Oleh : ika krismantari
Tahun 1965. Lama saya mengenangnya sebagai tahun yang menyeramkan sekaligus mengerikan; tahun terjadinya G-30-S (Gerakan 30 September), di mana enam jenderal terbunuh, diseret dari rumahnya oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dan dibuang di sumur bekas di Lubang Buaya.
Gambaran ini saya dapat dari sebuah film yang diputar setiap tahunnya oleh pemerintah Orde Baru setiap 30 September untuk mengingat peristiwa penculikan tersebut. Bersama jutaan anak sekolah dasar lainnya, saya meyakini PKI adalah kumpulan orang-orang biadab dan Suharto, presiden pada masa orde baru yang memimpin gerakan pemberantasan PKI, adalah seorang pahlawan.
Selain film, saya tahu tentang apa yang terjadi pada tahun 1965 lewat buku-buku sejarah yang merayakan Suharto sebagai pemberantas PKI. Tidak heran jika saya memahami peristiwa 1965 sebagai kejadian di masa lalu yang hanya saya jumpai dalam lembaran-lembaran buku dan layar televisi.
Pemahaman saya berubah beberapa tahun belakangan. Setelah Suharto lengser, arus informasi yang tidak dapat dibendung memungkinkan saya tahu bahwa ada fakta lain yang tidak diungkap mengenai apa yang terjadi di tahun 1965. Sekarang saya tahu ratusan ribu orang terbunuh di tahun itu dan ratusan ribu lainnya dipenjara dan diasingkan tanpa proses hukum karena keterlibatan mereka dengan PKI. Meski demikian, tidak pernah terlintas sekalipun bahwa peristiwa tersebut juga berdampak pada keluarga saya sendiri. Sayang, saya baru mengetahuinya 50 tahun kemudian.
Tahun 2015. Dalam sebuah perjalanan keluar kota, saya iseng bertanya kepada ayah saya yang sedang menyetir, “Adakah ada anggota keluarga kami yang menjadi korban di tahun 1965?”. Dengan santai, ia mengungkapkan bahwa ayahnya, kakek saya adalah salah satu korban. Kakek saya, Sukadi, dipenjara di Ambarawa, Jawa Tengah selama 10 tahun karena dituduh terlibat PKI.
Di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, ayah saya membeberkan apa yang terjadi. Ayahnya ditangkap karena dua alasan. Pertama, dia dituduh mempersenjatai petani. Padahal, kakek saya yang senang berburu di luar kota itu menitipkan senjata kepada petani setempat karena dia hendak bepergian sebentar. Kedua, kakek saya dianggap bersengkokol dengan PKI karena dia membantu budek saya yang kebetulan anggota Gerwani (organisasi perempuan yang terafiliasi dengan PKI) melarikan diri ke Jakarta.
Setelah itu, kakek saya ditahan di Ambarawa selama 10 tahun. Ia harus meninggalkan keluarganya, seorang istri dan tujuh orang anak. Hilangnya satu-satunya pencari nafkah keluarga merupakan pukulan besar bagi keluarga ayah saya.
Nenek saya bercerita bagaimana peristiwa penangkapan suaminya membekas di ingatannya. Pada hari kakek ditangkap, ia pamit bekerja namun hingga sore hari tidak juga pulang. Ketika disusul, barulah nenek saya mengetahui bahwa suaminya sudah dikirim ke Ambarawa untuk ditahan.
Nenek saya harus membanting tulang menghidupi keluarga dan menyekolahi anak-anaknya. Karena kewalahan, nenek akhirnya meminta keluarga besar untuk mengadopsi anak-anaknya. Sebuah keputusan yang tidak mudah baginya, namun ia tak punya pilihan lain.
Selama bertahun-tahun, keluarga ayah saya tercerai-berai hingga akhirnya kakek saya dibebaskan di tahun 1975. Namun, hanya setahun setelah berkumpul kembali dengan keluarga, beliau harus meninggalkan mereka lagi. Kali ini untuk selamanya. Setelah bebas dari penjara di tahun 1975, kakek saya meninggal di tahun 1976.
Ketika pertama kali mendengar cerita ini, saya sangat kaget dan juga terpukul. Kenapa baru 50 tahun kemudian saya mengetahui kisah keluarga ini?
Pada akhirnya saya sadar, ada kisah-kisah lain yang selama ini tidak terungkap selain cerita yang dituturkan pemerintah Orde Baru.
Selain 6 jendral yang terbunuh, ada ratusan ribu orang lainnya yang menjadi korban dalam peristiwa 1965. Mereka dibantai. Mereka dibuang. Mereka diasingkan. Mereka berpisah dari keluarga dan orang-orang yang dicintai.
Saya tidak pernah menyangka bahwa keluarga saya salah satu korbannya. Kakek, nenek dan ayah saya termasuk orang-orang yang menderita akibat ketidakadilan yang terjadi di tahun itu.
Peristiwa bersejarah di tahun 1965 yang selama ini saya anggap asing dan berjarak dengan kehidupan saya, menjadi begitu dekat. Di tahun 2015, tahun 1965 tidak lagi sama buat saya.
Cerita ini juga terbit dalam versi bahasa Inggris di The Jakarta Post. Hal yang berubah adalah jumlah tahun almarhum kakek saya dipenjara. Ternyata bukan 11 tahun, tetapi 10 tahun.
ika krismantari, adalah Redaktur Pelaksana INGAT65
This post is also available in: Indonesian