Dalam peringatan HUT ke-70 kemerdekaan Indonesia yang diadakan para eksil tragedi 1965 di Amsterdam, Belanda, puisi aktivis yang hilang, Wiji Thukul, berjudul “Kemerdekaan” dibacakan Farida Ishaja, seorang eksil perempuan, dengan penuh penghayatan.

Semua eksil dan yang hadir tercengang, terharu, dan ikut menghayati. Farida Ishaja adalah pengurus yayasan DIAN, salah satu organisasi perempuan Indonesia di Belanda yang dibentuk tahun 1987.

Para eksil terharu ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan. S. Sarmadji menuturkan, sejak lagu Indonesia Raya berkumandang sampai dinyanyikannya lagu Tanah Air, ia merasa nyesek.

Dengan mata menerawang ia berkata,” Seharusnya saya berada di Indonesia dan bisa merayakan kemerdekaan Indonesia di Tanah Air. Tapi saat ini saya berada di Belanda. Saya harus bisa bersyukur meskipun hanya merayakannya di sini. Saya berjuang untuk Indonesia, tapi kok enggak bisa injak Tanah Air saya. Saya sudah tak bisa lagi menangis dan bersedih hati. Meskipun saya kecewa dengan praktek korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia.”

Sarmadji adalah salah satu eksil yang juga ketua PERDOI (Perhimpunan Dokumentasi Indonesia).

Ibrahim Isa, juga seorang eksil, datang bersama istri dan putrinya. Ia mengatakan bahwa hatinya selalu bergetar saat mendengar suara rekaman Soekarno saat membacakan teks proklamasi. Di acara seperti ini, selain bertemu dengan kawan-kawan senasib, ia juga merasa bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang sudah maju.

“Bukan berarti sebagai eksil yang dilarang pulang ke Tanah Air kami lantas menjadi tenggelam dan tidak berbuat apa-apa. Kami justru tetap memiliki kepedulian dan keterlibatan dengan Indonesia. Mungkin kesadaran berbangsa saya dan kawan-kawan eksil lebih tinggi dari mereka yang duduk di parlemen sekarang,” kata Isa.

Menurut Isa, saat ini ada tiga sikap yang dimiliki sesama eksil tentang pemerintah Indonesia. Pertama, mereka yang mendukung pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi saat ini dan memberi kesempatan; kedua, mereka yang mengatakan bahwa pemerintah saat ini hanya janji-janji kosong; ketiga, mereka yang wait and see.

Ibrahim Isa mengaku pernah bergabung dalam BKR ( Badan Keamanan Rakyat) yang lalu menjadi TKR, cikal bakal TNI saat ini. Ia juga setuju dengan pernyataan salah satu tokoh Gerindra yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi atas nama pemerintah sebaiknya minta maaf kepada korban pelanggaran HAM tahun 1965. Juga alasan-alasan yang disampaikan oleh tokoh Gerindra itu.

Anna Siregar, perempuan yang sempat dikirim sekolah ke Moscow, Rusia, tahun 1962, merasa wajib menghadiri acara perayaan kemerdekaan Indonesia. Alasannya, selain bertemu dengan sesama eksil, ia merasa jati diri sebagai warga negara Indonesia terungkap. Maklum saja, selama bertahun-tahun ia kehilangan identitas.

“Paspor Indonesia saat diambil begitu saja saat sedang belajar di Moscow. Lalu saya juga harus bersusah payah mendapatkan kewarganegaraan dari negara lain. Dilarang kembali ke Tanah Air dan tentu saja itu sama sekali bukan keinginan saya,” ujar Anna Anna dengan mata berkaca-kaca.

Siswa Santoso, peneliti dan aktivis HAM di Belanda, mengatakan peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang diselenggarakan Perhimpunan Persaudaraan memiliki makna yang lebih dalam. Ia membayangkan bagaimana penderitaan mereka yang hak asasinya dirampas begitu saja oleh negara, tetapi masih tetap peduli dan cinta dengan Tanah Air. “Mengikuti perkembangan situasi dan politik Indonesia dan juga berkarya dalam bentuk lain di negara lain (Belanda) itu adalah sikap yang luar biasa,” ujar Siswa.

Sumber: Tempo.co.id

This post is also available in: Indonesian