Reporter: Rio Apinino | 18 Oktober, 2017
Kabel diplomatik AS menyingkap berita harian Angkatan Bersendjata soal Mao Zedong terlibat penculikan jenderal ternyata fiktif belaka.
25 April 1966, koran resmi tentara, Angkatan Bersendjata, menerbitkan sebuah artikel yang berisi tuduhan terhadap Partai Komunis Cina (PKC) dan Mao Zedong. Artikel ini menuduh Mao terlibat dalam gerakan penculikan dan pembunuhan elit tentara pada 1 Oktober 1965. Elit tentara yang dinamakan Dewan Jenderal ini diisukan akan mengkudeta Sukarno.
Artikel ini memang hanya satu dari sekian banyak laporan serupa. Namun ia jadi menarik karena jadi artikel pertama yang menuduh Cina dan Mao terlibat.
Paragraf pertama artikel itu dibuka oleh kalimat bombastis, “Berdasarkan fakta, sekarang bisa disebutkan bahwa kudeta Gestapu/PKI direkayasa dan diatur di Peking dalam kerangka revolusi dunia yang disokong oleh Peking.” Dikatakan bahwa kudeta tersebut adalah “langkah awal untuk merealisasikan mimpi Mao”. Selanjutnya, artikel ini membahas mengapa kesimpulan itu bisa muncul.
Menurut artikel tersebut, rencana kudeta dimulai ketika Aidit datang ke Cina selama delapan hari pada Agustus 1965. Dan selama itu, tulis artikel tersebut, Aidit tiga kali bicara dengan Mao. Dalam salah satu pertemuan, Mao bilang, “Menurut pengamatan saya, mengeliminir semua jenderal senior seperti Nasution dan Yani… akan membuat tentara seperti naga tanpa kepala.”
Aidit ragu dengan usul itu. Dia membalas pernyataan Mao dengan mengatakan bahwa untuk mengeliminir semua tentara reaksioner, artinya juga harus membantai ratusan tentara lain yang loyal kepada mereka.
Mao meyakinkan Aidit bahwa langkah tersebut tidak jadi soal. Mao menjelaskan dalam konteks memenangkan komunisme di suatu negara, pembunuhan terhadap elemen reaksioner dibutuhkan. Mao menguatkan argumennya dengan bilang bahwa dirinya sendiri pernah melakukan hal serupa. Bahkan dengan jumlah yang lebih besar: 20 ribu.
Artikel itu menggambarkan Mao bicara soal pembunuhan dengan sangat enteng, sambil tertawa tanpa henti.
“Meski kamu tidak punya kesempatan membantai 20 ribu orang, kamu setidaknya harus membunuh semua jenderal reaksioner, dan itu harus dilakukan dengan mengesankan. Niatnya bukan hanya balas dendam, tapi juga untuk meneror mereka yang masih hidup, sehingga tidak berani menentang komunisme,” kata Mao, masih sambil tertawa.
Untuk lebih meyakinkan Aidit menjalankan strategi kotor tersebut, Mao berjanji untuk menyokong penculikan dengan memberikan bantuan sangat besar: peralatan militer yang cukup untuk 30 ribu orang.
Artikel ini menjadi landasan tentara menjustifikasi pembantaian dan pemenjaraan terhadap etnis Tionghoa. Masyarakat juga tersulut, terbukti dengan banyaknya pembantaian terhadap etnis minoritas tersebut yang dilakukan sipil di berbagai daerah.
Misteri terbesar artikel yang mirip seperti naskah teater itu adalah narasumbernya. Sejarawan Victor M. Fic, misalnya, dalam catatan kaki di buku Jakarta Coup: October 1, 1965 (2004), mengatakan bahwa artikel itu bersumber dari “seseorang yang tidak mau diketahui namanya.. kemungkinan besar merupakan sumber militer”.
Narasumber tentara itu tidak juga diketahui sampai kemudian Pusat Deklasifikasi Nasional (NDC) Amerika Serikat (AS) membuka arsip rahasia yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar AS untuk Indonesia, Selasa (17/10) kemarin.
Alih-alih menginformasikan soal siapa sang narasumber, satu dari 39 arsip yang dideklasifikasi tersebut malah menyebutkan bahwa laporan tentara yang diberi judul “Abortive communist coup planned and arranged by the Peking regime as part of its concept of world revolution” itu sebagai hoax.
Dalam telegram 222 dari American Consul General Hong Kong ke American Embassy Jakarta, tertanggal 27 April 1966, disebutkan bahwa artikel Angkatan Bersendjata itu isinya sebagian besar hanyalah reproduksi (nyaris copy-paste) dari artikel yang pernah muncul dalam terbitan berbahasa Tiongkok yang berbasis di Hong Kong pada 16 Desember 1965.
Artikel itu ternyata tidak pernah dibuat sebagai analisis serius terhadap kondisi Indonesia, lebih-lebih soal keterlibatan Mao. Dikatakan hoax karena artikel tersebut sumbernya adalah igauan seseorang untuk tujuan mendiskreditkan PKC. Bisa jadi dia simpatisan Kuomintang yang memang bersitegang dengan PKC.
“(Tulisan yang jadi sumber Tentara Indonesia menuduh Mao) adalah bagian dari seri fiktif yang secara tegas ditulis untuk menertawakan rezim Peking. Semua hal tersebut adalah produk imajinasi si penulis,” tulis artikel tersebut.
Taomo Zhou, dalam paper berjudul China and the Thirtieth of September Movement (2014) juga menyangkal artikel di Angkatan Bersendjata ini. Dengan bersumber arsip kementerian luar negeri RRC, Zhou mengatakan bahwa meski memang ada bantuan ribuan senjata ke Indonesia dalam periode itu, namun itu lebih sebagai upaya pelemahan kekuatan Barat di Asia Tenggara dan Pasifik.
Pada saat itu, komunikasi poros Jakarta-Peking memang sangat intens. Dalam rangka hubungan itu, beberapa pejabat militer dan sipil Indonesia mengunjungi Cina. Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Subandrio sendiri yang berangkat ke Negeri Tirai Bambu.
Dalam kunjungan pada awal 1965, Perdana Menteri Cina, Zhou En Lai menawarkan bantuan 100.000 senjata ringan kepada Indonesia. Kalau dibandingkan Uni Soviet, bantuan militer Cina dalam kurun waktu 1960 sampai September 1965 jauh lebih kecil. Dan Soviet sama sekali tidak dikaitkan dengan penculikan.
Omar Dhani, Kepala Angkatan Udara Indonesia, pergi ke Cina pada 16 September 1965 untuk menindaklanjuti janji Zhou soal pasokan senjata. Para pemimpin Cina bisa saja menyetujui permohonan AURI untuk membawa 25.000 pucuk itu. “Akan tetapi karena terbatasnya ruang-waktu dan kesempatan antara kunjungan Omar Dani dan meletusnya G30S, secara logistik sangat sukar bagi AURI untuk mengatur dan menerima pengiriman senjata-senjata itu,” tulis Taomo Zhou dalam “Tiongkok dan G30S” di buku G30S dan Asia: Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin.
Selain itu, janji senjata dari Zhou itu butuh proses perakitan dan pengepakan. Belum lagi pengiriman. Jika harus dikirimkan sekitar 25.000 senjata sebelum 30 September 1965, hal itu tidak mungkin. Senjata-senjata yang dipakai milisi dalam G30S di sekitar Pangkalan Halim sangat minim. Jadi Taomo berpendapat, besar kemungkinan senjata-senjata itu belum sampai ke Indonesia ketika G30S meletus.
Sumber: Tirto.Id
This post is also available in: Indonesian