henk-ngantung.jpg

 

Sumber : Berdikari Online, 07/07/2013

Dalam sejarahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak hanya pernah dipimpin oleh gubernur yang berasal dari kalangan militer, politisi maupun birokrat karir. Provinsi yang menjadi pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ternyata juga pernah dipimpin oleh seorang seniman pelukis. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat.  Sang seniman itu bernama Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau akrab dipanggil Henk Ngantung.

Pelukis Berbakat

Henk Ngantung lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 1 Maret 1921. Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak usia 13 tahun, dan mulai memperdalam ilmu melukisnya di tahun 1937 ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.

Salah satu guru  melukisnya adalah pelukis  terkenal  asal Austria, Rudolf Wengkart. Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, tahun 1936, atau  ketika ia berumur 15 tahun. Hal ini menunjukkan besarnya bakat seni lukis yang ada dalam dirinya.

Ia pun  mulai berkenalan dengan pelukis-pelukis profesional seperti Luigi Nobili dan  Affandi yang bergabung dalam Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia  (PERSAGI),  sebuah organisasi  seni  rupa yang bertendensi nasionalis.

Menjelang penyerbuan Jepang ke Indonesia,  Henk  hijrah ke Jakarta dan rutin mengikuti pameran lukis  terutama sejak  lembaga  Bataviasche van Kunstkringen  berdiri. Selain mengikuti pameran bersama kawan-kawannya, Henk juga sering  mengadakan pameran tunggal. Salah satunya adalah pameran tunggal di hotel Des Indes, Jakarta, tahun 1948. Kelak, lukisan Henk yang kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian dari koleksi lukisannya.

Henk juga  dikenal  sebagai pelukis yang mengilustrasikan  berbagai peristiwa sejarah penting di Republik ini  dalam bentuk lukisan sketsa. Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville. Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini didokumentasikan dalam buku “Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masa”, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.

Selepas revolusi kemerdekaan, Henk tetap bergerak di bidang seni lukis dengan menjadi guru pembimbing pelajaran seni bagi beberapa mahasiswa tanpa dibayar.  Disamping itu, ia juga sering berpartisipasi pada misi-misi kebudayaan dan pameran lukis di luar negeri.

Henk juga tetap aktif memajukan dunia seni bersama dengan para seniman lainnya.  Ia turut mendirikan ‘Gelanggang’ bersama dengan Chairil Anwar dan Asrul Sani.  Kiprahnya di bidang seni itu  juga yang membuat Henk dipercaya  menjadi pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok pada tahun 1955 hingga 1958.

Selain itu, bakat seni lukis-nya itu juga mengantarkan beliau pada jabatan Ketua Seksi Dekorasi dalam Panitia Negara Penerimaan Kepala-Kepala Negara Asing  pada tahun 1957. Kiprahnya di bidang seni itu pula yang membuatnya memperoleh kepercayaan untuk menjadi  anggota Dewan Pertimbangan Agung mewakili Golongan Karya Seniman pada masa Demokrasi Terpimpin.

 

Gubernur Dan Lekra

Pada  tahun 1960, Henk  dipilih oleh Bung Karno menjadi Wakil Gubernur (Wagub) mendampingi  Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Soemarno.  Penunjukan dirinya sebagai  Wagub tersebut diprotes oleh para anggota Dewan Kota. Mereka menganggap Henk tidak layak menduduki jabatan itu. Namun Bung Karno tetap teguh pada keputusannya, karena ia menginginkan Jakarta  tumbuh sebagai kota seni dan budaya; dan Henk dianggapnya sesuai dengan kualifikasi itu.

Meski ada sebagian pihak yang memprotesnya, namun pengangkatan Henk sebagai Wagub DKI didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini disebabkan  ketika itu Henk telah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PKI. Bahkan ia pun pernah menjabat Wakil Sekjen Lekra.

Menyikapi hal ini, istri Henk, Evelyn Mamesah berujar, “Bergabungnya pak Henk ke Lekra  semata-mata karena kecintaannya terhadap seni.” Sementara menurut Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga  yang pada masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri Lekra.

Pada masa Henk menjabat sebagai Wagub DKI itulah, ia merancang monumen dan simbol yang  hingga kini menjadi ciri khas  kota Jakarta, seperti  Tugu Selamat Datang dan lambang DKI Jakarta. Khusus untuk pembangunan Tugu Selamat Datang itu sendiri,  tak terlepas  dari digelarnya pesta olahraga Asian Games pada tahun 1962. Ketika itu, pemerintahan Bung Karno ingin ‘memoles’ kota Jakarta agar menjadi kota yang layak bagi digelarnya sebuah event internasional. Apalagi, event tersebut juga menjadi show a force  bagi Indonesia sebagai sebuah Negara yang anti neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dengan tindakan kongkret menolak keikutsertaan Taiwan dan Israel dalam event tersebut karena kedua negara itu dianggap representasi  kekuatan nekolim.

Maka pemerintah  pun membangun  sebuah hotel  kelas internasional dengan fasilitas yang bagus  untuk tamu-tamu negara yang menjadi peserta Asian Games. Hotel  itulah yang kemudian dinamakan  Hotel Indonesia (kini menjadi  Hotel Kempinski). Bukan hanya hotel, Bung Karno ingin  pula membangun sebuah monumen tepat di depan  hotel tersebut sebagai sebuah simbol   penyambutan bagi  para tamu negara

Ternyata, Henk  telah  memiliki konsep tentang  simbol tersebut jauh sebelum digelarnya event itu. Henk telah  memiliki lukisan sketsa sepasang pemuda-pemudi yang sedang melambaikan tangannya, seperti sedang  menyambut kedatangan tamu.  Sehingga ketika Bung Karno meminta untuk dibangunkan sebuah tugu penyambutan di depan Hotel Indonesia, Henk segera mengajukan konsep tersebut. Dan Bung Karno pun sepakat.

Maka dibangunlah sebuah tugu  berdasarkan konsep karya Henk, dan tugu yang tetap kokoh berdiri hingga kini tersebut dinamakan Tugu Selamat Datang. Sebagai tambahan, pematung yang merealisasikan konsep Henk menjadi sebuah patung  di tugu tersebut adalah Edhie Sunarso, seorang pematung muda berbakat pada masa itu.

Pada tahun 1964, Henk  diangkat sebagai  Gubernur DKI Jakarta menggantikan Soemarno yang ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri oleh Bung Karno.  Namun, masa jabatannya sangat singkat, yakni 1 tahun. Hal ini dikarenakan meletusnya  peristiwa  Gerakan Satu Oktober (Gestok)  tahun 1965.

Tragedi Gestok 1965 membuat alur hidup Henk dan keluarga berubah drastis. Kedekatannya dengan Bung Karno serta keanggotaannya di Lekra membuat Henk digolongkan sebagai  pejabat ‘kiri’ yang harus disingkirkan oleh  pihak penguasa militer pasca Gestok.

Seperti halnya beberapa Gubernur dari provinsi lainnya di Indonesia yang diberhentikan, bahkan ada yang diculik hanya karena kedekatannya dengan Bung Karno serta didukung PKI, begitu pun nasib Henk.  Ia diberhentikan dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta  setelah peristiwa Gestok. Namun, pemberhentian itu bukanlah akhir dari penderitaan Henk sekeluarga.

Stigma PKI yang cukup ‘mematikan’ pada era Orde Baru membuat Henk tidak mendapatkan uang pensiun dan hak-hak sipil selayaknya warga negara lainnya.  Tatkala kesehatannya memburuk dan matanya hampir  buta karena penyakit  glaukoma, Henk tetap  tidak mudah untuk menjalani pengobatan karena pihak rumah sakit enggan berurusan dengan Henk yang ‘PKI’.

Tak hanya itu, ketika anak-anak Henk ingin kuliah dan bekerja pun dipersulit dengan stigma ‘anak PKI’. Hingga akhir hayatnya di tahun 1991, Henk tidak memperoleh penghargaan selayaknya mantan pejabat negara yang telah berjasa bagi Jakarta dan Republik ini. Begitulah nasib sang Gubernur-Seniman yang terlupakan.

Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Sumber: Berdikari Online

This post is also available in: Indonesian