Christina Sumarmiyati (bu Mamiek) lahir di Sleman Yogyakarta pada 5 Juli 1946. Pertemuan saya dengan bu Mamiek, diawali dengan komentar anaknya, Benny Putranto, di Facebook saya, ketika saya menulis tentang genosida 1965. Benny menceritakan dengan singkat tentang ibunya, mantan Tapol Plantungan. Dari Benny, saya mengontak bu Mamiek, yang menceritakan tentang kisahnya.

*

Saya masih ingat tepuk tangan penonton waktu saya menarikan Srikandi edan, sambil ngomong tentang emansipasi perempuan. Dan kalau main ketoprak, saya biasanya jadi emban, ngomong seenaknyazf sendiri tanpa pakem, yang penting tajam dan mengena. Dengan demikian, saya bisa menyampaikan pesan tentang emansipasi perempuan juga. Saya memang aktif waktu masih muda: sejak umur 15 tahun sudah ikut organisasi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), underbownya PKI, dan sempat menjadi koordinator tingkat kabupaten. Saya aktif merekrut anggota-anggota baru. Kegiatan IPPI inilah yang menyebabkan kesenian di desa saya maju, dan kami juga mengadakan pemberantasan buta huruf. Seringkali rumah keluarga saya dipakai untuk pertemuan juga.

Bapak saya adalah ketua BTI di kota saya. Karena itu, pada November 1965, dia ditangkap. Saya tahu, saya pasti dicari juga. Saya segera pindah kos dan tidak pernah pulang ke rumah. Mereka terus mencari saya dan tidak bisa menemukan. Akhirnya, saya dipanggil ke Kelurahan dan keluarga sayalah yang diancam. Kalau saya tidak segera pulang, ibu dan adik-adik saya yang akan diambil.

Saya memutuskan untuk menghadap ke Kelurahan, dan di sana, saya diharuskan apel 2 kali sehari, tiap jam 8 pagi dan jam 4 sore. Karena kuliah saya di luar kota, yang jaraknya 25 km, saya akhirnya harus apel pagi sekali, jam 6. Lalu, saya pergi kuliah dan apel sore, sesudah pulang kuliah (biasanya setelah jam 19.00). Tapi setelah semua itu, saya masih juga diambil setelah baru saja memperingati hari ibu, pada tanggal 22 Desember 1965.

Dengan kedua anggota keluarga dipenjara, ibu dan adik-adik saya masih harus menanggung sial. Mereka disindir dan dimaki. Hampir tiap malam, rumah kami dilempari batu karena mereka menuduh bahwa rumah kami dipakai untuk markas partai. Ibu saya dengan berani menghadapi mereka dan menyanggah tuduhan-tuduhan ngawur mereka. Memang, keluarga saya sudah siap mental. Karena “buang bui bunuh” bagi mereka yang idealis itu sudah sering diwacanakan oleh bapak-bapak yang memberi pelajaran Sejarah Perkembangan Masyarakat.

Jadi, waktu saya dipenjara, ada rasa kebetulan juga, karena saya punya kesempatan mencari ayah. Karena itu, saya ke penjara dengan membawa beberapa bajunya: celana, sarung, hem, surjan. Saya juga membawa baju ibu, jadi kalau saya rindu ibu, saya tinggal pakai bajunya. Baju ayah saya taruh di paling bawah, atasnya adalah baju saya dan pakaian dalam. Jadi kalau diperiksa, petugasnya paling tidak merasa sebel melihat baju-baju dalaman begitu. Dugaan saya memang benar. Waktu mereka memeriksa, ada yang ngedumel pelan: “Sial, buka tas dapat beginian!”. Hati saya bersorak bahagia, waktu bisa meloloskan baju ayah.

Waktu para tahanan diangkut oleh truk dan sampai di penjara kabupaten, petugas menginterogasi kami satu-persatu. Mereka menanyakan nama, alamat lengkap dan lain-lain. Saat itu, aku mulai menebar pandang dari dalam truk, mencari sosok ayahku. Dan saya menemukannya! Dari balik jeruji, saya bisa melihat wajah yang sudah lama tak bersama kami. Langsung saja, saya mencoba menyusun siasat untuk bisa menghubunginya.

Tempat ini sebenarnya sudah tidak asing bagi saya, karena saya pernah menjadi petugas dapur waktu ada training Pemuda Rakyat yang berakhir tanggal 30 September 1965. Jadi, saya kenal seluk-beluk tempat ini, bahkan kenal dengan beberapa tentaranya. Apalagi karena kalau ada kelebihan makanan waktu di dapur, saya akan membagikan pada keluarga tentara. Jadi, saya bisa menyelipkan baju ayah beserta uang juga. Yang jelas kedipan mata adalah bahasa yang kita pakai di sini.

Beberapa tentara di situ sangat baik pada saya, dan terkadang, mereka meninggalkan sisa-sisa nasi dan lauk sayur. Mereka memberi saya kode, sehingga saya tahu dimana makanan itu diletakkan dan bisa mengambil sesudah pemeriksa pulang. Saya biasa membagikan makanan itu kepada anak-anak para Gerwani yang juga dimasukkan di sana.

Waktu ada Romo yang membagikan komuni, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya bilang ke Romo itu bahwa saya adalah anggota PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Saya bilang: “Memang dulu saya ikut IPPI, tapi sekarang saya anggota PMKRI dan saya tidak kena skorsing dari kampus saya. Saya masih punya hak kuliah.” Lalu saya sebutkan nama dekan saya. Memang, waktu masuk kuliah, saya tidak bilang kalau saya ikut IPPI.

Akhirnya, berkat pertolongan Romo itu, saya dibebaskan pada tanggal 16 April 1966. Saya cari Romo itu lagi dan saya minta tolong kepadanya untuk memberi saya rekomendasi supaya saya diijinkan kuliah lagi. Surat dari Romo ini saya tunjukkan kepada dekan saya dan saya diperbolehkan kuliah asalkan membawa bukti surat bebas G30S dari desa, keluarahan, kecamatan, kabupaten, propinsi, lengkap dengan keterangan polisi dan Kodim. Tentu saja ini tidak mudah, tapi saya bertekad mendapatkan semua itu, demi bisa kuliah lagi.

Setelah kuliah, saya juga melamar menjadi guru SD untuk membantu keuangan keluarga, dan saya diterima di daerah Wonosari – Gunung Kidul. Tapi jarak Gunung Kidul dan tempat saya kuliah, paling tidak 6 jam. Bagaimana ini? Saya akhirnya menghadap pada bapak yang bertugas menempatkan guru untuk memohon supaya saya dipindah tugas ke tempat yang dekat kuliah saya. Saya menjelaskan padanya bahwa pekerjaan ini penting sekali bagi saya, karena saya ingin sekali meringankan beban ibu.

Dia bertanya: “Bapaknya kemana, kok ibu sendirian?” Saya jawab: “Bapak sudah pergi dengan orang lain.” Kan memang betul? Bapak pergi dengan tentara yang mengambil dia. Tentu saja, pak Petugas itu menyangka bahwa bapak pergi dengan perempuan lain. Tapi ini terpaksa saya lakukan, karena kalau saya bilang bahwa ayah saya dipenjara, pasti kiamat hidup saya. Karena iba, bapak itu akhirnya memindah saya ke tempat mengajar yang dekat dengan tempat kuliah.

Saya kos di Yogya, dan mengajar dan kuliah saya lakukan dengan kerja keras yang luar biasa. Pagi saya mengajar, setelah itu langsung kuliah. Kalau kebetulan ada kuliah pagi, saya menitipkan materi pelajaran untuk murid-murid saya kepada rekan guru yang lain. Saya sangat bersyukur, karena rekan kerja saya begitu pengertian. Dua tahun, aku lakukan kedua tugas ini. Bisa dibilang, saya tidak pernah istirahat waktu itu. Saya harus bangun tidur pagi sekali, lalu langsung kerja. Tapi, saya merasa bahagia, karena hal itu sesuai dengan apa yang saya inginkan. Ditambah kemudian, saya mendapat bea siswa dari Romo dan kami serta kedua adikku juga mendapat bantuan uang dan bulgur.

Suatu malam, ketika saya sudah tertidur, ada yang menggedor pintu rumah kos saya. Dengan masih setengah tidur, pintu saya buka, dan betapa kagetnya saya melihat 6 lelaki menodongkan senjata ke muka saya. Saat itu, sekitar jam 2 pagi, mereka mencecar berbagai pertanyaan, yang tidak saya mengerti maksudnya. Teman-teman kos saya ikut terbangun, tapi mereka semua ketakutan jadi hanya menonton saja apa yang terjadi. Tentara itu menanyakan nama lengkap saya, yang ternyata tidak sesuai dengan nama yang mereka cari. Kemudian, mereka menuduh saya berbohong dan bahwa saya melindungi gerilya-gerilya politik. Mereka menggeledah kos saya dan menemukan granat dan peluru.

Mereka bertanya: “Ini milik siapa?”
Saya jawab: “Milik tamu yang dititipkan pada saya.”
“Orangnya di mana?”
“Tidak tahu.”

Sebenarnya, granat dan peluru itu saya dapat dari seorang sahabat saya yang tentara, dan yang pro dengan perjuangan kami. Dia dulu anggota Pemuda Rakyat. Memang, setelah kami mendengar teman-teman banyak yang hilang, saya ikut dalam gerilya politik. Kami sempat merencanakan Perjuta (Perjuangan Rakyat Bersenjata) untuk menentang rezim yang telah membunuh jutaan orang ini. Karena kami tidak mau berdiam diri dan pasrah saja, mendengar teman-teman kami dihabisi. Kami membuat kantong-kantong persembunyian baik di desa maupun kota. Kawan-kawan yang kehilangan keluarganya biasanya sangat solider dan mau menerima kedatangan orang yang perlu pertolongan makanan dan tidur. Teman-teman juga belajar bela diri dan berbagai teori perang. Saya tidak pernah mengaku kepada petugas tentang hal ini sama sekali, karena saya tidak mau teman-teman saya yang lain ikut terjerat. Jadi, saya teguh dengan jawaban saya yang satu: “Tidak tahu”.

Tapi karena jawaban itu, baju saya langsung dilucuti dan disuruh naik ke atas meja marmer bundar. Dengan keadaan telanjang, saya dicecar berbagai pertanyaan, tapi saya hanya menjawab tidak tahu. Mereka makin marah, dan membakar rambut serta bulu kemaluan saya. Saya menjerit dan menyebut nama Yesus, hingga hilang kesadaran saya.

Setelah saya sadar, saya disuruh berpakaian kemudian diborgol dan digelandang ke mobil, yang melaju ke kantor CPM. Saya dimasukkan ke dalam sel bersama seorang lelaki, tanpa dilepas borgol kami. Siang harinya, kami berdua dibawa ke kantor untuk diinterogasi seputar gerilya politik, tanpa dibuka borgol kami. Saya tetap bungkam. Dan ketika ditanya, apa kegiatan politik saya, saya jawab saya tidak punya waktu untuk itu karena saya sibu sekali sebagai mahasiswa sekaligus guru. Jawaban ini membuat mereka marah besar, dan memberi saya pilihan: mengaku atau duduk berpangkuan dengan lelaki itu. Saya menjawab, tidak ada yang saya pilih, karena itu bukan pilihan. Seketika mereka menelanjangi kami berdua, dan mengangkat dengan paksa tubuh kami. Saya ditempatkan di posisi berpangkuan dengan lelaki itu, dan seketika itu juga, saya merasa gelap, tak ingat apa-apa lagi.

Ketika sadar, saya dikembalikan ke sel tetap dalam keadaan terborgol. Selama 3 hari, saya demam panas dingin tidak karuan. Akhirnya saya dikirim ke penjara Wirogunan untuk pengobatan. Setelah dinyatakan sembuh, saya kembali diperiksa dan dibombardir dengan berbagai pertanyaan. Bila ada tangkapan baru, saya sering dipanggil dan dikonfrontir bersama. Hanya karena seorang bapak yang ditangkap berkata bahwa saya pernah ke rumahnya, mereka menyiksa saya kembali.

Saya diminta mengaku sebagai seorang aktifis politik, tapi saya tetap tidak mau. Akhirnya kembali saya ditelanjangi oleh 8 lelaki. Mereka beramai-ramai memegang pundak saya, lalu mengeroyok tubuh saya, dan memaksa saya menciumi kelamin mereka satu-persatu. Tangan-tangan mereka menekan kepala saya dengan rakusnya. Namun, mereka masih belum puas juga. Saya diseret ke tengah kamar lalu ditengkurapkan, dan diinjak-injak oleh mereka bergantian, dengan sepatu boots yang berat dan tajam, sambil memaki bahwa saya jauh lebih rendah harganya dari pelacur. Saya hanya mengingat tentang buku yang sering saya baca semasa saya kuliah, Surat-surat dari Vietnam. Ketika pertama kali membaca, saya pikir buku itu kumpulan surat, ternyata kisah seorang gadis Vietnam yang disiksa tentara Amerika dengan penyiksaan-penyiksaan yang hampir sama dengan yang saya hadapi saat ini. Saya menggumamkan nama gadis itu, Can Tin Nam, berkali-kali untuk mendapat kekuatan.

Setelah itu, rambut saya digunduli lagi. Setelah penyiksaan ini, saya depresi berat, tidak bicara apapun, dan tidak menstruasi selama sekitar 8 bulan. Selama 1 tahun, saya juga tidak boleh bertemu dengan keluarga. Tapi, mungkin kebetulan, karena selama itu rambut saya juga berangsur tumbuh, jadi waktu diperbolehkan bertemu keluarga lagi, keadaan saya sudah lebih baik.

Tak lama sesudah itu, saya diminta bekerja di rumah Komandan Polisi Militer, untuk merawat ibunya yang sakit asma. Ibu Komandan suka dengan pijitan saya. Tapi suatu saat, cincin anak Komandan hilang, dan saya dituduh mencurinya. Tentu saja, saya menolak tuduhan itu dan saya pura-pura sakit: pusing dan muntah-muntah. Akhirnya cincin itu ketemu, dan pura-pura sakit saya teruskan, karena saya sudah tidak mau lagi bekerja di sana, daripada dituduh lagi yang bukan-bukan.

Akhirnya saya dikembalikan ke penjara, karena dianggap tidak sehat. Ini justru membuat saya lebih bahagia. Di penjara, kami menyulam, merenda, membuat harnet (sanggul palsu) dari rambut yang rontok. Terkadang, sengaja kami potong rambut sendiri untuk membuat sanggul demi mendapat tambahan makanan, karena jatah makan kami hanya 50 butir jagung. Kami dengan berhati-hati menego petugas supaya mau menjualkan hasil kerajinan tangan kami. Pada malam hari, kami menghibur diri dengan berkesenian: kami mengadakan drama, ketoprak, wayang orang. Saya juga sering menulis, yang kemudian saya sembunyikan dalam peralatan menstruasi zaman dulu.

Saya hanya mencoba bertahan dan bertahan, dengan mengingat banyaknya nyawa yang telah menjadi tumbal kebiadaban Soeharto. Saya tetap bungkam bila diinterogasi, dan siksaan pun makin parah. Tapi teman-teman yang sudah berpengalaman, ternyata tidak bungkam tapi menunjuk orang-orang yang sudah meninggal.

Tahun 1971, saya dipindah ke Semarang, dan di sana ada sahabat saya yang meninggal. Namanya Girilyantini, mantan anggota IPPI yang masih sangat muda dengan semangat juang yang luar biasa, ia telah pergi. Dia dulu juga anggota pasukan drumband, grup kebanggaan kami waktu itu. Setelah 2 minggu berada di Semarang, kami diberangkatkan ke Plantungan, tempat bekas pengasingan penderita lepra di jaman Belanda. Kami memang dianggap sebagai lepra politik.

Di sana, semuanya tahanan perempuan. Kira-kira ada 500 orang. Kami harus tidur bersama binatang-binatang berbahaya, seperti ular dan kalajengking. Untung ada seorang ibu yang mahir berburu ular, sehingga binatang yang menakutkan ini bisa menjadi santapan kami. Kami juga sering berburu bekicot: rasanya lezat dan penuh gizi.

Di Plantungan, ada beberapa unit kerja: pertanian, perikanan, pertamanan, penjahitan, kerajinan tangan, produksi dan pemasaran. Semua hasil kerajinan bisa dijual dan ditukar dengan apa saja yang kami perlukan. Bagi yang rajin dan ulet, juga bisa mengantongi uang secara sembunyi-sembunyi. Di situ juga ada unit kesehatan yang dipimpin oleh dr. Sumiyarsi. Beliau benar-benar mahir dan sakit apapun bisa disembuhkannya. Beliau jugalah yang berhasil merontokkan stigma Plantungan sebagai tempat pembuangan orang-orang yang keji dan tak bermoral, karena sebagian masyarakat kemudian datang dan berobat kepada dr. Sumiyarsi juga. Secara sembunyi-sembunyi, mereka memberi “tanda kasih”, baik makanan ataupun yang lain. Lama-lama, bahkan ada permintaan dari masyarakat supaya bu dokter diizinkan keluar penjara, untuk mengobati orang-orang yang sakit.

Di penjara, beberapa kawan berpacaran dengan tentara. Tentu saja ini membuat kami kuatir, apalagi komandan di sana mendekati beberapa gadis muda, dan saya tahu maksud dia: pasti untuk dimasukkan ke jaringan inteligen mereka sebagai mata-mata. Akhirnya saya usulkan untuk membentuk grup dengan nama “Pasukan Gadis Tahan Lama”. Yaitu mereka yang bertahan tidak berpacaran dengan tentara. Kami saling menguatkan supaya tidak mudah menyerah pada rayuan petugas dan untuk membuktikan kami bukan perempuan murahan seperti yang sering mereka tuduhkan. Setelah kami bebas, kalau bertemu dengan bekas tapol, kami sering bertanya: “Masih di pasukan?”

Banyak di antara kami yang bertekad melawan sampai titik darah penghabisan. Dengan cara apapun, kami berusaha melawan usaha pengrusakan etika gadis-gadis belia yang dijadikan obyek pelampiasan kebejatan moral tentara dan petugas di sana, melalui berbagai kegiatan yang memikat mereka seperti olahraga, seni maupun agama. Akhirnya, kami juga diadu domba, antara yang muda dan lebih tua. Kami sering diminta melaporkan satu sama lain, mengamati gerak-gerik satu sama lain. Inilah pertanyaan yang sering diajukan: temanmu si A bagaimana, apa saja yang telah dilakukan, apa saja yang dikatakan, siapa saja yang suka main ke blok lain, siapa yang suka mengadakan rapat gelap, siapa yang berusaha melakukan pendidikan ideologi.

Para petugas itu sangat licik. Mereka melebarkan jaringan mereka melalui anak-anak muda yang tak berpengalaman. Mereka memberi anak-anak ini uang, diajak keluar untuk jajan macam-macam, bahkan diajak mengunjungi keluarga mereka. Makin lama, makin kelihatan siapa saja yang masuk perangkap licik para petugas. Bahkan akhirnya ada yang terang-terangan keluar dari jam 15.00 sampai jam 3 pagi. Saya tahu apa yang mereka lakukan. Dalam Pasukan Gadis Tahan Lama, kami yang bertugas piket mencatat apa saja yang terjadi dalam jurnal kami, termasuk siapa saja yang keluar diajak oleh bapak petugas siapa, dan kami berkomunikasi secara estafet. Ternyata para gadis muda itu mengetahui juga, dan kami dilaporkan dan dimaki sebagai “mata-mata komunis”. Akhirnya di penjara itu, lahir bayi hasil hubungan antara pendeta dengan tapol, petugas dengan tapol, bahkan komandan dengan tapol.

Sementara itu, sekitar 45 orang dari kami yang sudah ibu-ibu, dibuang ke penjara perempuan Bulu di Semarang, karena mereka berkata bahwa perempuan seperti kami tidak bisa lagi dibina menjadi Warga Negara yang Pancasilais, karena kami sudah komunis berkerak. Kami dipindah pada tanggal 16 Oktober 1976 pada saat hujan deras. Tapi di Semarang, sebenarnya kami lebih tenteram, karena petugasnya perempuan semua. Jadi, tidak ada kekuatiran akan diperkosa. Apalagi tak lama sesudah dipindah ke Semarang, tim Amnesty International tiba. Dan tak lama kemudian, kami dibebaskan pada tanggal 27 September 1978.

Setelah bebas, kami harus menghadapi kepahitan hidup berikut: stigma sebagai perempuan tak bermoral, perusak rumah tangga orang, ateis, murahan. Benar-benar keji kelicikan Soeharto ini. Usia saya tentu sudah tidak muda lagi setelah belasan tahun dipenjara. Bahkan para perempuan tapol yang pulang dalam keadaan cacat karena siksaan pun, belum tentu mampu menyentuh hati masyarakat, karena mereka sudah dicuci otak oleh Soeharto. Tidak sedikit ibu-ibu yang keluar dari penjara, hanya untuk menyaksikan keluarga dan rumah mereka sudah menjadi milik orang lain. Sendiri, tanpa pekerjaan, tak laku menikah dan dihina-hina. Lengkap sudah penderitaan mereka.

Keadaan saya tidak sekelam mereka, karena banyak yang mengunjungi saya. Sampai sebulan setelah saya bebas pun, masih ada teman-teman aktifis yang menengok. Tak lama setelah itu, orang tua saya membicarakan rencana pernikahan. Saya terkejut sekali dan spontan saya menolaknya. Saya belum dapat pekerjaan, masak sudah mau nikah? Terus nanti hidupnya gimana? Ngempeng sama orang tua?

Tapi calon suami saya berkata kalau dia sudah punya bengkel. Dia ternyata dulu juga dipenjara, dan tidak hanya dia saja, tapi seluruh keluarganya (bapak, ibu dan saudara-saudaranya) diambil semua. Bapaknya meninggal di Nusakambangan, karena itulah dia membina hubungan baik dengan keluarga saya. Akhirnya, saya juga membina hubungan baik dengan dia, dan mengerti keputusan orang tua. Saya bersedia menikah dengan mantan tapol itu.

Saya tidak mau pesta besar untuk pernikahan, karena ingin uang tersebut digunakan untuk modal hidup. Tapi orang tua saya ingin ada pesta yang cukup besar, kata mereka pada saya: “Ini bukan pesta pernikahan, tapi pesta keluarga besar yang syukuran karena kau masih hidup”. Akhirnya saya nikmati tumpahan kasih keluarga besar saya. Tidak saya sangka, ibu-ibu mantan tapol Plantungan juga hadir. Bahkan mereka banyak yang datang dari kota-kota lain, sedangkan rumah saya hanya di desa. Sungguh luar biasa rasanya: pesta yang sangat mengesankan, walaupun persiapannya serba kilat. Karena saya menikah tanggal 25 November 1978, kurang dari dua bulan setelah saya bebas.

Tanggal 6 Mei 1980, lahirlah anak pertama kami, Gabriella Diana Asti; dan tanggal 5 Mei 1982, lahirlah anak kedua saya, Benny Putranto. Saya putuskan untuk steril setelah anak kedua ini. Sejak kecil, saya sudah terbuka terhadap anak-anak. Mereka tahu siapa ayah dan ibu mereka: para bekas tapol yang dianiaya akibat kekejian Soeharto. Saya ingin anak-anak tahu dengan keadaan ini. Saya tidak mau mereka tahu dari orang lain, dan malah akan memberi dampak psikologis yang tidak baik.

Saya bekerja dengan berjualan sebisanya, saya jualan jamu, minyak tanah dan lain-lain. Saya juga mulai menanamkan jiwa mandiri kepada anak-anak sejak kecil. Mereka saya minta mengantarkan dagangan dan saya beri gaji, untuk membayar kursus bahasa Inggris. Jadi saya bilang: “Kursus itu memakai uang kalian sendiri” untuk memotivasi mereka.

Anak-anak saya sempat juga menyalahkan orang tua mereka, karena kami tidak seperti bulik dan paklik mereka yang punya mobil. “Kok ibu paling melarat dibandingkan saudara-saudara ibu?” Saya beri mereka pengertian dan setelah mereka menonton film Pengkhianatan G30S/PKI, justru saya bisa menjelaskan panjang lebar tentang masa lalu kami. Film itu saya bahas bersama anak-anak saya. Pertama, saya cubit sedikit burung Benny dan dia berteriak. Lalu, saya bilang: “Kalau burungmu dicubit saja, kamu menjerit. Sekarang bayangkan kalau Jendral yang punya senjata itu disileti burungnya oleh Gerwani yang tidak punya apa-apa. Apa mungkin, mereka tidak melawan? Dan apa mungkin kelamin Jendral itu bisa dilepas dan ditaruh di sembarang tempat sehingga ditemukan orang?” Setelah diskusi panjang-lebar ini, anak-anak saya tidak pernah lagi sudi menonton film itu dan mereka tidak pernah menyalahkan PKI lagi.

Mereka malah begitu pengertian kepada keadaan kami. Keduanya sekolah di Kanisius, sekolah Katolik yang memberi kami keringanan, tapi tidak kami ambil karena kami merasa masih banyak keluarga eks-tapol yang keadaannya jauh lebih parah dari kami. Tapi Benny, anak bungsu saya, berkata kalau dia tidak perlu sekolah di Kanisius tapi di sekolah negeri saja yang jauh lebih murah, supaya uangnya bisa ditabung untuk kuliah Dian. Namun Dian justru bilang kalau dia tidak perlu kuliah dan ingin kerja saja supaya Benny bisa kuliah. Saya merasa begitu terberkati dengan anak-anak seperti ini.

Waktu Dian di SMA, dia mendengar kalau banyak sekali temannya yang dilarang untuk berpacaran dengan anak-anak bekas tapol. Teman-teman Dian juga sangat menghina bekas tapol perempuan. Ini membuat Dian bersumpah bahwa dia akan bekerja keras supaya bisa pindah ke Negara lain dan ganti warga Negara, terutama ke tempat yang lebih menghargai perempuan. Memang, dia akhirnya menikah dengan bule dan tinggal di Belanda, tapi dia tetap menjadi warga Negara Indonesia sampai sekarang.

Ketika usaha saya makin lancar, saya mulai melacak teman-teman lama, untuk saya ajak kerja sama dan juga saling menguatkan. Semangat saya untuk terus mencari ibu-ibu bekas tapol tidak pernah padam, karena saya dibakar kemarahan terpendam. Kejatuhan Soeharto membuat saya lebih berani bicara tentang 1965 karena sudah sekian lama merasakan sakitnya menjadi korban. Sungguh saya bahagia bila dari sisa-sisa pembantaian keji itu, ada penerus-penerus seperti mbak Soe Tjen. Saya ingin memelukmu, anakku!

(penulis: Soe Tjen Marching)

This post is also available in: English