Index: ASA 21/6892/2017 | 9 Agustus 2017

Amnesty International sangat prihatin dengan upaya intervensi aparat untuk membubarkan diskusi tertutup internal dan acara publik yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi 50 tahun lalu. Baru-baru ini, terjadi pembubaran lokakarya yang digelar oleh penyintas 1965 dan pembela hak asasi manusia di Jakarta pada 1 Agustus 2017. Tindakan yang jelas melanggar hak kebebasan berekspresi dan berkumpul dengan damai ini tentu harus dihentikan. Presiden Joko Widodo harus segera mengakhiri segala bentuk pembatasan diskusi publik terkait dengan peristiwa 1965 dan memastikan bahwa suara para korban dan keluarga didengar, bukan dipadamkan.

Pada tanggal 1 Agustus 2017, aparat kepolisian dan militer Jakarta Timur membubarkan lokakarya yang diadakan oleh Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) 1965 guna mempublikasikan temuannya. IPT 1965 merupakan sebuah inisiatif masyarakat sipil yang didirikan untuk meningkatkan kesadaran internasional mengenai pelanggaran HAM pada tahun 1965. Menurut organisasi HAM setempat, setidaknya sudah ada 39 kasus sejak tahun 2015 dimana pihak berwenang membubarkan acara-acara dan mengintimidasi masyarakat yang berkaitan dengan kejadian 1965.

Contoh lainnya terjadi di Ambon, Maluku, dimana para panitia terpaksa harus memindahkan acara diskusi mereka ke gereja setelah diintimidasi oleh polisi pada 18 Maret 2017. Selain itu, intimidasi oleh aparat keamanan juga terjadi di Bandung dan Cirebon (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur) dan Yogyakarta. Seluruh kejadian tersebut berkaitan dengan IPT 1965 dan terjadi antara bulan Maret dan Juli 2017. Dalam banyak kasus, kelompok intoleran juga main hakim sendiri dalam upaya pembubaran, sedangkan aparat kepolisian tidak berupaya untuk melakukan pencegahan atau intervensi apapun.

Pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai ini sangat bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi yang telah berjanji untuk menangani seluruh pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pelanggaran di tahun 1965. Pada April 2016, pemerintah menyelenggarakan simposium ‘Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan’ yang mengumpulkan penyintas, ilmuwan, aktivis HAM, seniman, mantan anggota militer Indonesia dan pejabat pemerintah untuk membahas kejadian 1965. Salah satu rekomendasi utama dari simposium tersebut adalah agar pihak berwenang mengakhiri seluruh bentuk pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai terhadap diskusidiskusi publik yang terkait dengan pelanggaran HAM di tahun 1965.

Amnesty International percaya bahwa para korban pelanggaran tahun 1965 memiliki hak untuk berkumpul secara damai untuk diskusi dan bertukar informasi dan gagasan mengenai kejadian masa lalu. Pemerintah seharusnya mencari cara untuk mendukung inisiasi yang bertujuan untuk memastikan kebenaran, keadilan, dan reparasi yang memadai dan efektif, sesuai dengan kewajiban internasional Indonesia.

Latar Belakang

Diperkirakan 500.000 sampai satu juta orang dibunuh dan ratusan ribu orang ditahan antara beberapa hari sampai lebih dari 14 tahun ketika militer Indonesia melancarkan serangan sistematis terhadap anggota dan terduga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua ini dilakukan di luar hukum yang berlaku. Investigasi oleh Komnas HAM dan organisasi HAM lainnya telah mendokumentasikan serangkaian pelanggaran HAM selama periode ini, antara lain pembunuhan, penyiksaan, penghilangan secara paksa, pemerkosaan, perbudakan dan kejahatan seksual, perbudakan, pemindahan paksa dan kerja paksa, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan pembunuhan. Sampai hari ini, banyak korban dan keluarga mereka yang masih mengalami pelanggaran hak-hak sosial, ekonomi dan budaya mereka melalui diskriminasi baik di bidang hukum maupun dalam praktik.

Penyelidikan pelanggaran HAM pada peristiwa 1965-1966 yang dilakukan oleh Komnas HAM selama tiga tahun menyimpulkan bahwa temuan mereka memenuhi kriteria pelanggaran HAM berat, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sesuai dengan definisi UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, sampai hari ini, belum ada indikasi bahwa pemerintah akan melakukan penyelidikan kriminal. Sementara itu, upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tingkat nasional terhenti karena kurangnya kemauan politik.

Setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998, memang sudah ada peningkatan dalam ruang kebebasan berekspresi di Indonesia. Namun, budaya pembungkaman masih berlangsung untuk diskusi mengenai pelanggaran hak asasi manusia 1965.

sumber: Amnesty Internasional

This post is also available in: Indonesian