Bachtiar Siagian

Kita tak pernah tahu seperti apa tradisi realisme sosialis dalam film Indonesia, sebagaimana dalam sastra atau lukisan.

Bachtiar Siagian adalah sutradara Indonesia dan seniman Lekra yang paling misterius. Karyanya sebagai sutradara film barangkali tinggal kepingan ingatan beberapa orang Indonesia sezamannya yang masih hdiup. Pasca-peristiwa G30S,  tentara membumihanguskan karya-karyanya, bersama film-film bikinan seniman Lekra lainnya seperti Bachtiar Effendy dan Kotot Sukardi. Bachtiar sendiri dipenjara tanpa diadili di Pulau Buru. Ia baru dibebaskan di akhir 1970-an, setelah nasib para tapol Buru mendapat perhatian dari dunia internasional.

Selepas Orde Baru, karya-karya pegiat Lekra, kita tahu, kembali hadir di khalayak ramai. Buku-buku yang dulu dilarang, kini leluasa diterbitkan ulang dan menjadi bagian dari boom singkat literatur sayap kiri pasca-1998. Roman-roman Pram dibaca tanpa harus sembunyi-sembunyi. Lagu-lagu seperti Genjer-Genjer atau Oentoek Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno -nya Lilis Suryani sempat mampir di telinga anak muda. Namun Bachtiar tak seberuntung rekan-rekannya. Yang dimusnahkan tentara bukanlah DVD, VCD, VHS, Betamax, atau media portabel lain yang bisa diakses secara rumahan, karena memang belum ada di jaman itu—Anda pun dijamin takkan bisa menemukan film-filmnya di torrent . Dengan menghancurkan lusinan gulungan seluloid—yang tak gampang digandakan layaknya cerpen yang ditulis di atas kertas atau lagu yang direkam di pita magnetik—Angkatan Darat membabat habis warisan Kiri dalam sinema Indonesia. Kabarnya, Sinematek masih menyimpan satu atau dua judul, dengan kondisi yang tentu saja memprihatinkan.

Dampaknya luas. Kita tak pernah tahu seperti apa tradisi realisme sosialis dalam film Indonesia, sebagaimana dalam sastra atau lukisan. Ketika tahun lalu orang ramai membicarakan restorasi film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, yang dalam sejarah sinema Indonesia sering disebut-sebut sebagai rival Bachtiar, tak satupun bandingannya bisa dimunculkan. Jauh-jauh hari, Krishna Sen, sarjana kajian media asal Australia, mengulas Bachtiar dalam salah satu bab disertasinya tentang film Indonesia (diterbitkan  tahun 1994 dengan judul Indonesia Cinema: Framing the New Order ).

Sen membandingkan kedua maestro, lantas membela posisi Bachtiar. Namun, analisis Sen mengandung keterbatasan, jika bukan persoalan yang sangat mendasar. Pasalnya,  film-film Usmar Ismail dibandingkan dengan materi  pra-produksi film-film Bachtiar (skenario) serta sumber sekunder lainnya seperti ulasan di media cetak. Ketika dipresentasikan di Jakarta tahun 1980an, Misbach Yusa Biran, karib Usmar sekaligus pendiri Sinematek Indonesia yang dulu berseberangan dengan Bachtiar, menilai disertasi Sen tak memenuhi standar akademis.[1]  Klaim yang berlebihan memang; seolah-olah kelemahan 1 bab membatalkan keseluruhan isi  disertasi. Namun dalam ketiadaan sumber-sumber utama, Misbach—di luar afiliasinya di masa lalu—juga tak sepenuhnya keliru.

Ada baiknya kita menilik kembali apa yang dikatakan Sen dalam karya ilmiahnya. Realisme Usmar adalah realisme psikologis.[2] Konflik-konflik protagonisnya lebih bersifat batiniah. Iskandar, tokoh utama Lewat Djam Malam misalnya , adalah seorang veteran dengan pandangan dunia yang pesimis dan fatalis, yang nasibnya berakhir dalam kematian. Ia merasa bersalah telah mengeksekusi keluarga yang dicap pengkhianat di jaman Revolusi Fisik. Ia juga kecewa lantaran menemukan kawan-kawan seperjuangannya kini kaya dari korupsi, termasuk si kolonel yang memerintahkan eksekusi tersebut. Ia pun tak betah dengan lingkaran pergaulan calon istrinya yang sibuk dengan dansa-dansi dan pulang pagi (untuk mengakali jam malam, tentunya).

Penyesalan semakin bertambah setelah Iskandar menembak mati sang kolonel, hingga akhirnya kalut tak tentu arah dan tertabrak mobil patroli tentara (yang lagi-lagi teman-temannya sendiri!). Iskandar, bekas mahasiswa teknik yang terpanggil untuk memanggul senjata; kekecewaan pasca-revolusi;  korupsi dan kemewahan duniawi—kritik sosial Lewat Djam Malam nampaknya lebih pas dengan aspirasi kelas menengah Indonesia jaman kita yang gencar mengecam korupsi dan—belakangan setelah mapan—punya impian hidup asketis-spiritual ketimur-timuran.

Berkebalikan dengan Usmar, realisme Bachtiar lebih optimis dan tidak berasyik-masyuk dengan urusan kedirian. Orang boleh mengira-ngira apakah ‘optimis’ di sini berarti mewakili Realisme Sosialis a la Zhdanov yang sering jadi bulan-bulanan intelektual kanan sekaligus kiri anti-Stalinis. Mungkin iya, mungkin tidak. Toh, kebenarannya sulit dibuktikan (kalau pun iya, ada masalah?) Namun setidaknya dari skenario, veteran Johan, protagonis dalam Corak Dunia , film Bachtiar yang dirilis tahun 1955 (setahun setelah Lewat Djam Malam ), tak tenggelam dalam fatalisme Iskandar.[1] Johan sempat terjun ke dunia bandit begitu perang usai, namun segera ‘kembali ke jalan yang lurus’ setelah bertemu seorang perempuan tua, lalu jatuh hati pada putrinya yang buta. Dengan bantuan rekan seperjuangan Johan yang kini bekerja sebagai dokter bedah mata,  sang gadis  kembali melihat dunia. Apa lacur, ia bergidik menyaksikan wajah Johan yang penuh bekas luka. Johan pun segera menarik diri dan merenung. Tapi dasarnya tak punya urat galau, perenungan Johan berujung pada kesimpulan progresif-revolusioner: luka di wajahnya diakibatkan oleh perang, yang jika ditarik lebih jauh lagi adalah produk imperialisme. Dasarnya pula bukan anak priyayi, Johan tidak pergi ke klinik bedah plastik, melainkan mengorganisir kawan-kawannya sesama veteran dalam gerakan pasifis—dan akhirul kalam, mengikuti formula film-film romantis, bersatu kembali dengan sang nona. Maka, jika bagi Usmar Revolusi Fisik berakhir di jalan buntu; bagi Bachtiar, ia sekadar  Revolusi Permanen yang baru saja dimulai.

Jumlah film yang dihasilkan orang Lekra terbilang sedikit, jika dibandingkan dengan produksi di ranah lainnya seperti sastra atau sandiwara panggung. Kiprah Lekra dalam film lebih diingat lantaran keterlibatannya dalam Papfias (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika), di mana Bachtiar aktif, guna merespon Masalah Abadi Perfilman Indonesia, yakni bioskop nasional yang didominasi film impor Hollywood beserta konsekuensinya: penganaktirian film lokal yang sampai sekarang tetap jadi tontonan kelas kambing di jaringan bioskop 21. Ironisnya, langkah ini dituduh lawan-lawan Papfias sebagai siasat memasukkan film-film dari negara komunis—sebelas-duabelas dengan  aksi mogok buruh belakangan ini yang dituding telah disetir ‘antek asing’ oleh Apindo.

Beberapa skenario film Bachtiar, termasuk Corak Dunia , masih tersimpan di perpustakaan Sinematek.  kondisi Mengingat kondisi Sinematek yang kapiran, lebih baik Anda cepat-cepat saja ke sana sebelum dimakan rayap atau ditilep intel Kodim. Barangkali Anda tertarik mengkopinya, atau bahkan mengembangkannya jadi film baru. Jika Anda berkesempatan melancong ke Vietnam, Korea Utara, RRC, Rusia, atau negeri-negeri bekas Blok Timur lainnya yang dulu turut serta dalam Festival Film Asia-Afrika (1964), kunjungilah arsip film mereka. Siapa tahu Anda beruntung menemukan Corak Dunia, Turang, Daerah Hilang , dan banyak lagi yang lainnya.

Sekian pengantar untuk penggalan catatan harian Bachtiar Siagian. Kami berterimakasih kepada keluarga beliau yang telah mengizinkan kami memuat manuskrip ini. Selama membaca!

Rujukan

[1] Joss Wibisono,  2012, ‘Sejarah Musik Bedjat’ , dapat diakses di http://gatholotjo.wordpress.com/2011/10/14/sedjarah-musik-bedjat-oleh-joss-wibisono/

2  Krishna Sen, 1994, Indonesian Cinema: Framing the New Order , London: Zed Books, hal. 41-6.

Sumber: Indoprogress, 5 Nov 2013

________

This post is also available in: Indonesian