Reporter: Fahri Salam | 18 Oktober, 2017

 

Arsip kabel diplomat AS ini menggambarkan pandangan berharga atas situasi Indonesia selama pembantaian massal.

Antara 500.00 hingga 1 juta orang terbunuh selama 1965-1967

 

Tiga puluh sembilan dokumen kabel diplomatik dari Kedubes Amerika di Jakarta, yang dirilis kemarin oleh Arsip Keamanan Nasional dari George Washington University, menjelaskan pengetahuan para diplomat di Jakarta tentang Peristiwa 1965 dan setelahnya secara terperinci, dari hari ke hari.

Arsip rahasia yang dibuka sesudah 52 tahun peristiwa “Gerakan 30 September” ini mengurai bagaimana Kedubes AS mengamati dengan detail kurun paling berdarah dalam sejarah politik Indonesia tersebut.

Ada beberapa poin dari kisah penghancuran gerakan kiri Indonesia tersebut: keterlibatan Angkatan Darat dalam pembunuhan massal, konsolidasi kekuatan politik dan ekonomi untuk membentuk “Orde Baru”, dan peran sejumlah nama—termasuk Soeharto yang menggantikan Sukarno—dalam suksesi pemerintahan pasca-G30S 1965.

Norman Hannah, misalnya. Penasihat politik Panglima Komando Pasifik AS (CINCPAC) ini mengirim surat kepada Marshall Green, Dubes AS di Jakarta, soal bagaimana CINCPAC dan AS harus merespons “kemungkinan yang masuk akal bahwa Angkatan Darat Indonesia meminta bantuan kita melawan pemberontakan PKI” sebulan setelah Gerakan 30 September.

Bantuan macam ini, katanya dengan nada spekulatif, “bisa saja apa pun, dari operasi rahasia hingga bantuan dalam banyak hal, termasuk transportasi, uang, peralatan komunikasi, atau persenjataan.” Seminggu kemudian, Green akan meminta pemerintahan Lyndon B. Johnson untuk “mengetahui kemungkinan bantuan jangka pendek yang sifatnya rahasia dan tak bisa dikenali”—sebuah isyarat dukungan AS terhadap Angkatan Darat.

 

Soeharto Mendukung Pembunuhan Massal

Dalam salah satu dokumen bertanggal 20 November 1965, dari ringkasan mingguan yang dihimpun oleh Sekretaris Pertama Kedubes AS, Mary Louise Trent, disebutkan “serangkaian pertemuan dengan para pemimpin mahasiswa, Jenderal AH Nasution—saat itu Menteri Pertahanan—mengungkapkan tekadnya untuk terus melancarkan kampanye merepresi PKI.”

“Represi terhadap simpatisan PKI ini sudah mencapai level pembunuhan massal di beberapa provinsi di Indonesia, yang rupanya berdasarkan perintah Jenderal Soeharto, setidaknya di Jawa Tengah,” tulis Rent. “Baik di provinsi tersebut dan di Djakarta, represi atas PKI terus digencarkan.” 

Karena saking banyaknya jumlah simpatisan komunis yang ditahan, ada masalah utama: kapan mereka diberi makan dan di mana rumah yang akan dijadikan sebagai tahanan.

“Kejadian di provinsi-provinsi lain Indonesia berhasil mengatasi masalah tersebut dengan mengeksekusi mati para tahanan atau membunuh mereka sebelum ditangkap,” tulis dokumen tersebut.

Skala Pembantaian dalam Dokumen

Setidaknya nama Medan, Solo dan Kudus (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur), Makassar, Bali, dan NTT disebut sebagai situs pembunuhan massal, terutama setelah Resimen Para Komando AD hadir di daerah-daerah tersebut dan memobilisasi pembantaian.

Pegawai konsulat AS di Surabaya melaporkan “kami terus menerima laporan orang-orang PKI dibantai di sejumlah daerah di Jawa Timur.” 

Seorang misionaris yang kembali dari Kediri pada 21 November 1965 mendengar pembantaian besar-besaran di Tulungagung, yang dilaporkan sekitar “15.000 orang” terbunuh. Meski agak berlebihan, tulis dokumen ini, laporan konsulat itu menyatakan “pembantaian besar-besaran” memanglah terjadi.

Belakangan, meski ada laporan pembantaian sudah berhenti di Jawa Timur, arsip lain bilang pembantaian terus berlangsung. Metode pembantaian juga diubah, dari dilempar ke sungai jadi dikubur di luar daerah atau desa.

Kepala polisi daerah Jawa Timur bahkan mengatakan “sangat sulit menyetop pembunuhan”.

Laporan lain, yang ditulis Direktur Intelijen Angkatan Udara Indonesia, memberi pandangan yang agak jarang terhadap laporan internal Angkatan Darat di balik gerakan 30 September. Laporan ini menerangkan kegiatan RPKAD di sekitar Surakarta, terutama di Solo, yang diperlakukan sebagai “zona perang” oleh Angkatan Darat karena tingginya popularitas PKI di sana.

Sebagian pasukan RPKAD yang sebelumnya dikerahkan untuk kampanye Konfrontasi dengan Malaysia lantas dipakai untuk membantu serangan meluas terhadap PKI.

Dokumen lain pada 21 Desember 1965 menyebutkan, “sedikitnya 100.000 orang terbunuh, termasuk 10.000 orang di Bali, dalam kampanye anti-PKI yang digerakkan tentara.”

“Pembunuhan di Bali dimulai pada awal Desember ketika RPKAD dan unit Brawijaya, yang dikomandani Sarwo Edhie Wibowo tiba. Pembunuhan terus berlanjut hingga beberapa bulan kemudian, menyebabkan sekitar 80.000 orang terbunuh.” 

Laporan pada 3 Agustus 1966 menyebutkan soal pembantaian di Nusa Tenggara Timur. “Pada Januari atau Februari, Detasemen Angkatan Darat datang ke Rote dan mengeksekusi pemimpin PKI setempat serta seorang kader partai dari Jakarta bernama Sukirno.” 

Cerita ini berdasarkan pengamatan antropolog AS, James Fox, dan istrinya yang menghubungi Kedutaan untuk mengisahkan peristiwa itu ketika mereka tinggal di sana selama kurun pembunuhan.

“Tentara kembali pada pertengahan Maret dan mengeksekusi antara 40 dan 50 orang Rote serta 30 orang komunis lain dari Pulau Sawu [sebelah barat Pulau Rote],” ujar Fox. Ia meyakini antara 800-1.000 orang yang dituduh komunis telah dieksekusi oleh tentara di NTT.

 

Gelombang Represi Anti-Cina

Telegram dari Duta Besar AS Marshall Green meringkas situasi politik dan keamanan di Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, menyusul represi yang ditopang Angkatan Darat, termasuk terhadap penduduk Cina.

Menurut Green—mengutip pemuka Protestan di Sulawesi, “90 persen ruko Cina di Makassar dirazia dan isinya dihancurkan dalam kerusuhan 10 November 1965 yang dilaporkan melibatkan semua penduduk.” 

Laporan mingguan Kedubes mencatat, di Jawa saja, ada lebih dari 34 ribu anggota PKI ditangkap. Sementara anggota Politbiro partai tersebut selain ditangkap juga dieksekusi mati.

“Komandan militer regional akan mengambil alih semua penggilingan padi dan perusahaan tekstil yang dimiliki anggota Baperki,” tulis laporan tersebut. Baperki adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia dengan tokohnya yang terkenal adalah Siauw Giok Tjhan dan Yap Thiam Hien. Baperki, yang mempromosikan politik “integrasi”, merapat pada Sukarno dan PKI, sehingga termasuk target anti-PKI dalam kampanye pembersihan 65.

Dalam dokumen yang bernilai luar biasa, Sekretaris Pertama Kedubes AS, Mary Louise Trent, melaporkan soal nasib para pemuka PKI di tengah puncak pembunuhan massal, menunjukkan pengetahuannya yang mendalam atas operasi Angkatan Darat menangkap atau membunuh para pemimpin PKI.

Medan: Penghancuran Serikat Buruh

Kedubes AS Marshall Green menggambarkan upaya Angkatan Darat melarang Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan PKI, dan rencana melengserkan Menteri Perburuhan Sutomo alias Bung Tomo.

Memo ini membahas dilema AD dan AS mengatasi Bung Tomo, yang kurang kooperatif dengan AD untuk menyerang SOBSI.  “Mustahil” SOBSI mengetahui atau terlibat Gerakan 30 September, menurut Green, tetapi AD bilang mungkin saja SOBSI adalah “kekuatan politik independen” dan karena itu mengancam rencana konsolidasi kekuasaan.

Pada awal November 1965, Green menggambarkan kondisi di Sumatera Utara, salah satu lokasi pembantaian terburuk setelah Oktober, dan upaya Angkatan Darat menghancurkan Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang berafiliasi dengan PKI.

“Dilaporkan 600 komunis telah ditahan dan penangkapan terus berjalan, termasuk  semua pemimpin buruh PERBUM serta para pemimpin SOBSI di Shell dan Stanvac,” tulis Green.

Dua dari tiga perusahaan minyak asing terbesar di Indonesia itu sedang bernegosiasi menyelesaikan penyerahan kepemilikan kapasitas kilang minyak lokal ke pemerintah Indonesia—rencana yang kelak batal pada tahun itu juga karena tekanan para pejabat AS.

Arsip Rahasia AS: Soeharto Tahu Pembantaian 65

 

Kebingungan dan Pendapat Diplomat Polandia yang Berbeda

Apa yang bisa menggambarkan kebingungan para kader PKI terangkum dalam kabel diplomatik antara pengamat “Barat” dan aktivis PKI di Jakarta dan Jawa Tengah, termasuk di Yogyakarta.

Dokumen bertanggal 20 November 1965 ini menjelaskan bahwa dari “sumber wartawan Australia yang bisa dipercaya,” yang baru kembali dari Jawa Tengah, “sumber orang PKI yang dia wawancara … kebingungan luar biasa” atas peristiwa 30 September. Seorang kader PKI mengatakan ia bingung setengah mati dan tak tahu apa pun soal gerakan tersebut.

Kawat diplomatik juga menyarankan pejabat AS harus menyadari bahwa orang-orang yang ditangkap atau dibunuh—mereka yang diduga anggota dan simpatisan PKI—dalam kampanye pembantaian massal, tidak punya peran apa pun atau bahkan sama sekali tidak tahu Gerakan 30 September. Kendati menyarankan semacam kehati-hatian, AS sendiri mulai menawari dukungan penting secara rahasia atas kampanye pembunuhan tersebut.

Hal menarik lain adalah pandangan yang diberikan Sekretaris Pertama Kedubes Polandia, Andrzej Gradziuk, dalam satu pertemuan dengan staf Kedubes AS. Pendapatnya sama sekali berbeda dari kesimpulan banyak orang.

Gradziuk mengatakan bahwa Gerakan 30 September dilancarkan oleh Angkatan Darat sendiri. Ia mengatakan ide gerakan ini di luar PKI, dan diniatkan sebagai “operasi antar-pemerintahan untuk menjungkalkan segelintir perwira tinggi”. Tak ada niat buat membunuh jenderal-jenderal itu, ujar Gradziuk.

“Mengapa PKI diam saja menghadapi represi Angkatan Darat bila mereka secara partai dituduh terlibat?” ujar Gradziuk, penasaran.

 

Konsolidasi Politik Tentara dan Suksesi

Selain laporan soal situasi Sumatera tempat Angkatan Darat mengontrol penuh menyusul pembantaian massal, bahkan mengerahkan regu Hansip di setiap desa di bawah garis komando AD, laporan lain menyebut beberapa perwira AD juga meminta perusahaan asing membantu penggulingan Sukarno melalui jalur ekonomi.

Laporan lain juga menjelaskan praktik pengawasan terhadap para pegawai negeri sipil yang ditanya bermacam hal, termasuk melaporkan afiliasi politiknya, demi mencari kesalahan sebelum peristiwa 30 September 1965. Otoritas juga meminta loyalitas PNS terhadap kampanye anti-G30S.

Pada Juli 1967, AS mulai menilai rezim baru dan harus mendukung “elemen modern” dalam rezim Orde Baru.

Sumber: Tirto.Id

This post is also available in: Indonesian