asvi-warman-adam

Negara bertanggung jawab untuk menyelesaikan lima aspek yang menjadi dampak tragedi 65. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Marwan Adam menyatakan, satu dari lima aspek itu memang sudah terlesaikan, tetapi masih ada empat lainnya yang masih menunggu diselesaikan pemerintah.

“Bagi saya, kasus 65 ini paling tidak menyangkut lima aspek, lima yang harus diselesaikan satu per satu. Jadi yang pertama itu pembunuhan terhadap enam jenderal dan beberapa perwira. Yang satu ini kan sudah diselesaikan. Pembantaian massal, masih di Kejaksaan Agung. Yang minta maaf, cuma terhadap mereka yang dicabut kewarganegaraannya. Yang keempat, Pulau Buru, seharusnya diadili. Yang kelima, peraturan-peraturan itu dicabut,” kata Asvi kepada KBR, Kamis (19/05/16).

Asvi menjelaskan, aspek pertama yakni pembunuhan enam jenderal dan beberapa perwiranya pada 1 Oktober 1965. Dia berujar, kasus itu sudah diselesaikan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Selain itu, Asvi merinci, ada 36 kasus yg diadili di Mahmilub, sedangkan ratusan kasus lainnya disidangkan di pengadilan pidana subversi dan Mahkamah Militer Tinggi dalam kurun 1965-1970an. Sehingga, pembunuhan enam jenderal dan beberapa perwira itu sudah selesai secara hukum

Aspek kedua yakni pembantaian yang terjadi sejak 1 Okrober 1965. Asvi mengatakan, pembantaian itu setidaknya menelan 500 ribu korban, dan belum diselesaikan hingga sekarang. Padahal, kata dia, kasus pembantaian itu sudah diproses Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Namun, kasus itu mentok dan belum dituntaskan hingga sekarang. Kata Asvi, soal pembantaian ini negara tidak perlu meminta maaf, melainkan cukup menyelesaikan kasusnya secara hukum.

Ketiga, pencabutan kewarganegaraan terhadap ribuan orang Indonesia yang berada di luar negeri pada 1965. Asvi mengatakan, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri atau mahasiswa ikatan dinas (Mahid). Sehingga, mereka yang kehilangan kewarganegaraan mencari suaka ke negara lain, dan sekarang kebanyakan sudah menjadi warga negara asing.

Asvi mengatakan, mereka hanya menginginkan pernyataan maaf dari negara karena telah menyakiti hati mereka dengan mencabut status kewarganegaraan. Pasalnya, kata dia, apabila ditawari kembali ke Indonesia, kebanyakan dari mereka juga tidak mau karena sudah mendapat kehidupan yang layak di negeri orang, seperti jaminan sosial dan kesehatan.

Keempat, penyelesaian kasus Pulau Buru pada 1969 hingga 1979. Asvi mengatakan, ada lebih dari 10 ribu orang yang dibuang ke pulau itu, tanpa proses peradilan terlebih dahulu. Di pulau itu, mereka disiksa dan dipaksa bekerja. Asvi berujar, kasus Pulau Buru akan mudah diselesaikan karena lokasi, waktu, korban, dan pelakunya sangat konkret dan gampang dibuktikan. Bahkan, kata dia, beberapa dari mereka masih hidup. Pelaku yang dimaksud Asvi adalah Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkamtib) sampai komandan di lapangan. Pelaku itulah yang kata Asvi harus diadili di pengadilan ad hoc.

Adapun aspek kelima adalah soal stigma dan diskrimininasi. Kata Asvi, penyelesaian ini diberikan kepada korban tragedi 1965 dan keluarganya. Asvi mencontohkan stigma dan diskriminasi itu adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri tahun 1981 tentang pelarangan orang yang terlibat dalam G30S dan keluarganya menjadi pegawai negeri sipil dan tentara. Menurut Asvi, itu adalah pemberian stigma yang menyebabkan korban diperlakukan berbeda dengan warga negara lain. Kata Asvi, peraturan diskriminatif itu masih ada hingga sekarang, sehingga harus dicabut.

Kemarin, Ketua Panitia Pengarah Simposium 65 Agus Widjojo menyerahkan rekomendasi penyelesaian tragedi 65 kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan. Rekomendasi itu memuat beberapa poin yang secara garis besar mendorong rekonsiliasi. Besok, Luhut akan memberikan tanggapan ihwal rekomendasi simposium itu. 

Sumber : KBR

This post is also available in: Indonesian