Paling tidak sejak 1 Oktober 1965, lagu Genjer-genjer ciptaan Muhamad Arief hampir tak pernah lagi terdengar.
Dalam berita tentang 7 jendral yang dibunuh dan kemudian dilemparkan di lubang buaya, konon lagu ini mengiringi tarian mesum kaum Gerwani. Akhirnya lagunya dicekal dan penciptanya dibunuh. Kini salah satunya Tomi Simatupang, membawanya kembali ke publik dunia lewat Genjermania.
Petikan gitar bas (fretless) itu memecah kesunyian di Kafe Engels, Berlin, Jerman. Tampil solo dalam balutan kaus hitam, Tomi Simatupang melantukan lirik demi lirik dengan syahdu.
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak’e thole teko-teko mbubuti genjer
Emak’e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer genjer saiki wis digowo mulih
Di sela-sela menyanyikan lirik tersebut, Tomi bernarasi tentang lagu Genjer-genjer dan pembantaian massal di Indonesia pada 1965. Selain mendendangkan Genjer-genjer, Tomi menyanyikan komposisi lain, seperti Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Ade Irma Suryani, dan Bhineka Tunggal Ika, yang syairnya diambil dari Kakawin Sutasoma. Sebuah layar putih di dinding melengkapi penampilan Tomi pada malam itu. Layar bergantian menampilkan narasi dan klip video tentang peristiwa pembunuhan orang-orang yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia setengah abad lalu. Lima puluh kursi kafe penuh terisi penonton.
Suasana itu adalah sepenggal pertunjukan pertama Genjermania pada 6 Maret 2015. Tomi Simatupang, pemusik Indonesia yang kini menetap di Jerman, menggagas perhelatan itu sebagai peringatan 50 tahun genosida Indonesia. Hingga Mei 2015, Genjermania telah tiga kali ia gelar di Berlin dan Hamburg, Jerman.
Nama Tomi Simatupang sesungguhnya tidak asing di Indonesia. Pemusik kelahiran Yogyakarta ini adalah anak aktor dan sutradara Landung Simatupang. Pada usia 10 tahun, Tomi menetap di Jerman bersama ibunya. Dia menerjuni karier sebagai pemusik, vokalis, dan komposer pada 2001. Kemudian dia mendirikan band Tomi Simatupang Incarnation, yang beranggotakan empat-lima pemusik. Tomi sudah meluncurkan empat album, yakni Blame It on Your Monkey (2005), Sound Home Theme (2007), Purgatory on a Twig (2010), dan Agape (2012).
Pengumpulan dana bagi penciptanya
Tomi bercerita, Genjermania sejatinya kependekan dari “Genjer” dan “Jerman”. Menurut dia, Genjermania adalah konsep presentasi audiovisual dengan live music yang bertujuan memberikan informasi kepada publik tentang sejarah politik Indonesia pada 1965.
“Sekaligus sebagai aksi pengumpulan dana untuk keluarga Muhammad Arief, pencipta Genjer-genjer,” kata Tomi kepada Tempo.
Awalnya pertunjukan tersebut-dari riset, komposisi, aransemen, hingga promosi di Internet-dikerjakan dan dibiayai sendiri oleh Tomi. Kemudian dia mengajak temannya, James Cameron, pemusik dan produser film dari Australia. Pacarnya, Antonia, juga terlibat mengelola Genjermania.
Lagu Genjer-genjer diciptakan oleh pemusik angklung asal Banyuwangi, Muhammad Arief. Lagu itu sejatinya bercerita tentang penderitaan masyarakat Banyuwangi, Jawa Timur, di era pendudukan Jepang. Bencana kelaparan membuat rakyat Banyuwangi akhirnya mengkonsumsi tanaman genjer, yang sebelumnya menjadi makanan itik. Lagu tersebut menjadi populer ketika dinyanyikan oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet pada 1960-an, bahkan dimuat dalam piringan hitam Mari Bersuka Ria, yang kerap diputar di TVRI dan RRI.
Bersamaan dengan pemusnahan PKI setelah 1965, Muhammad Arief, yang saat itu anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), menjadi salah satu korban pembantaian. Lagu Genjer-genjer pun bernasib sama dengan penciptanya: dicekal selama 32 tahun.
Perjumpaan Tomi dengan lagu Genjer-genjer sesungguhnya telah berlangsung lima tahun sebelumnya. Setelah menonton film Gie di salah satu bioskop di Hamburg, pemusik 34 tahun ini mengaku langsung jatuh cinta pada Genjer-genjer, yang menjadi soundtrack film tersebut. Irama dan nada lagu yang diciptakan pada 1943 itu bisa diterima dengan baik, bahkan oleh telinga Barat, yang tak mengerti sepatah kata pun dalam liriknya. Pilihan kata-kata bahasa daerah Using, Banyuwangi, juga polos dan mudah ingat siapa saja.
Setelah itu, Tomi kerap membawakan lagu Genjer-genjer dengan berbagai aransemen di setiap konsernya. Dia memberi sentuhan tangga nada pelog atau tangga nada Arab bernama Husseini. Tomi memainkan gitar khusus (fretless) yang dipadu oleh dua saksofonis. Bahkan, pada 2014, dia merekam Genjer-genjer di salah satu studio modern di Jerman, yang menghasilkan dua versi slow. Semua karyanya itu ia unggah ke YouTube. Tomi tak menyangka lagu Genjer-genjer diterima dengan baik oleh sejumlah penggemarnya di Jerman dan Polandia.
Mempelajari 1965 lewat Genjer-genjer
Lewat lagu itu pula Tomi akhirnya banyak mempelajari sejarah dan politik negara kelahirannya. Dia pun menemukan kekuatan lagu Genjer-genjer, yang memiliki nilai artistik dan sejarah yang tinggi. Bernilai sejarah karena menjadi titik awal yang sempurna untuk menelusuri sejarah Indonesia dari zaman kolonial Jepang hingga sekarang.
Tomi mengetahui, pada 30 September 1965, lagu Genjer-genjer dipelesetkan oleh pihak tentara menjadi “Jenderal-jenderal”. Lagu pelesetan itu akhirnya menjadi alat propaganda Orde Baru, yang memicu pembenaran genosida dalam rentang 1965-1966.
Sejak Orde Baru, stigma dan kontroversi lagu Genjer-genjer terus membayangi masyarakat hingga kini. “Lagu Genjer-genjer satu-satunya karya musik yang memiliki sifat benang merah sejarah Indonesia,” tuturnya.
Tomi akhirnya tergerak membuat Genjermania setelah membaca tulisan di blog tentang nasib Sinar Syamsi, anak tunggal Muhammad Arief, di Banyuwangi, yang hidup jauh dari berkecukupan. “Betapa tidak adilnya kalau anak tunggal sang pencipta lagu tidak kecipratan sukses Genjer-genjer di luar negeri, termasuk versi saya sendiri.” Menurut catatan Tempo, bukan kali ini saja lagu Genjer-genjer populer di luar negeri. Pada 2011, Dengue Fever, band asal Los Angeles, Amerika Serikat, mengaransemen lagu ini dalam bahasa Khmer, Kamboja. Klip video Genjer-genjer “rasa” Kamboja ini bisa kita tonton melalui YouTube.
Fobi Genjer-genjer dalam masyarakat
Ketenaran lagu ini di luar negeri justru terbalik dibanding di tanah kelahirannya sendiri. Meski Orde Baru telah tumbang, fobia terhadap lagu ini tak pernah berkurang. Pada 2006, misalnya. Saat itu DHGP Surabaya merilis ulang Genjer-genjer dalam 3.000 keping VCD, yang dinyanyikan oleh pemusik lokal Banyuwangi, Catur Arum. Beberapa hari setelah dirilis, ternyata album itu lenyap di pasar. Tiga tahun kemudian, pada 2009, sejumlah orang mengatasnamakan Laskar Hizbullah mendatangi Solo Radio FM, Solo. Mereka memprotes bahwa radio itu membangkitkan komunisme karena memutar lagu Genjer- genjer.
Dari tiga kali pertunjukan di Berlin tersebut, Tomi bercerita bahwa telah terkumpul donasi Rp 7 juta. Dana itu diserahkan sepenuhnya kepada Sinar Syamsi di Banyuwangi. Dia mengakui donasi masih terlampau kecil karena pertunjukannya baru digelar di kafe-kafe dengan jumlah penonton sekitar 50 orang. “Walaupun belum seberapa, jumlah itu sudah melampaui seluruh masukan yang pernah didapatkan oleh Pak Syamsi untuk lagu Genjer-genjer,” kata Tomi.
Genjermania sendiri akan melanjutkan pertunjukannya ke Belanda, Belgia, Swiss, Austria, dan Polandia. Tomi sedang menjajaki kerja sama dengan institusi lebih besar, seperti kampus dengan venue sekelas festival, agar donasi terkumpul lebih banyak. Dia berharap Genjermania bisa membuka jalan untuk rehabilitasi keluarga korban lain peristiwa 1965. Sukses lagu Genjer-genjer di luar negeri, kata dia, diharapkan bisa menyadarkan pemerintah agar memulihkan stigma lagu Genjer-genjer di hadapan publik. Maka pemerintah bisa melindungi, menjamin kebebasan pementasan, peredaran, dan penggandaan Genjer-genjer di Indonesia, khususnya di Banyuwangi, tempat Genjer-genjer berasal.
Kepada Tempo, Sinar Syamsi menceritakan kegembiraannya mendapat donasi tersebut. Sebab, baru kali ini dia memperoleh donasi atas lagu Genjer-genjer yang dinyanyikan pemusik luar negeri. “Selama ini ada royalti dari produser lokal, tapi nilainya sekitar Rp 300 ribu,” kata pria 60 tahun ini. Sinar Syamsi bercerita selama hidupnya tidak memiliki pekerjaan tetap. Stigma sebagai anak PKI membuatnya ditolak di sana-sini. Untuk menyambung hidup, istrinya yang berdagang kue menjadi penopang ekonomi keluarga.
Saat ayahnya, Muhammad Arief, diciduk pada 1965, Syamsi masih berusia 11 tahun. Dia ingat betul bagaimana rumahnya di Kelurahan Temenggungan diacak-acak massa. Hanya tiga buku berisi syair-syair lagu ayahnya yang bisa ia selamatkan. Syamsi bersama ibunya kemudian pindah rumah ke Jalan Boediono 26. Sinar Syamsi menikahi Titik Puji Rahayu, perempuan asal Magelang, Jawa Tengah. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki, yang kini telah bekerja dan bermukim di Tangerang, Banten. Pada awal Mei 2015, Sinar Syamsi memutuskan menjual rumahnya. Dia memilih pindah ke Tangerang, meninggalkan seluruh kenangan kelamnya di Banyuwangi.
Sumber Ika Ningtyas/Tempo
Foto : Radioeins.de
Artikel Majalah Tempo 8 juni 2015
This post is also available in: Indonesian