Ditemani jajaran Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Jombang, akhirnya Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Pol Machfud Arifin sowan ke KH Salahuddin Wahid di Tebuireng, Jombang. Kunjungan orang nomor satu di Kepolisian Jawa Timur ini menyusul protes keras beberapa kalangan terkait pendataan kiai oleh kepolisian Jawa Timur.
Sebelumnya, Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Timur, Arif HS, menyebut pendataan ini sebagai aksi teror. Kritik keras juga datang dari politisi Gerinda, Sodiq Mudjahid. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini menilai aksi Polda Jawa Timur telah menimbulkan keresahan. Pendataan kiai seharusnya menjadi domain Kementerian Agama.
Protes serupa datang dari Laskar Santri Nusantara (LSN), organisasi yang mengklaim beranggotakan perwakilan santri seluruh Jawa Timur. Saat berkumpul di Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto, Minggu (5/2), mereka mempertanyakan pendataan tersebut dan siap menjadi tameng bagi martabat dan harga diri kiai, sebagaimana diberitakan Radar Mojokerto Jawa Pos.
Beberapa hari lalu memang beredar foto surat mirip telegram yang berkop Kepolisian Daerah Jawa Timur, berisi instruksi melakukan pendataan kiai berpengaruh di wilayah Jawa Timur dalam rangka keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Selain itu, “Telegram” dengan nomor ST/209/I/2017/RO SDM ini menyatakan pendataan bertujuan untuk membina hubungan baik ulama dan polisi.
Sungguhpun telah diklarifikasi berkali-kali, bahkan oleh Kapolda sendiri, namun tetap saja hal itu masih menjadi tanda tanya di kalangan pesantren.
“Saya kecewa atas adanya pendataan yang dilakukan polisi. Wajar jika para kiai merasa resah karena tidak tahu maksud dan tujuan dari pendataan tersebut,” ujar Gus Solah yang juga adik kandung almarhum Gus Dur ini (Jum’at, 3/2), kepada Sindonews.
Di Balik Kekhawatiran
Keheranan Gus Solah diamini KH Irfan Yusuf, putra almarhum KH Yusuf Hasyim, Tebuireng. Menurut pengasuh Pesantren al-Farros Tebuireng ini, pendataan kiai telah mengulik memori kelam Peristiwa 65. “Ini aneh. Saya sudah 30 tahun menjadi pengasuh pesantren. Tapi, kok, baru kali ini dilakukan pendataan. Ini mengingatkan fenomena menjelang Gestapu,” ujar Gus Irfan Yusuf, Jumat (3/2/2017), seperti dilansir portal beritajatim.com.
Keresahan yang disangkut-pautkan dengan Peristiwa 65 (PKI) sungguh merupakan sesuatu yang menarik. Benar, PKI secara organisasi tidak lagi ada di Indonesia, namun bangsa ini sangat berat untuk move on dari kesalahan pewarisan ingatan peristiwa tersebut.
Kenapa PKI, partai komunis terbesar ketiga di dunia dengan 17 juta anggota dan simpatisan kala itu, bisa dengan mudah dienyahkan rezim militeristik Orde Baru dalam waktu relatif singkat, tak lain karena kuatnya relasi militer (yang didukung CIA) dan organisasi sipil kontra-PKI.
Secara lebih teknis menyangkut data dan pendataan, militer di bawah komando Soeharto cukup diuntungkan dengan asupan informasi 5000 nama tokoh/pengurus PKI–dari pusat hingga desa–pemberian pemerintah Amerika Serikat.
“It really was a big help for the army. They probably killed a lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands , but that’s not all bad . There’s a time when you have to strike hard at a decisive moment,” aku Robert Martens kepada Kathy Kadane sebagaimana dilansir The Washington Post, 21 Mei 1990. Martens yang bekerja di seksi politik Kedutaan Besar AS kala itu merupakan sosok penting.
Ia dengan tekun mengumpulkan nama-nama tersebut dalam rentang 1963-1966 melalui tracking media. Daftar nama itu selanjutnya diberikan ke militer Indonesia. Kita bisa menebak untuk apa data itu selanjutnya.
Adu Domba Data
Catatan Fealy, McGregor maupun Hermawan Sulistyo (Palu Arit di Ladang Tebu: 2000) menunjukkan eskalasi pembantaian tertuduh komunis dimulai minggu kedua Oktober 1965. Sangat mungkin amuk tersebut berlangsung setelah puluhan kiai berpengaruh dikumpulkan Basuki Rahmat, Pangdam Jawa Timur.
Yang menarik, proses pemusnahan elite PKI yang berjalan dengan supervisi militer itu juga bertumpu pada data. Para laskar partai politik dan organisasi keagamaan memburu dan menghabisi mangsanya sesuai daftar nama yang diberikan oleh militer setempat. Pengakuan AM, algojo asal Jombang sebagaimana wawancaranya di Liputan Khusus Majalah Tempo 1-7 Oktober 2012, setidaknya mengkonfirmasi hal tersebut.
“Kami dikasih tahu daftar orang yang malam itu akan dihabisi, entah siapa yang menyusun. Yang jelas targetnya pengurus teras PKI di tingkat desa, terutama ketua dan sekretarisnya,” jelas AM yang mengaku selalu berpakaian hitam plus udeng ala Sakerah saat beraksi.
Di wilayah Purwodadi, Jawa Tengah, bau busuk pembantaian besar-besar 1967-1969 terendus Jakarta setelah diungkap HJ. Princen usai mendengar curhat Romo Wignyosumarto. Tidak berselang lama, Panglima ABRI Jenderal MS. Panggabean dan Menteri Penerangan mengunjungi Purwodadi untuk melakukan pengecekan.
Pencocokan jumlah ratusan tahanan diduga PKI dengan daftar yang dimiliki militer menunjukkan jumlah relatif sama. Belakangan diketahui, beberapa hari sebelum sidak dua pejabat Jakarta itu, militer menangkapi para Sukarnois dan menjebloskannya ke penjara hanya untuk menutupi menyusutnya jumlah tahanan karena telah dieksekusi.
Yang paling mengerikan, pendataan yang berujung munculnya daftar nama korban juga menjadi alat untuk mengadu domba PKI dan lawan-lawan politiknya. Untuk memancing kemarahan kalangan Islam dan Nasionalis, tidak jarang ditemukan “daftar nama kiai” atau “daftar tokoh PKI” yang seolah-olah akan menjadi korban eksekusi.
Jika ada penyerbuan ke kantor PKI, misalnya, kerap ditemukan daftar nama kiai. Militer nampak cukup cerdik membuat plot seakan-akan PKI memang benar akan melakukan pembantaian terhadap lawan politiknya. Karenanya, seteru PKI kerap berada dalam keyakinan “lebih baik membunuh terlebih dahulu ketimbang dibunuh”.
Jika provokasi dan adu domba dalam bentuk “daftar hoax” tidak lagi cukup efektif membakar kemarahan seteru politik PKI, maka tidak jarang militer menunjukkan lubang kuburan ke kiai sembari meyakinkan lubang tersebut dibuat PKI untuk mengelabui kiai tersebut, sebagaimana pernah diceritakan Kiai I dari Kediri kepada Tempo.
Alm. KH. Yusuf Hasyim, pensiunan tentara yang cukup dekat dengan militer saat tragedi 65, nampak telah mencium gelagat adu domba. Pengasuh terlama Pesantren Tebuireng ini mengaku pernah menemui Soeharto di Kostrad saat inflasi mencapai level 600. “What’s going on with Ansor running amuck? I want this stopped!” tulis paman Gus Dur ini melukiskan kegusaran Soeharto, dalam esai pendeknya Killing Communist.
“Sir, if this is going to stop, don’t just ask us. Tell us to help,” kata Pak Ud pada Soeharto dan pimpinan militer saat itu. Dia pun kemudian mengaku dikirim ke Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk meredakan amuk tersebut,
Di wilayah-wilayah terpencil, lanjut kiai kharismatik ini, Koramil dan Babinsa merupakan pihak yang aktif memasok informasi seputar adanya daftar (hit list) milik PKI yang berisikan nama-nama kiai NU dan tokoh Ansor untuk dibunuh.
Dihantui
Bisa dikatakan, situasi politik elektoral Jakarta telah memercikkan sentimen tersendiri di kalangan kiai. Ini tak lepas dari manuver politik kekuatan Islam ideologis yang kerapkali menjadi PKI sebagai hantu yang perlu diwaspadai. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah kekalutan kolektif internal mereka akibat gagalnya strategi menarik lebih banyak massa dalam pilkada.
Di sisi lain, terasa sekali ada ketidaknyamanan kiai atas pendataan tersebut. Mungkin mereka merasa keselamatannya terancam; takut ada penculikan sebagaimana yang dikatakan KH Irfan Yusuf. Bagi saya, kekhawatiran itu tidak beralasan sama sekali mengingat tingkat keamanan negara ini semakin membaik.
Di luar itu, kekhawatiran tersebut memaksa memori saya membayangkan ketakutan ribuan tokoh PKI yang namanya ada daftar culik dan bunuh. Padahal mereka belum tentu bersalah secara hukum. Saya membayangkan betapa lunglai lutut mereka. Anak-anaknya pasti sangat terpukul ayah-ibunya “diambil” massa untuk dihabisi.
“Saya mengetuk pintu orang yang akan dihabisi. Setelah cocok dengan target kami ajak ke tempat sepi. Mereka umumnya sudah pasrah. Sekali gertak mental mereka sudah down. Setelah korban roboh jenazahnya kami tinggal begitu saja. Kami tidak pernah mengubur,” kata AM, sosok yang rasanya saya kenal baik dan bahkan kerap saya cium tangannya hingga kini, kepada majalah Tempo.
PKI akan terus menjadi hantu sampai kita bisa bersikap adil pada tragedi 65.
This post is also available in: Indonesian