Tito Sianipar

Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh lembaga nonprofit National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA). Laporan itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat ketika pembantaian terjadi.

Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar pertikaian antara tentara dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.

Data dan fakta ini menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau membuka sejarah kelam tragedi 1965.

Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal yang selalu didegungkan bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang seharusnya bertanggung jawab. “Mereka kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September,” tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo mengatakan dirinya tidak bisa membantah maupun mengiyakan terjadinya pembantaian pasca 30 September 1965.

“Saya tidak dalam posisi membenarkan atau menolak fakta itu. Tragedi 1965 adalah pertarungan kekuasaan antara PKI dan Angkatan Darat,” kata Agus, yang juga putra Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, korban 30 September 1965.

 

13 Oktober 1965: Sekelompok mahasiswa Muslim membakar markas Pemuda Rakyat di Jakarta. [CAROL GOLDSTEIN/KEYSTONE/GETTY IMAGES]

Berikut ini adalah beberapa poin menarik soal tragedi 1965 yang tersaji dalam laporan diplomatik yang juga memuat sedikit soal konfrontasi dengan Malaysia, kondisi Irian Barat, dan perang Vietnam tersebut.

 

Angkatan Darat hendak menjatuhkan Presiden Soekarno

Dalam kabel diplomatik Kedutaan Amerika untuk Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri Amerika di Washington tanggal 12 Oktober 1965 disebutkan bahwa, “Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno dan mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat memberi tahu soal kemungkinan itu.”

Dalam telegram rahasia itu juga disebutkan, “Jika itu terlaksana, maka itu akan dilakukan dengan gerakan yang cepat tanpa peringatan dan Soekarno akan digantikan kombinasi junta militer dan sipil.” Dari negara-negara Barat, Angkatan Darat mengharapkan bantuan ekonomi berupa makanan dan lainnya.

Hal itu terkait perkembangan pada 10 Oktober 1965 yang menyebutkan Soekarno menerima pimpinan Angkatan Darat di Istana yang memberikan laporan soal keterlibatan PKI pada kejadian 30 September. Soekarno menolak membaca dan memarahi mereka karena menghina PKI. Para jenderal yang tidak disebutkan namanya itu kemudian meninggalkan Soekarno dengan rasa jengkel.

 

Sejumlah serdadu, tak jauh dari rongsokan sebuah mobil yang terbakar di hari-hari awal Oktober 1965, menyusul gagalnya G30S. [BERYL BERNAY/GETTY IMAGES]

Rencana membunuh Omar Dani

Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan ke diplomat Amerika perlunya mengeksekusi pimpinan PKI dan membunuh Omar Dani yang kala itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Udara Indonesia. Itu tercatat dalam kabel dari Kedutaan untuk Kemenlu tanggal 18 Oktober 1965.

Sutarto menyampaikan bahwa gejolak anti-PKI sudah merebak di Medan dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang berada dalam situasi yang kacau. Aksi-aksi anti-PKI ini dilaporkan dipimpin oleh “Angkatan Darat/kelompok Muslim”.

“Kita perlu menggantung Aidit, Njoto, dan Lukman di Lapangan Banteng guna menunjukkan ke semua orang seperti apa sebenarnya mereka,” kata Sutarto dikutip laporan tersebut.

Bahkan lebih lanjut Sutarto menyebutkan, “Omar Dani harus meletakkan jabatannya atau kita harus membunuh dia.” Ada pejabat AU lain yang juga disebut harus dicampakkan, yakni Sri Muljono, Suryadarma, dan Abdoerachmat.

 

Adnan Buyung turut melemahkan PKI dan Soekarno

Jaksa Adnan Buyung Nasution yang ketika itu berusia 31 tahun, ikut membantu penghancuran PKI. Dalam perbincangannya dengan Sekretaris Kedua Kedutaan Amerika Robert Rich, Buyung mengusulkan untuk terus mengejar komunis guna melemahkan kekuatan PKI.

 

Adnan Buyung Nasution semasa hidup. [AFP]

Bahkan Buyung juga mengusulkan agar fakta pembantaian ribuan komunis disembunyikan dari Soekarno. “Pembantaian oleh tentara harus tetap dirahasiakan dan masifnya represi tentara terhadap PKI harus dijauhkan dari Soekarno,” kata Buyung seperti ditulis telegram Kedutaan Amerika untuk Kemenlu tanggal 23 Oktober 1965.

Buyung yang disebutkan dua kali mendatangi Kedutaan untuk berdiskusi yakni pada 15 dan 19 Oktober 1965, juga menyampaikan informasi lainnya. “Beberapa elemen tentara berencana membebaskan pimpinan Masjumi dan PSI yang dipenjara sejak pemberontakan PRRI,” tulis laporan tersebut.

Dalam biodatanya Buyung disebutkan sebagai asisten pribadi jaksa agung sejak 1964 dan pernah di intelejen kejaksaan. Pada 1961, Buyung adalah perwakilan kejaksaan yang bertanggung jawab pada perencanaan keamanan bagi Jaksa Agung Robert Kennedy yang akan berkunjung ke Indonesia.

 

Kerusuhan rasial menyasar etniTionghoa

Seiring propaganda anti-PKI yang diusung Angkatan Darat, sentimen anti-Cina juga berkembang luas di Sulawesi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi korban kekerasan dan dituding adalah pendukung, bahkan, anggota PKI.

Massa Islam menghancurkan universitas Res Publica, perguruan tinggi yang diidentikkan dengan PKI. [GETTY IMAGES]

Telegram Kedutaan untuk Kemenlu 12 November 1965 menyebutkan, “90 persen toko-toko milik orang Tionghoa di Makassar dijarah dan dihancurkan pada kerusuhan 10 November yang dilakukan hampir seluruh penduduk.” Bahkan lebih jauh lagi, alat-alat produksi milik orang Tionghoa diambil paksa tentara.

Dalam kabel diplomatik untuk Kemenlu pada 7 Desember 1965 memuat informasi bahwa aset orang Tionghoa disita tentara. Menteri Pertanian Sudjarwo mengumumkan bahwa penggilingan beras dan pabrik tekstil orang Tionghoa diambil alih militer masing-masing wilayah.

 

Kader PKI tidak tahu apa yang sedang terjadi

Dalam telegram Kedutaan ke Kemenlu 20 November 1965, digambarkan bahwa kader-kader PKI kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi, dan tidak tahu harus berbuat apa. Informasi didapat diplomat Amerika dari seorang jurnalis Australia yang dapat dipercaya.

Si jurnalis disebutkan adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah, yakni pada 10 Oktober 1965. “Dia berbicara dengan kader-kader PKI di beberapa tempat di Jawa Tengah,” tulis laporan itu.

Informasi serupa dikonfirmasi Konsuler Politik Kedutaan Yugoslavia yang mengatakan terlibat kontak secara rutin dengan aktivis PKI. Si aktivis sama sekali tidak panik dan tetap percaya Soekarno akan melindungi mereka. “Mereka tidak akan bertindak tanpa perintah Soekarno,” ujar sang diplomat.

 

Serdadu mengawasi para tahanan yang diduga komunis di sebuah lokasi di Tangerang, Oktober 1965 [GETTY IMAGES]

Jihad membantai ribuan orang di daerah

26 November 1965 laporan dari Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya menyebutkan terus mendapatkan laporan pembantaian di berbagai wilayah di Jawa Timur oleh Ansor. Di Tulungagung setidaknya 15.000 komunis dibunuh.

“Pembantaian diwarnai dengan Perang Suci (jihad): membunuh kafir akan memberi tiket ke surga dan jika darah korban diusapkan ke wajah, maka akan lebih terjamin (masuk surga),” tulis laporan tersebut.

 

Angkatan Darat persenjatai Hansip untuk bunuh PKI

Selain kelompok-kelompok Islam, Angkatan Darat juga mempersenjatai pertahanan sipil atau Hansip sebagai kekuatan memerangi PKI. Dalam laporan Konsulat Jenderal Amerika di Medan menyebutkan hal itu dilakukan untuk meningkatkan peran pengawasan di kota maupun pedesaan.

 

Prajurtit TNI berjaga di depan Istana Bogor, saat sejumlah mahasiswa berbagai kalangan yang berusaha mendekati Presiden Soekarno. [KEYSTONE/GETTY IMAGES]

“Ketika ini dilaksanakan, rantai komando militer bertambah luas hingga setiap desa yang ada di Sumatera,” tulis laporan tersebut.

Tak sampai di situ, pemuda yang berusia 8-13 tahun diwajibkan ikut Pramuka yang dikontrol tentara. “Secara singkat, Sumatera dengan cepat berubah menjadi tanah tentara.”

Sumber: BBC Indonesia

This post is also available in: Indonesian