Bocoran hasil rekomendasi tim simposium nasional: Tahanan politik 1965 akan direhabilitasi
JAKARTA, Indonesia—Penyelenggaran Simposium “Anti-PKI” oleh sejumlah purnawirawan TNI dan ormas Islam menimbulkan tanda tanya. Bagaimana nasib rekomendasi yang sudah disusun oleh tim Simposium Nasional 1965 sebelumnya?
Pertanyaan inilah yang dilemparkan oleh wartawan pada Ketua Pengarah Simposium Nasional 1965 Agus Widjojo, yang turut hadir dalam acara simposium tandingan di Balai Kartini, Jakarta, pada Rabu-Kamis, 1-2 Juni.
Agus mengatakan bahwa keputusan rekomendasi diserahkan sepenuhnya ke pemerintah.
“Itu terserah pemerintah karena pada akhirnya jadi masukan rekomendasi pemerintah untuk merumuskan kebijakannya. Semua menuju satu titik rekomendasi. Semua kewenangan pembuatan kebijakan ada pada pemerintah,” kata Agus.
Ia mengatakan, tim simposium yang sebelumnya menyerahkan pada kepada pemerintah untuk mempertimbangkan kebijakan menggabungkan kedua rekomendasi nanti.
“Bersinergi menjadi menjadi kebijakan terbaik untuk berdamai dengan masa lalu dan masa depan yang lebih baik,” katanya.
Simposium Nasional 1965 sebelumnya dihelat di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada pertengahan April lalu. Simposium ini menghadirkan pihak korban tragedi 1965, penyintas, dan juga perwakilan pemerintah.
Jalan panjang rekomendasi
Sementara itu, tim perumus Simposium 1965 telah merampungkan rekomendasi untuk Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Menurut sumber Rappler, setidaknya ada empat poin rekomendasi yang dihasilkan.
- Pertama, negara diminta mengakui kekerasan 1965. Kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan sistematis yang terjadi sebelum dan sesudah 1965 dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat.
- Kedua, negara harus menyatakan penyesalan atas apa yang terjadi pada 1965.
- Ketiga, rehabilitasi umum untuk semua tahanan politik, termasuk yang pernah mendekam di kamp Pulau Buru.
- Keempat, pembentukan Komite Ad Hoc Presiden yang akan dikukuhkan lewat keputusan presiden. Komite ini tak berpraduga atas proses hukum yang sudah dan sedang berjalan. Seperti upaya hukum yang sedang dilakukan oleh Komnas HAM saat ini.
jika dibandingkan dengan hasil International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Den Haag, Belanda, yang digelar pada November 2015 lalu, hasil rekomendasi tim perumus hampir mendekati harapan korban dan penyintas.
Hasil sementara IPT 1965 menyebut, pelanggaran HAM serius menyusul peristiwa 1965 dinyatakan benar terjadi. Indonesia bertanggung jawab, begitu pula negara-negara lain yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan itu.
IPT 1965, atau yang juga disebut Pengadilan Rakyat Internasional, menyimpulkan telah terjadi kejahatan kemanusiaan berat di Indonesia pada 1965 yang melanggar hukum internasional. Indonesia pada masa itu telah mendorong terjadinya pelanggaran HAM ini melalui militernya, dengan rantai komando militer terorganisir rapi dari atas ke bawah.
Meski demikian, keempat poin rekomendasi itu dihasilkan dalam waktu singkat. Dalam proses penyusunan rekomendasi, perdebatan antar anggota tim perumus yang berasal dari berbagai unsur tak dapat dihindari.
Menurut sejarawan Bonnie Setiawan, salah satu anggota tim perumus, ada perdebatan asas sejarah tentang hubungan sebab akibat peristiwa 1948 dan 1965.
Pada 18 September 1948, menurut versi pemerintah saat itu, terjadi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengakibatkan korban di Madiun, Jawa Timur. Belasan pemuka agama disebut menjadi korban.
Lalu pecah juga peristiwa 1 Oktober 1965, ketika ratusan ribu hingga jutaan anggota PKI dan simpatisannya diburu untuk dieksekusi dan dipenjara. Jumlahnya bahkan diperkirakan mencapai 1 juta.
Menurut Bonnie, ada anggota tim perumus yang mengatakan bahwa peristiwa 1948 dan 1965 berkaitan. Peristiwa 1965 dianggap sebagai sebab atau akibat dari peristiwa 1948.
Namun Bonnie sendiri memberikan pandangannya bahwa peristiwa 1948 telah diselesaikan oleh negara lewat surat keputusan pemberian maaf pada PKI yang ditandatangani oleh Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo pada 7 September 1949.
Ia juga menambahkan bahwa korban pada peristiwa Madiun saat itu berasal dari dua pihak. Pihak PKI dan kelompok kyai.
Terkait perdebatan ini, anggota tim perumus lainnya, Agus Widjojo, memberikan keterangan yang berbeda terkait klausul ini. Menurutnya, anggota tim sudah bulat memutuskan bahwa tujuan Simposium 1965 adalah untuk mengetahui sejarah sebelum dan setelah 1965. Dimulai dari tahun 1948.
Mungkinkah pemerintah juga ikut menerima rekomendasi simposium tandingan ini?
Juru bicara Presiden Jokowi, Johan Budi, sehari sebelumnya mengatakan Presiden tidak akan menutup diri dari rekomendasi simposium tandingan. Menurut Johan, masukan yang pro atau kontra akan diterima presiden.
“Keinginan Presiden Joko Widodo adalah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di masa lalu,” kata Johan pada media.
Meski demikian, ia melanjutkan bahwa Jokowi tidak akan mentah-mentah menerima rekomendasi yang datang dari simposium tandingan.
Johan menegaskan bahwa rekomendasi dari simposium tandingan itu tetap akan dipelajari dan dicermati seperti rekomendasi simposium sebelumnya.
“Presiden akan mendengarkan, menganalisis (rekomendasi), dan kemudian mengumumkan keputusannya. Jangan jadi persoalan yang berulang-ulang,” tuturnya.
Tolak rekonsiliasi dan penyesalan terhadap tragedi pembantaian
Meski Istana mengatakan akan mempertimbangkan kedua versi rekomendasi, tampaknya proses sinergi tak akan semudah membalikkan tangan. Sebab, para pembicara yang hadir di simposium tandingan menolak adanya permintaan maaf dari pemerintah.
Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakrie, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, dan Ulama Besar Forum Pembela Islam Rizieq Shihab, yang hadir dalam acara tersebut, mengatakan tak ada rekonsiliasi jika tidak didasarkan pada Pancasila.
Bahkan kelompok ini menyerukan perang dan pelengseran pucuk pimpinan negeri ini jika permintaan maaf itu dilakukan.
“Rekomendasi ke pemerintah jangan minta maaf, ini juga simposium. Pasukan kita siap perang, kok,” kata Mayor Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zen.
Lalu mampukah Jokowi mengambil keputusan tentang rekomendasi yang memberikan keadilan kepada kedua kubu dengan segala risikonya?
Sumber : Rappler.com, 2 Juni 2016
This post is also available in: Indonesian