“Terdapat bukti berlimpah, berangkat dari sejumlah penelitian ilmiah mengenai periode ini, bahwa sebuah sistim kontrol dan represi militer yang bersifat vertikal dibentuk langsung di bawah wewenang Jenderal Suharto dan pelaksanaannya melalui serangkaian perintah dari Jakarta ke tingkatan yang lebih rendah. Walaupun perintah-perintah dan operasi-operasi dimulai di beberapa daerah sejak tanggal 1 Oktober 1965, sarana utama operasi ini adalah Kopkamtib, yang didirikan pada 10 Oktober 1965 dengan Jenderal Suharto sebagai Komandannya, (Pangkopkamtib).

Instruksi-instruksi kepada tingkatan lebih rendah di tentara dikeluarkan sebagai perintah bernomor dari Kopkamtib atau dari institusi-institusi militer lainnya, seperti Kementerian Pertahanan atau Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) yang sudah berada di bawah komando Suharto…..”

“…… pidato oleh Presiden Suharto pada tanggal 11 Maret 1971 (pada perayaan lima tahun perintah “Supersemar” yang menurut dugaan ditandatangani oleh Presiden Sukarno, yang mengawali pengambilan kekuatan secara penuh oleh Suharto).

Dalam pidatonya, Suharto mengklaim bahwa pembantaian terjadi di pedesaan di tahun 1965–1966 sebagai akibat dari ketegangan-ketegangan politik yang sudah ada sebelumnya.

Sebuah penuturan resmi yang didukung TNI dan diterbitkan dalam bahasa Inggris untuk konsumsi asing tahun 1968 mengakui bahwa memang pembunuhan-pembunuhan massal terjadi, tapi menggambarkan mereka sebagai kejadian-kejadian spontan yang dilakukan oleh orang biasa yang ingin menghukum PKI atas usaha kudetanya.

Cerita tersebut mengklaim bahwa “rakyat melihat keadilan diabaikan dan memutuskan untuk main hakim sendiri, yang berakibat pada pembunuhan-pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan bagian-bagian Indonesia lainnya”.

Namun, penelitian terakhir di berbagai daerah membawa perspektif yang baru, membuka cukup banyak informasi mengenai sejauh mana pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan aktor-aktor non-militer sebenarnya direncanakan, disenjatai dan difasilitasi (singkat kata direkayasa) oleh TNI.”

 

simak selengkapnya khususnya

 bagian B2. Tentang Tanggung Jawab dan Rantai Komando dalam Putusan Akhir Majelis Haim IPT 1965

laporan lengkap dalam Bahasa Inggris (pdf) 

Final Report of the IPT 1965: Findings and Documents of the IPT 1965

 

 

Komnas HAM: Soeharto Bertanggung Jawab Atas Kasus HAM 1965/1966 – beritasatu 

 

Komnas HAM: Kopkamtib Bertanggung Jawab dalam Peristiwa 1965-1966 – kompas

 

 

Pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966

 

Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan
Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966

 

********

Pengetahuan tentang Sebuah Rahasia Umum: Penghilangan Massal 1965–66 di Indonesia – John Rossa

Bahwa pembunuhan di Aceh dan Bali dicatat dalam buku-buku sejarah sebagai pekerjaan massa yang mengamuk dan haus darah menggambarkan keberhasilan militer dalam menyembunyikan dan mengaburkan peran mereka yang sebenarnya. Militer waktu itu tidak ingin berada di garis terdepan dan dianggap berjasa melakukan pembantaian. Masuk akal – mereka yang bertanggung jawab atas perbuatan kejam dan keji jarang ingin tindakan dan perbuatan mereka didokumentasi dengan rinci dan diterbitkan secara luas.

Di Aceh dan Bali dapat diamati pola pembunuhan yang sama yang juga menjadi pola pembunuhan di tempat lain di Indonesia. Peneliti-peneliti yang mengkaji pembantaian di Sumatra Utara, Jawa Tengah, dan Flores menemukan bahwa tentara memimpin operasi-operasi untuk menghilangkan sejumlah besar warga yang dituduh komunis (Elsam 2012, 2013; McGregor 2012 Oppenheimer and Uwemedimo 2009; Prior 2011; Tri Hasworo 2004; van Klinken 2013). Wawancara Tempo dengan pelaku-pelaku sipil dari Jawa Timur, Palembang, dan Palu juga mengungkapkan pola penghilangan paksa yang sama (Tempo 2012, 56–72, 100, 106–7).

……

 

 

The Indonesian Killings of 1965-1966 – McGregor . Katharine E

Terutama di bagian B. Decision-Makers, Organizers and Actors

 

 

“Down to the Very Roots”:The Indonesian Army’s Role in the Mass Killings of 1965–66 Geoffrey Robinson

 Tinjauan Buku / Resensi (Book Review) Musim Menjagal : Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966 / The Killing Season – Geoffrey Robinson

 

Mechanics of Mass Murder:A Case for Understanding the Indonesian Killings as Genocide Jess Melvin

The discovery of the Indonesian genocide files has fundamentally changed what it is now possible to know about the 1965–66 killings, specifically as regards questions of military intent and accountability. Likewise, the process by which the military’s target group was identified and targeted for destruction can now be understood using the military’s own account of how this process occurred. A strong case for understanding the 1965–66 killings as a case of genocide can now be made. Genocide as a concept is not perfect. Even so, it remains an important tool to bring perpetrators of systematic state-sponsored mass murder to account.

 

G30S/Militer: Bagaimana Soeharto Mendalangi Pembantaian 1965? – Jess Melvin 

 

Pembunuhan Massal 1965: Bermula dari Aceh, Diulangi selama DOM – Irma Garnesi; Jess Melvin 

 

Tinjauan/Liputan Media (Resensi) The Army and the Indonesian Genocide Mechanics of Mass Murder – Jess Melvin (Indonesia -Inggris) 

 

 

 

Hammer, Mathias (2013), The Organisation of the Killings and the Interaction between State and Society in Central Java, 1965, in: Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 37–62.

 

 

 

simak Esai 1 Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S – Rinto Tri Hasworo 

*studi kasus Jawa Tengah

(*terutama pada sub tentang peran dan keterlibatan RPKAD) dalam buku

Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 (Ed. Ayu Ratih, Hilmar Farid dkk) (unduh)

http://sejarahsosial.googlepages.com/BukuOHP65-TyTPB-web.pdf

 

 

Chaos Untuk Coup? « IndoPROGRESS – Ruth Indiah Rahayu

*studi kasus Surakarta

Jadi sejak RPKAD secara resmi masuk Surakarta pada 20 Oktober 1965, sejak saat itu tegangan dan keresahan akibat desas desus mengenai Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal yang simpang siur seperti dijawab melalui show or force kekerasan yang dipimpin oleh RPKAD. RPKAD mengerahkan ormas-ormas setempat untuk melakukan aksi ganyang PKI. Kemudian sejak 23 Oktober 1965 itu, dimulailah aksi pengejaran, penangkapan dan penahanan terhadap ribuan orang dari ormas-ormas yang mempunyai koneksi ideologi dengan PKI. Bahkan orang-orang yang tak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan politik keormasan juga diciduk untuk alasan yang tak jelas.

Collaboration in Mass Violence The Case of the Indonesian Anti Leftist Mass Killings in 1965 66 in East Java

The aim of this article is to examine further the concept of collaboration in genocide and mass killings through the case study of anti-communist mass killings in Indonesia in 1965–66. High degree of civilian involvement in the killings has misled to a conclusion that the state (in this case, the Indonesian army) did not have a significant role in the killings. The Indonesian state and some scholars interpret the violence as a result of horizontal conflict between the communists and religious or nationalist groups; or violence that could not be generated an overarching pattern, because in some areas the army took the lead, while in other areas, it was the civilians. This article examines the killings in East Java, one of the provinces with a high death toll. Previous studies in this province conclude that civilians were dominant in taking actions against the communists and leftists. However, this does not mean that the army did not have a significant role in the violence. Through the analysis of the newly-accessed East Java military (Kodam V Brawijaya) archives collection, this article will show that although mass killings were executed by civilians in early October 1965 in East Java, they became coordinated and systematic under the military command since mid-October 1965. Readings on the archives strongly show that the military structurally facilitated the violence, while on the other hand, civilians collaborate with the military to remove Indonesian leftists. The collaboration in East Java shows a structurally coordinated move to persecute the communists.

 

Negara Jangan Cuci Tangan : Stop Mengkambinghitamkan Amuk Massa (Konflik Horisontal) dan Menyangkal Keterlibatan Negara (Konflik Vertikal)

 

Mengurai Kebohongan Dibalik Narasi (Hoax Orba) G-30-S/PKI : G30S Sebagai Dalih Pembantaian Massal 1965-1966

Situs-situs Genosida 1965-1966 : Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Sumsel, Jakarta, Jateng, Jatim, Bali, Kalsel, Kaltim, Kalbar, NTT, Sulsel, Sulteng, Sultra….. ** 

Video Online Shadow Play Dengan Resolusi Yang Baik 

 

THE FAILED COUP TRIGGERED a terror campaign, led by General Suharto. This culminated in the deposing of Sukarno and the establishment of Suharto’s New Order in 1966. At least five hundred thousand people and perhaps as many as one million were killed during this period in purges organized by the military in conjunction with civilian militias. Many of these people were killed for their suspected involvement in the Communist PKI party. This would sound familiar to any secondary student who might have followed the story of East Timor and its struggle to attain independence from Indonesia

 

SHADOW PLAY study guide

 

434f4-_dpq

 

atau untuk kualitas yang lebih baik

THE WOMEN AND THE GENERALS from Maj Wechselmann on Vimeo.

In the year of 1965 the members of the organisation for women, Gerwani, were accused of having tortured six generals to death, they were also accused of having participated in a military coup to overthrow the government together with the Indonesian Communist Party.

 

These accusations had no trace of truth in them. They were part of a propaganda staged by the notorious dictator Suharto in order to commit one of the worst genocides in history which took place between 1965-1968.

 

 

Jembatan Bacem : Fim Dokumenter Tentang Peristiwa 1965

This post is also available in: Indonesian