Kamis, 12 November 2015 07:14 | Reporter : Ardyan Mohamad
Dalam momen 50 tahun tragedi kemanusiaan yang melibatkan pemberangusan Partai Komunis Indonesia disusul berdirinya rezim Orde Baru, muncul upaya swadaya masyarakat mengungkap fakta sejarah di balik peristiwa sumir itu. Nun jauh di Belanda, sekelompok pegiat lintas negara merancang Pengadilan Rakyat. Sidang ini dihelat di Kota Den Haag, Belanda – diberi tajuk International People’s Tribunal (IPT), berlangsung selama 10 – 14 November.
Tak banyak warga Indonesia masa kini tahu, selepas insiden penculikan enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965, paling tidak 1 juta orang dibunuh di Sumatera, Jawa, Bali, NTT; belasan ribu lainnya ditahan tanpa pengadilan. Ada pemenang sejarah, ada yang dinista. Publik Barat terkejut menyaksikan film dokumenter ‘Jagal’ (2013), ternyata di Indonesia terjadi genosida dan kejahatan politik tak kalah buruk dari ulah Nazi selama Perang Dunia II.
IPT digelar selama empat hari. Seluruh agenda kegiatan bisa disaksikan lewat sambungan internet di situs resmi mereka. Pada sidang pertama kemarin, fakta-fakta soal pembantaian massal 1965 diungkap. Saat berita ini dilansir, sidang fokus membahas penyiksaan tahanan politik terduga komunis dan kekerasan seksual bagi tapol perempuan.
Untuk hari ketiga dan keempat, topik yang dibahas penghilangan paksa terduga komunis dan keterlibatan negara lain dalam pembantaian massal itu. Negara-negara dinilai turut menanggung dosa itu adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pemerintah RI, sebagai salah satu terdakwa, dituntut jaksa atas sembilan poin pelanggaran HAM berat.
“Kenapa kita semua berkumpul di sini? Jawabannya adalah kita ingin memperoleh kebenaran. Bangsa Indonesia ingin mencari kebenaran,” kata Kepala Tim Jaksa, Todung Mulya Lubis.
Sidang rakyat itu memunculkan kehebohan di Tanah Air. Kendati perwakilan pemerintah tidak hadir di Den Haag, Wakil Presiden Jusuf Kalla merasa terganggu dengan agenda para pegiat HAM. Dia memprotes pemerintah Belanda karena memfasilitasi IPT, yang dianggap urusan dalam negeri Indonesia.
Dalam sidang perdana, Perwakilan Jaksa, Uli Parulian Sihombing – pegiat Yayasan Lembaga Hukum Indonesia – membacakan dakwaan sementara dari kesaksikan yang telah dikumpulkan. Para terdakwa adalah pemerintah Indonesia, khususnya Pangkostrad Jenderal Soeharto yang kemudian menjadi presiden; para perwira yang terlibat penculikan serta pembunuhan 6 jenderal; serta perwira dan pimpinan regu ormas paramiliter yang menjadi pelaksana lapangan pembantaian rakyat sipil terduga komunis selama 1965-1966.
Para terdakwa disebut melakukan sembilan pelanggaran HAM berat. Rinciannya, para pelaku terlibat pembunuhan, perbudakan, penahanan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan paksa, penganiayaan dan propaganda, ditambah satu dugaan khusus berkolaborasi dengan negara lain dalam kejahatan kemanusiaan.
IPT bukan pengadilan resmi. Kendati format acaranya mirip sidang – ada hakim, jaksa, dan saksi – tapi forum ini tidak bisa menjatuhkan sanksi hukum apapun kepada tergugat. Tapi data-data yang muncul dalam sidang dijamin valid. Setidaknya pula, pemerintah RI diingatkan pada dosa-dosa di masa lalu yang menolak terus dikubur tanpa penyelesaian.
Ketua Yayasan IPT Nursyahbani Katjasungkana mengatakan yang hadir dalam forum ini adalah sejarawan, penyintas, eksil politik, disokong saksi ahli. Penelitian ilmiah yang jadi rujukan membentang dari 1971 sampai 2014, melibatkan 40 akademisi dari beragam latar dan bangsa.
Para pegiat mencoba lagi menguak sejarah, kendati penelitian Komnas HAM pada 2003 soal pembantaian 1965 ditolak pemerintah RI. Apalagi Presiden Joko Widodo mengklaim mendukung upaya pengungkapan pelanggaran HAM berat di masa lalu selama kampanye pilpres.
“Bila ada yang menyebut ‘case closed’ ini sangat tidak sepaham dengan Nawa Cita Pak Jokowi yang akan mengusut setiap kasus HAM hingga tuntas,” kata Nursyahbani.
Lantas, apa saja dakwaan penting kepada pemerintah RI yang berhasil diungkap dalam sidang IPT sejauh ini? Berikut rangkumannya oleh merdeka.com:
1. Korban paling dizalimi dari tragedi 65 adalah keluarga tapol
Ketua Tim Jaksa Todung Mulya Lubis mengatakan tragedi 1965 bukan sekadar penumpasan simpatisan komunis. Lebih dari itu, jutaan orang yang dizalimi rezim, jejaknya masih teraba di pemerintah Indonesia kiwari.
Keadilan sampai sekarang belum datang bagi mereka yang dicap keluarga tahanan politik, setelah dihajar diskriminasi empat dasawarsa terakhir.
“Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa lebih banyak orang yang tewas secara tragis tanpa terkait partai komunis. Mereka bisa saja cuma teman, saudara, istri, atau anak dari terduga anggota PKI,” urai Todung.
Selain orang tak bersalah ikut dibantai koalisi TNI dan ormas, keluarga tahanan politik mengalami diskriminasi parah. Istri dan anak yang tidak tahu apa-apa turut menderita karena ikut dicap komunis. Di KTP bekas tahanan politik, ada cap Eks-Tapol (ET) membuat seluruh keluarga terduga PKI dipersulit akses ekonominya atau kerap diperlakukan tidak adil di sekolah.
2. Tapol Pulau Buru mengalami perbudakan oleh Kejaksaan RI
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, yang dipanggil sebagai saksi ahli dalam sidang IPT, mengatakan kamp konsentrasi Buru, di Maluku, merupakan pelanggaran HAM paling benderang dari rangkaian insiden selepas 1965.
Sekurang-kurangnya 11.600 orang, baik anggota PKI, simpatisan, atau siapapun yang mencurigakan, dikirim ke pulau terisolir itu dalam periode 1969-1970. Dia sudah meneliti arsip Pulau Buru bersama 14 orang lainnya pada 2003, hasilnya dikirim ke Komnas HAM.
Pembuangan belasan ribu orang ini dipersiapkan Kejaksaan Agung RI sejak dua tahun sebelumnya. Sistem pengelolaan Buru mirip kamp konsentrasi Uni Soviet di era Diktator Joseph Stalin. Beberapa kali tahanan politik dibunuh karena dinilai mencoba kabur. Sebagian mati kelaparan, sebagian lagi meninggal selepas sakit tanpa perawatan karena jumlah dokter sangat sedikit.
Selama di Buru, tapol dilarang membaca buku, menulis, dan dibatasi menerima surat dari keluarga. Tahanan politik diperintahkan tentara bekerja membangun rumah, bercocok tanam, dan kerja kasar lainnya sejak subuh sampai matahari terbenam.
“Beda dengan dipenjara. Mereka dibawa tanpa diadili, tanpa tahu mau ke mana, tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Mereka terisolir dan melakukan kerja paksa dari jam 4 pagi sampai 10 malam,” ungkap Asvi.
3. Tapol tidak pernah diadili, masuk kategori penghilangan paksa
Lewat ikhtisar sidang yang dibagikan situs 1965tribunal.org, Rabu (11/11), ada beberapa saksi hidup peristiwa pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dihadirkan dalam ruang pengadilan rakyat itu.
Salah satunya adalah Basuki Bowo. Dia ditahan di kamp konsentrasi Pulau Buru, Maluku, tanpa alasan. Bowo diciduk tentara pada 13 Oktober 1965, lalu dibawa ke Nusakambangan, berlanjut ke Buru setahun sesudahnya menggunakan kapal laut.
Bowo diangkut ke Buru dengan alasan terlibat pengurusan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Organisasi mahasiswa ini disebut sayap politik PKI. Bowo mengatakan rekan-rekannya sesama mahasiswa yang menjadi anggota Perhipi juga dicokok. Tak pernah ada pemeriksaan apapun sejak malam dia dijemput oleh tentara.
Bowo ditahan 14 tahun tanpa ada remisi, tanpa pengadilan, dan setelah dibebaskan dari Buru pada 1979 masih harus lapor setiap tiga bulan ke koramil terdekat di Jakarta Selatan.
Pengalaman Bowo masuk kategori penghilangan, salah satu poin dakwaan tim jaksa IPT. “Tidak ada keterangan ditahan untuk apa,” kata Bowo saat ditanya hakim.
“Yang kami ketahui saat itu kami termasuk golongan B, artinya tahanan politik dianggap terlibat (G 30 S) tapi tidak terbukti,” imbuhnya.
4. Orba memakai pulau buru buat memenangkan pemilu 1971
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menjelaskan temuan penting yang jarang dibahas selama ini terkait keberadaan Kamp Konsentrasi Buru selepas tragedi 65.
Asvi mengatakan sebagian tapol yang dibuang ke Buru tak ada sangkut pautnya dengan PKI. Beberapa hanyalah mahasiswa atau tokoh masyarakat yang kritis, dikhawatirkan bisa mempengaruhi agenda Orde Baru menjelang pemilu 1971.
“Pemilu di Indonesia akan dilaksanakan pada 1968. Soeharto melihat proses ini. Tinggal beberapa bulan lagi, dia tidak sanggup dan diundur pada 1971. Menjelang 1971, dilakukan pengamanan, di antaranya membuang 10 ribu orang dianggap berbahaya di tengah masyarakat,” ungkap Asvi.
Pada 1971, Golongan Karya – mesin politik Soeharto – menang telak dalam pemilu.
Kamp Konsentrasi Buru akhirnya ditutup pada 1979. Pemerintah Indonesia menyerah pada negara-negara Barat, khususnya kreditur utang luar negeri, yang menilai pembuangan tapol itu sangat tidak manusiawi.
Sumber: Merdeka.Com
This post is also available in: English