Para eksil warga Indonesia merayakan kemerdekaan Indonesia secara meriah setiap 5 tahun. Tahun ini, mereka kembali merayakan kemerdekaan Indonesia dengan meriah. Sekitar 100 warga Indonesia memenuhi gedung De Schakel – Amsterdam. Sebagian besar usia mereka sudah uzur, namun nampak sehat dan bugar.

Mereka pada hari Minggu, 16 Agustus 2015, berkumpul memenuhi undangan Perhimpunan Persaudaraan untuk merayakan kemerdekaan Indonesia ke-70 tahun. Usai acara resmi perayaan kemerdekaan , dilanjutkan dengan acara hiburan. Suasana menjadi cair.

Ada paduan suara, pembacaan puisi Kerawang Bekasi yang dibacakan eksil Sungkono, ada alunan musik keroncong dan tari-tarian tradisional bali dan jaipong. Saat eksil Chalik Hamid membacakan puisi berjudul “Senyum Manis Sang Jenderal, semua orang yang tadinya asyik ngobrol, tiba-tiba terdiam. Puisi itu diambil dari buku “Cerobong besi – antologi puisi seBUMI #2”. Sesekali ada senyuman mengambang di wajah para tamu. Karena puisi yang digambarkan seperti sosok mantan presiden Soeharto dibawakan dengan jenaka dan penghayatan penuh.

Sambil menikmati rangkaian acara, beberapa orang mulai membeli makanan, dan minuman. Panitia menggelar 2 jenis makanan. Lontong sayur dan bakso yang dijual seharga 3 euro dan 3,50 euro. Sementara snack lemper, martabak dan risoles dibanderol 1-1.25 euro. Uang hasil penjualan 10 persen masuk ke kas organisasi perhimpunan persaudaraan.

Menurut Sungkono, acara perayaan seperti ini tidak tiap tahun digelar. Hanya tiap 5 tahun sekali. Karena terkait biaya dan teknis acara dan lain-lain. “Lha, kumpulan ini hanya memungut 2euro per bulan dari tiap anggota yang jumlahnya saat ini hanya tinggal sekitar 70 orang saja. Lainnya sudah banyak yang meninggal dunia. Dan yang masih ada juga sudah sepuh seperti ini. Tempat tinggal kami juga tidak semuanya di Amsterdam. Jadi kami tak bisa tiap tahun merayakan acara peringatan kemerdekaan Indonesia seperti ini,” ujar Sungkono.

Namun tiap tahun, ujarnya, para eksil tetap memperingati kemerdekaan, dalam bentuk yang sederhana. Misalnya tidak harus menyewa gedung dan juga membayar transportasi penari dan pemusik, jelas Sungkono.

Untuk menggelar acara seperti ini, paling tidak sebesar 400 euro atau Rp 6,16 juta harus keluar dari kas Perhimpunan persaudaraan. “Selain dari uang kas, ada juga orang di luar anggota yang bersimpati dengan organisasi ini ikut memberikan bantuan, meskipun tidak besar. Makanya kita sediakan kotak sumbangan (berupa boks yang diberi celah untuk memasukkan uang) di depan pintu masuk,” ujar Sungkono.

Seringkali jumlah sumbangan yang diberikan 100-an euro bahkan lebih. Uang inilah yang digunakan untuk acara kumpulan yang kerap diadakan para eksil. Misalnya diskusi dengan narasumber dari Indonesia, acara nonton film bersama dan lainnya.

Acara berlanjut dengan penuh keakraban. Di sela-sela acara menyanyi dan joget bersama diiringi musik, beberapa di antaranya tampak berbincang-bincang santai, tertawa dan penuh guyon.

Lagu Genjer-genjer dibawakan Suranto Pronowardojo dengan iringan organ. Menurut Chalik Hamid, lagu Genjer-genjer itu kan sebenarnya lagu biasa. “Lagu ini sangat terkenal di zaman saya dulu. Hanya kemudian dipolitisir dan dijadikan cap seolah-olah itu adalah lagunya PKI,” kata Chalik Hamid.

Chalik adalah salah satu asil yang juga Ketua yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia. Buku kumpulan puisinya berjudul “Mawar Merah” diterbitkan tahun 2008 di Bandung.

Acara HUT kemerdekaan Indonesia ke-70 terus berlangsung sampai jam 4 sore waktu Amsterdam.

sumber: Tempo.co.id

This post is also available in: Indonesian