dwitra-j-arianaFilm

 

Oleh Yudha Bantono *

Sumber : Kompasiana, 27/06/16

LELAKI itu sudah tua. Delapan puluh tahun lebih umurnya. Tubuhnya sudah renta, karena memang dimakan oleh usia. Keriput-keriput wajah yang keras sangat menonjol, menghiasi wajahnya yang kelihatan memendam luka lama penuh keprihatinan. Dan lelaki tua ini adalah salah satu pelaku yang membantai saudaranya se desa, karena peristiwa 65 di Desa Batuagung, Jembrana Bali. Seperti kebanyakan penduduk di desanya, peristiwa 65 tidak dapat dilupakan bahkan menimbulkan fenomena peristiwa baru yang lebih mencekam. Banyaknya orang gantung diri, meninggal mendadak dan tidak wajar, serta insiden-insiden di luar nalar kewajaran terus menghantui seluruh warga Desa Batuagung.

Masyarakat mulai menyadari dan melalui proses panjang, baik secara keyakinan maupun spiritual, bahwa kejadian-kejadian tersebut dikarenakan oleh ruh-ruh gentayangan korban pembantaian peristiwa 65 yang tidak diterima di alam layaknya. Apakah yang bisa diharapkan dari pembebasan peristiwa yang mencekam di Desa Batuagung ini ?

Melihat keadaanya, seakan tiada sesuatupun yang harus dilakukan, kecuali menemukan kuburan-kuburan masal dimana korban peristiwa 65 ditanam. Sebuah proses panjang dan penuh liku untuk melakukan penemuan dan pembongkaran kuburan massal itu. Kesemuanya tidaklah mudah. Mempertemukan pelaku dan keluarga korban yang penuh gesekan dendam, sampai persiapan dan pelaksanaan upacara agama Hindu Bali yang memerlukan biaya sangat besar.

Rekaman peristiwa konflik 65 yang terselesaikan melalui jalan damai berupa “relonsiliasi kultural” dikemas dalam film berdurasi 77 menit karya Dwitra J. Ariana sangat menarik untuk ditonton sebagai karya film dokumenter kreatif. Sebuah rekonsiliasi atas kehendak keluarga korban pembunuh dan terbunuh serta masyarakat adat, mereka sadar bahwa semuanya adalah korban.

KETIKA praktisi dan seniman film sibuk mendokumentasi hal-hal yang indah atau hebat dan menakjubkan tentang Indonesia, seorang sutradara sekaligus film maker muda Bali Dwitra J.Ariana justru mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda, lebih-lebih menyinggung sensitivitas luka lama peristiwa pembantaian korban PKI 65. Film dokumenter dengan judul “Masean’s Messages” adalah sebuah proyek yang ingin bercerita tentang rekonsiliasi kultural peristiwa 65 di Bali.

Proyek film dokumenter yang menjadi salah satu bentuk pembahasan isu 65 yang tidak pernah tuntas ini, menawarkan makna lain dari sisi visual realita kini yang berbelok arah ke belakang pada masa suram tahun 65.  Keberadaan film dokumenter ini menjadi penting karena akan merubah persepsi orang terhadap kejadian tahun 65, antara pelaku dan korban yang keduanya sejatinya sama-sama menjadi korban. Upaya rekonsiliasi kultural yang menjadi frame karya ini adalah sebuah cara Dwitra mendinginkan suasana yang selalu memanas ketika membahas isu 65.

Ketika saya melihat film ini dari menit pertama sampai berakhir, memang hampir tidak menemukan konflik gawat yang dapat memancing perasaan untuk bangkit menganalisa atau memberi justifikasi. Sempalan kisah-kisah tragis menggorok leher korban, dibantai dan ditanam yang diungkapkan oleh pelaku pembunuhan terlihat hanya menjadi pintu yang membuka tabir dari peristiwa konflik yang akan diselesaikan. Dwitra sangat beruntung, ketika sahabat dari desa peristiwa menghubungi dirinya dengan memberikan peluang untuk membuat film dokumenter.

Rangkaian peristiwa rekonsiliasi kultural mulai dari tataran grassroot sampai ragam identitas budaya Bali berhasil ia hadirkan sebagai jembatan dalam memahami persoalan konflik masa lalu yang cukup pelik. Melalui jalan riset, pemahaman Dwitra atas konflik 65 di Bali Barat sebenarnya telah didahului dengan pengalaman intensnya melakukan riset dari berbagai kejadian-kejadian yang sama di beberapa daerah di Bali. Maka tak heran, bila ia seakan fasih menjabarkan peristiwa dalam sebentuk film dokumenter kreatif.

Dalam penggarapan film dokumenter ini Dwitra sama sekali tidak mensetting peristiwa, ia justru luruh mengikuti jalannya proses rekonstruki yang ia kemas dalam sebuah catatan yang terus berjalan. Setiap tensi yang hadir dan memiliki kecenderungan menghantarkan komunikasi emosi pelaku peristiwa berhasil ia redam. Dwitra berupaya semaksimal mungkin agar berhasil dapat masuk, dan menjadi bagian peristiwa proses rekonsiliasi cultural bersama warga setempat.

Dwitra sangat menyadari, bahwa dirinya sebagai total film maker  harus memerankan sebagai sutradara, kameramen, periset, viewing, sampai editing. Memang ada hal yang menguntungkan bagi dirinya manakala jalannya peristiwa rekonsiliasi hadir dapat ia rasakan dan tentukan kemana arahnya. Kepekaan Dwitra membaca treatment  yang secara cepat berjalan seakan meniadakan kompromi dirinya untuk melakukan “pause”.  Dampak kejar-kejaran ini tentu menyita energi yang luar biasa, karena waktu dan berjalannya peristiwa dari proses rekonsialiasi itu tidak bisa diulang.

Dwitra sangat mengerti bagaimana ia harus memahami bidang-bidang penjabaran yang luas dari sebuah peristiwa, maka tak ayal dalam waktu satu setengah bulan dirinya harus terengah-engah mengumpulkan data visual dari satu tempat ke tempat lain, dan dari waktu ke waktu yang lainnya. Untungnya, ia terbiasa dengan pola kerja yang sangat individual.

Ingatan peristiwa 65 adalah hal yang wajar bila dipandang mengerikan, tetapi begitu dikaitkan dengan peristiwa rekonsiliasi kultural, hal itu menjadi cair bahkan muncul kesadaran bahwa di dalam rekonsoliasi kultural itu terdapat cara-cara untuk saling menerima secara baik antara pelaku yang masih hidup dan keluarganya maupun keluarga korban. Mungkin inilah yang menjadi rahasia film dokumenter kreatif karya Dwitra, walaupun saya yakin masing-masing orang yang menonton film ini akan menikmati dan memiliki persepsi yang berbeda.

Meski berada dalam wilayah ketegangan, nampak ada upaya penyajian yang lebih mengutamakan pesan penyelesaian konflik ketimbang menghadirkan perdebatan yang tak kunjung ujung pangkalnya. Sebuah keakuran jelas terlihat dari film dokumenter ini yang merekam fakta, kemudian merajut menjadi cerita dari pelaku, keluarga korban, masyarakat desa adat, aparat kepolisian, tentara setingkat koramil, ketua DPRD Kabupaten Jembrana, muspida, dan warga luar Bali, selanjutnya bermanifestasi menjadi sebuah pesan.

Dwitra telah membangun komunikasi dengan audiens yang beragam. Dalam film dokumenter kreatif “Masean’s Messages” setidaknya ia telah berurusan dengan tiga hal sekaligus, yaitu wilayah konflik, kesulitan-kesulitan dari proses rekonsiliasi peristiwa 65 serta kesadaran sosial dan kultural. Saya sangat tertarik dan menaruh perhatian khusus pada film “Masean’s Messages” ini, yang bagi saya menjadi salah satu petunjuk pemecahan masalah konflik 65 melalui jalan damai yaitu “rekonsiliasi cultural”.   Yudha Bantono Art and architecture writer, tinggal di Denpasar Bali.

Yudha Bantono Art and architecture writer, tinggal di Denpasar Bali

This post is also available in: Indonesian