Sumber : YPKP 65, 5 Oktober 2016
Demokratisasi di Indonesia menghadapi tantangan ketika kebebasan berdiskusi direcoki oleh kelompok reaksioner sebagaimana yang terjadi di beberapa tempat; akhir-akhir ini.
Yang baru terjadi di Unisma Malang, bahkan, penghalangnya justru birokrat kampus sendiri yang mengagalkan acara. Tentu, dengan menyertakan aparat intel disertai kelompok intoleran seperti biasanya; geruduk orang-orang berjubah putih itu..
Ancaman serupa dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Elemen Merah Putih pada hari Selasa (4/10). Elemen yang mengklaim merupakan gabungan 25 ormas di Yogyakarta ini menyasar acara diskusi di MAP Corner-Klub MKP UGM. Sebuah klub diskusi yang memang secara rutin menggelar tradisi ilmiah yang biasa terbuka untuk kalangan umum.
Diskusi bertajuk “Ekonomi Politik Indonesia Pasca Peristiwa Gestok 65” ini digelar di kampus Fisipol Unit 2, Sekip; nampaknya agak berbeda dari biasanya. Karena selain menghadirkan Budiawan (Dosen Kajian Budaya dan Media), juga mengundang seorang penyintas bernama Badri (71 th) yang aktif bergabung di Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-’66 (YPKP ’65) Yogyakarta.
Badri yang kini juga menjadi pekerja sektor informal adalah korban langsung dari Gestok (Gerakan Satu Oktober) 1965; sebuah operasi militer yang dilakukan oleh satuan Kostrad antara Oktober-November 1965. Waktu itu, mantan aktivis IPPI Kulon Progo ini dijemput militer dari rumahnya di Sentolo dan diinterogasi di Kodim setempat. Disertai siksaan dia yang masih berstatus pelajar SMA Kelas 2 dipaksa mengakui telah terlibat sebagai pendukung Dewan Revolusi.
Sampai akhir tahun 1966 Badri menjadi Tapol dan dikenakan kerja paksa selama masa wajib lapor, diterakan kode “ET” pada KTP yang berakibat tak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai pendidikannya saat itu. Trauma Tapol juga berdampak pada fisiknya akibat siksaan dan menderita penyakit tubercolusismenahun. Kini dia telah move-on meski dipenjara rezim Orba tanpa melalui proses maupun putusan pengadilan.
Gestok dan Konsekuensi Ekonomi Politik
Naiknya Soeharto sebagai Presiden RI sejak 1966 membawa implikasi ekonomi politik, telah menjadi kajian akademisi seperti Richard Robinson, Arief Budiman, Mochtar Mas’oed, Ben Anderson dan lainnya.Bangunan kekuatan ekonomi politik Orde Baru berdiri di atas jutaan korban yang diculik, diburu dan dibunuh. Korban lainnya didiskriminasi sebagai penyintas; dijebloskan sel penjara dan disiksa penguasa. Termasuk para eksil di luar negeri yang terhambat pulang ke Indonesia karena dideportasi; sampai hari ini.
“Kita mengalami kemajuan dibanding sebelum tahun 65, tapi ada kebijakan yang lambat laun disadari yakni hutang luar negeri yang semakin menggunung. Akibatnya sangat besar, kemudian kita mengalami krisis moneter dan inflasi sangat parah dari Rp 2500 per Dollar AS menjadi Rp 10 ribu,” papar Budiawan.
Dosen Kajian Budaya dan Media Pascasarjana ini juga menjelaskan bagaimana paska transisi pemerintahan Soekarno ke Soeharto, kemudian muncul Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang memberikan ruang strategis bagi perusahaan Amerika dan Jepang untuk mendominasi perekonomian Indonesia.
Kebijakan dan Politik Luar Negeri Indonesia waktu itu membuka ruang lebih bagi masuknya Pengusaha asing yang bekerja sama dengan pengusaha lokal (khususnya etnis Tionghoa) dan militer menguasai berbagai sektor ekonomi seperti pertambangan, konstruksi, dan sektor kehutanan.
Untuk mendukung sistem perekonomian yang stabil, pemerintah Orde Baru membangun sistem politik yang tertib dan terkendali.
“Orde Baru menggunakan strategi korporatisme negara untuk mengontrol organisasi masyarakat seperti serikat buruh, petani dan perempuan”, jelas Budiawan.
Korporatisme negara merupakan proses dimana negara menciptakan ketenteraman sosial dengan cara menindas dan menutup kemungkinan artikulasi tuntutan kelas bawah secara bebas. Ini berlangsung hingga jatuhnya rezim Orde Baru.
Kejatuhan Orde Baru dan ditandai dimulainya demokratisasi, tidak turut meruntuhkan kekuatan oligarki yang tumbuh berkembang pada rezim Soeharto sebelumnya. Dengan beradaptasi pada tuntutan dan sistem baru, mereka tetap bertahan dalam menguasai sektor-sektor strategis di negara ini.
Lalu pertanyaannya adalah: Apakah pengungkapan kebenaran atas kejahatan kemanusiaan terbesar di negara ini masih stagnan karena kekuatan ekonomi politik warisan Orde Baru masih mengakar?
Ataukah “hanya” karena adanya phobia akan komunisme yang menjangkiti sebagian masyarakat, termasuk kelompok reaksioner?
Pengungkapan Kebenaran vs Phobia Komunisme
Diskusi MAP Corner-Klub MKP yang digelar di lobby MAP-UGM, Sekip, tak hanya menarik perhatian civitas academica, masyarakat umum dan awak media, tetapi juga bagi Elemen Merah Putih yang ikut bergabung. Elemen ini menganggap bahwa dewasa ini banyak kampus yang dimanfaatkan untuk menyuarakan kepentingan komunis.
“Saya tersinggung karena kami tidak pernah diajak untuk berbicara mengenai PKI. Padahal saya juga mengurusi korban kebiadaban PKI 1948-1965”, tuntut M. Suhud dari Paksi Katon pada sesi diskusi.
Menurut Suhud, PKI seharusnya bertanggung jawab juga atas perbuatan kejinya.
Hal serupa disampaikan oleh Burhanudin mewakili apa yang disebut sebagai Gerakan Bela Negara DPW-DIY.
“YPKP bukan menjadi korban, tapi YPKP adalah pelaku kejahatan”, ungkap Burhanudin.
Adanya cecaran bertubi dalam ruang diskusi yang setara, mendorong peserta diskusi yang mendesak moderator untuk mengambilalih forum.
Apa yang disampaikan Elemen Merah Putih dalam diskusi ini menunjukkan pemahaman yang begitu dangkal dalam melihat persoalan 65 dan tujuan pengungkapan kebenarannya.
Pada dasarnya, desakan permintaan maaf dari negara bukan ditujukan kepada PKI, tetapi kepada para korban kejahatan genosida yang terjadi pada periode 1965-1966.
Bagi Badri, tuntutan pertanggungjawaban PKI yang dilontarkan oleh Suhud sangatlah tidak masuk akal.
“PKI sudah tidak ada lagi, lalu mau minta pertanggungjawaban ke siapa? Aidit pun sudah mati ditembak dan di Kulon progo anggota PKI telah ditembak mati diatas jembatan Bantar” pungkas Badri.
This post is also available in: Indonesian