sumber: CNN Indonesia
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid berpendapat rakyat masih belum sepenuhnya dapat berpikir bebas meski Reformasi telah memasuki tahun ke-18 di Indonesia.
“Masyarakat masih terkungkung ketakutan. Terbiasa panik sebelum tahu akar masalah yang sebenarnya,” kata Hilmar kepada CNNIndonesia.com di kantor Kemendikbud, Jakarta, Selasa (24/5).
Membebaskan masyarakat dari belenggu ketakutan dan ketidaktahuan, kata Hilmar, merupakan agenda Reformasi yang masih sulit dicapai.
Meski Hilmar kini resmi menyandang status pejabat negara, ia tak pernah lupa tragedi 18 tahun silam, saat kerusuhan pecah di ibu kota sehari sesudah empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak dalam demonstrasi di kampus mereka.
Hilmar merupakan salah satu orang yang terjun langsung menolong para korban kerusuhan. Dia bersama rekan-rekan aktivisnya di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) pun gentayangan ke penjuru Jakarta untuk melakukan investigasi demi mencari jawaban terkait akar penyebab kerusuhan.
Pada masa itu, kata Hilmar, rumah sendiri bahkan tak lagi jadi tempat yang aman bagi sebagian orang. Warga dicekam ketakutan dan ketidaktahuan. Apa yang sesungguhnya terjadi pada negara mereka, semua menjadi tanda tanya besar.
Ibu kota, 12-15 Mei 1998, tak seramai biasanya. Aktivitas warga tak berjalan normal. Jalan-jalan protokol lengang. Pertokoan tutup. Ketidakteraturan muncul di mana-mana. Rakyat seperti tanpa pelindung. Anarki.
“Motor bisa naik ke jalan tol, mobil bisa jalan ke arah yang berlawanan. Pokoknya chaos. Aturan hukum seperti terhenti,” ujar Hilmar. Kerusuhan diiringi kekerasan. Empat hari itu, kata Hilmar, kericuhan di beberapa tempat di ibu kota seperti berjalan sistematis. Korban berjatuhan dari sipil.
Seingat Hilmar, sekitar 1.198 orang tewas akibat kerusuhan dan kesewenang-wenangan aparat kala itu. “Berita simpang siur, masyarakat larut dalam histeria, semua panik.”
Turun menyelidik
Tim Relawan untuk Kemanusiaan, wadah di mana Hilmar bergabung, dibentuk sebagai organisasi massa yang bergerak di bidang kemanusiaan untuk kepentingan masyarakat, khususnya para korban kekerasan politik negara.
Jauh sebelum kerusuhan Mei 1998 meletus, sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan individu membentuk tim untuk membongkar kekerasan politik dan memberi pertolongan terhadap para korban tanpa memandang siapapun yang menjadi korban.
Tim yang di bawah koordinasi Sandyawan Sumardi itu telah terbiasa menangani para korban tragedi kemanusiaan. Namun agar kinerja lebih sistematis, para pengurusnya, termasuk Hilmar, melembagakan tim mereka menjadi Tim Relawan untuk Kemanusiaan pada 24 Mei 1998.
“Jadi dimulai tahun 1996 ketika banyak peristiwa kekerasan terjadi di daerah-daerah. Sepintas, konflik seakan disebabkan perbedaan etnis agama hingga tingkat yang menghawatirkan,” kata Hilmar.
Hilmar bertugas menyelidiki dan membongkar fakta-fakta kekerasan politik yang berusaha ditutupi oleh penguasa. Dia terjun ke lapangan mencari data.
Di kala orang-orang menghindari kerusuhan, Hilmar dan timnya justru menenggelamkan diri pada kawasan konflik untuk mengorek fakta.
“Kami coba dari hal paling dasar, yakni berapa jumlah sebenarnya korban. Kami sambangi mal yang terbakar, ikut evakuasi jenazah sambil kumpulkan cerita,” kata Hilmar.
Saat itu TRK seperti biro penerangan untuk publik, sebab masyarakat seolah dikacaukan dengan pemberitaan yang simpang siur. Mereka takut dengan beredarnya berbagai spekulasi soal kerusuhan yang sesungguhnya belum tentu benar.
Terlebih media sibuk dengan pemberitaan terkait kerusuhan tanpa sanggup menyodorkan alasan kenapa kerusuhan bisa terjadi. TRK pun ingin membuka mata masyarakat dan menarik mereka dari jurang ketidaktahuan.
“Fakta yang kami dapat, dikomunikasikan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Kami buka posko dan layanan telepon bagi masyarakat yang ingin pegangan informasi jelas,” ujar Hilmar.
Pemberian informasi yang benar, tegas Hilmar, teramat penting karena ketakutan dan ketidaktahuan dapat berdampak fatal, mendorong masyarakat mudah dipengaruhi dan dimanipulasi oleh provokator.
Apalagi masyarakat mudah tersulut. “Sedikit saja diprovokasi, panik dan bisa membuat kerusuhan baru. Padahal enggak tahu pasti sumber informasinya,” kata sejarawan dan budayawan lulusan jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu.
Perasaan dikungkung ketakutan, menurut Hilmar, bahkan terbawa hingga masa ini. Hal itu tampak jelas pada reaksi atau respons sebagian masyarakat dan pejabat atas isu kebangkitan komunisme.
“Isu komunisme di Indonesia itu bagian dari dinamika perbudakan Orde Baru. Kita dikuasai ketakutan dan ketidakpahaman. Orang belum sepenuhnya mengerti apa itu komunisme sehingga segala hal berbau komunis dianggap sebagai ancaman. Padahal belum tentu,” kata Hilmar.
Reformasi bukan Renaisans. Perlu segala daya upaya untuk mengeluarkan rakyat Indonesia dari jurang ketakutan dan ketidaktahuan.
This post is also available in: Indonesian