan Hati. Upaya itu saya tempuh antara lain dengan bertanya kepada diri sendiri: apa yang hadir dalam ruang selain sosok-sosok pelaku cerita dandialog di antara mereka? Ada apa selain figur dan ujaran? Sebagai pembaca, saya melihat lanskap.
Dari lanskap novel ini, saya mencatat dunia benda yang menurut hemat saya sangat penting, antara lain: kertas, mesin tulis, meja tulis berlaci, surat, buku harian, suratkabar, buku, listrik, uap, perangko, cermin, gambar (=potret), Injil, buku roman, pabrik beras, kereta angin (=sepeda), dan mobil. Rincian benda-benda itu kiranya tidak kalah pentingnya dengan rincian konsep seperti revolusi, cinta, rasa kasih sayang, kemerdekaan, romantik, sekolah, tentara republik, palang merah, pandangan politik, korupsi, dan komunisme.
Jika saya pikir-pikir lebih jauh, katalog tersebut kiranya mengacu ke ruang urban tempat tumbuhnya semacam kesadaran literat. Di wilayah perkotaan, diri yang membaca, dan menulis sepertinya, rupanya tak selalu mudah melihat jalan cerita dari perubahan sosial politik itu sendiri.
Novel S. Rukiah bukanlah cerita tentang Lukman, melainkan cerita tentang Susi. Bukan his story, melainkan her story.
Betapapun, ada figur baru yang pada gilirannya muncul di penghujung cerita ini, yakni “Lukman” junior atau “Luk kecil”, yang dalam pandangan tatanan lama bukan tidak mungkin akan terlihat sebagai semacam anak haram revolusi. “Luk kecil”, yang dibesarkan dengan berbagai mainan berwarna “merah”, barangkali mengacu kepada generasi baru yang penuh masalah.***
Hawe Setiawan, Budayawan, Kolumnis Pikiran Rakyat
Sumber: Pikiran Rakyat
This post is also available in: English