ARZIA TIVANY WARGADIREDJA | 

Hampir semua penerima beasiswa negara yang kuliah di luar negeri saat G30S terjadi tak bisa pulang ke Indonesia. Mereka dipaksa mengutuk Sukarno lewat secarik surat pernyataan.

Sabtu siang; 23 September 2017. Aku meninggalkan Jakarta hingga tiba di sebuah rumah bernuansa hijau di sebuah komplek perumahan. Aku dipersilakan masuk dan duduk di sebuah sofa warna keemasan. Semua tata letak dan dekorasi nyaris sama dengan dua tahun lalu, saat aku pertama bertandang. Si empunya rumah memintaku agar alamat rumah ini dirahasiakan.

Pria 77 tahun itu menghampiriku dengan wajah yang tak pernah berubah, senantiasa lima belas tahun lebih muda dari umur sebenarnya, tidak ada tanda-tanda penuaan, hanya kerutan seperlunya. Kemeja hijau zaitun Ia kenakan, dan duduk persis di seberangku, hanya dipisahkan meja dan semangkuk besar es kelapa muda.

“Saya percaya sama kamu pokoknya,” ujarnya. Aku yang di hadapannya menyanggupi syarat merahasiakan jati dirinya. Dia agak khawatir mendengar kampanye kebencian mengenai gerakan september 30, sebutan lain G30S, sebulan belakangan. “Kamu tahu kan, situasi politik seperti sekarang.”

Kami sepakat menyebutnya untuk artikel dengan nama lain. Aku pilih sebutan: “Iskandar”.

Iskandar adalah mahasiswa Ikatan Dinas yang berangkat menuju Swedia pada 1963 berbekal beasiswa dari pemerintahan Sukarno untuk mengambil studi teknik elektro di salah satu perguruan tinggi tertua di negara itu. Iskandar mengaku awalnya sama sekali tidak tertarik pada politik. Buku babon maupun diktat fisika serta ilmu kelistrikan cukup jadi makanannya sehari-hari. Namun, sejak situasi politik Indonesia bergejolak tahun 1965, yang berujung peristiwa G30S yang menewaskan enam jenderal lalu menyebabkan pembantaian kaum dan semua orang yang dituduh berhaluan ‘kiri’, Iskandar mau tak mau ikut melahap politik. Ia tidak pernah kembali ke tanah air hingga Orde Baru runtuh.

Berulang kali Iskandar bilang padaku bahwa apa yang terjadi padanya dan ribuan mahasiswa beasiswa Ikatan Dinas saat itu sangatlah politis. Begitu Soeharto berkuasa, serempak Duta Besar era Sukarno dipaksa turun dari jabatan, mahasiswa dan delegasi Indonesia di luar negeri yang enggan mengutuk pemerintahan Sukarno dilarang pulang. Rezim Soeharto takut akan hadirnya intelektual yang loyal terhadap Sukarno, apalagi mereka yang dianggap berhaluan kiri.

“Kami mahasiswa dikirim pemerintah Sukarno untuk mengabdi kepada bangsa Indonesia, membangun negeri. Itu perjanjian kami dari dulu. Kok diminta mengutuk. di mana ya logikanya?” kata Iskandar padaku. “Kami bukan orang politik, kami orang intelektual yang belajar ilmu di luar negeri, enggak terkait politik. Pokoknya ketika dikirim, kami hanya ingin mengabdi makanya kami tanda tangan di Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) sebelum berangkat, menyatakan pokoknya kami enggak ada hubungannya dengan politik.”

Semua itu bermula manakala sepucuk surat diterima Iskandar setahun setelah peristiwa G30S. Surat tersebut memintanya datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Stockholm agar dirinya menandatangani sebuah surat. Iskandar sadar ada yang tidak beres, pasalnya semua duta besar era Sukarno langsung turun panggung, seketika setelah Soeharto berkuasa.

“Mahasiswa Indonesia dipanggil. Kami diberi surat. Saya baca semuanya sekitar satu halaman,” kata Iskandar berusaha keras mengingat. “Inti surat tersebut yang saya ingat, ‘berdasarkan perubahan situasi di Indonesia di mana Soeharto sudah berkuasa. Dengan ini, pemerintah Sukarno yang ikut bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia sudah digulingkan, dan bahwa pemerintahan Indonesia sudah resmi menetapkan dan mengakui Soeharto sebagai presiden. Di bawahnya ada kalimat ‘bersedia mengutuk pemerintahan Sukarno yang pro-komunis’.”

Iskandar dan seorang kawannya mengusulkan agar kalimat yang mengutuk pemerintahan Soekarno dihapuskan saja, karena mereka merasa punya utang budi dengan Rezim Sukarno yang mengirim mereka ke luar negeri. Namun, petugas yang saat itu mendampingi mengatakan tidak ada yang bisa diubah dari surat tersebut. “Kalau mengutuk pemerintahan Sukarno sih kami tidak bisa,” kata Iskandar.

 

Soegeng Soejono (kanan) bersama kawan, Ali Satrijo, insinyur pertambangan. Foto dari arsip pribadi.

Setelah kejadian tersebut, pada 1967, Iskandar yang masih 23 tahun, menerima surat yang menyatakan bahwa Ia bukan lagi warga negara Indonesia. Paspornya dicabut, dan statusnya kewarganegaraannya berubah menjadi ‘stateless’. Sebuah konsekuensi yang tidak Ia bayangkan sebelumnya. Hingga kini, Iskandar masih menyimpan surat pemecatan kewarganegaraannya itu.

“Gagalnya Indonesia era 60-an itu adalah dalam memulangkan kembali ahli-ahlinya yang belajar di luar negeri,” suara Iskandar kalah saing dengan lantangnya adzan sore itu. “Mereka takut dengan mahasiswa yang dianggap ‘orang Bung Karno’, mereka takut para intelektual membangun sistem pemerintahan ala Bung Karno.”

“Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme.”

Iskandar beberapa tahun belakangan berada di Tanah Air. Ia rindu negaranya, rindu keluarga besarnya. Separuh hidupnya dia habiskan beranak-cucu di negeri orang.

Lebih dari 10.000 kilometer dari tempat Iskandar berada, Soegeng Soejono masih setia menetap di Ceko. Soejono merupakan teman seangkatan Iskandar. Mereka pernah berkenalan dan berkawan ketika sama-sama di Cekoslovakia. Soejono sempat kaget ketika mengetahui aku mengenal Iskandar. Nada suaranya naik, terdengar bahagia bisa mendengar kabar kawan lama. “Tolong salamkan ya padanya, dia itu kawanku, seingatku dulu dia pernah sakit,” kata Soejono lewat sambungan telepon denganku sambil tertawa kecil.

Soejono mengambil studi Pendidikan dan Ilmu Jiwa Anak di Fakultas Filsafat, Charles University Cekoslovakia. Tidak seperti Iskandar, Soejono tidak pernah dapat dokumen penjelasan apapun ketika kewarganegaraannya hilang begitu saja.

Kisah tragisnya dimulai seminggu setelah peristiwa G30S, Ia dipanggil Kedutaan Besar RI untuk melakukan ‘screening’, demi menyaring mahasiswa dan para intelektual yang diduga menjadi loyalis paham kerakyatan. Saat itu, menurut Soejono, mahasiswa di Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Praha sudah menduga sesuatu yang tidak beres akan menimpa tatkala mendengar kabar bahwa di Tanah Air sedang terjadi huru-hara.

Dalam screening tersebut, Soejono ditanya mengenai sikapnya terhadap Orde Baru yang ia tentang dengan lantang. Menurut Soejono, Orde Baru berlawanan dengan prinsip hidupnya yang menghargai hak asasi manusia. Jawabannya menimbulkan reaksi keras. Orang yang yang melakukan screening terhadap Soejono serta merta menuduhnya komunis.

“Itu alasan politis. Rezim itu punya doktrin, ‘siapa yang tidak ikut saya adalah musuh saya’, tidak ada demokratisasi, tidak ada argumen. Argumentasi mereka, ‘siapa yang tidak menyokong Orde Orde Baru adalah orang komunis’,” kata Soejono kepadaku. “Saya juga bukan orang komunis ya, tapi saya lihat, banyak orang yang antikomunis, tapi tidak tahu apa itu komunisme.”

Sumber: Vice.Com

This post is also available in: Indonesian