Selasa, 2 Mei 2017 07:49 WIB

Yogyakarta – Panitia Kongres International People Tribunal (IPT) 65, Reza Muharram, mengingatkan janji Presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, termasuk peristiwa 1965-1966, harus terus ditagih. Janji yang diucapkan Jokowi ketika kampanye menjelang pemilihan presiden pada 2014 lalu itu hingga kini belum ada tanda-tanda akan diselesaikan secara serius.

“Janji Jokowi itu sudah masuk RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Harus ditagih terus,” katanya, yang juga Steering Committee IPT 65, seusai diskusi bertema “Jalan Berkeadilan Bagi Penyintas” di Kampus APMD Yogyakarta, Sabtu sore, 29 April 2017.

Akibat kasus 65 belum diselesaikan, kata Reza, timbul perlakuan represif terhadap elemen-elemen masyarakat yang menginginkan pengungkapan kebenaran kasus 65. Misalnya, tindakan pembubaran dan pelarangan sejumlah diskusi, pemutaran film, dan kegiatan-kegiatan dengan pemberian stigma komunis. Termasuk tudingan kemunculan komunis gaya baru kepada orang-orang atau elemen masyarakat yang menginginkan pengungkapan kasus tersebut.

“Kalau pemerintah belum mampu menyelesaikan, jangan ganggu kami elemen-elemen masyarakat Indonesia yang berinisiatif mengungkap kebenaran kasus 65,” ucapnya.

Tak hanya anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mempunyai hak mengetahui kebenaran kasus tersebut, melainkan orang-orang dan kelompok yang di-PKI-kan serta masyarakat yang tidak mengetahui atau tidak terkait dengan kasus 65. “Hak untuk mengetahui bukan hanya hak korban, tapi juga hak masyarakat Indonesia sebagai bangsa,” ujarnya.

Hal baru yang terungkap dalam Pengadilan IPT 65 adalah adanya indikasi kejahatan genosida. Hasil itu telah memperkuat dugaan terjadinya kejahatan kemanusiaan sebagaimana laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2012. Reza berharap dokumen hasil siding itu menjadi dokumen terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut.

Hanya, menurut dosen Kebijakan Internasional Publik dari Universitas Osaka Jepang, Akihisa Matsuno, indikasi genosida tersebut belum ada kejelasan apakah indikasi tersebut menggunakan konsep kemanusiaan atau dengan konsep politik. Sebab, kasus 65 dinilai Akihisa lebih dari sekadar kejahatan kemanusiaan. Mengingat pembantaian kasus 65 bukan atas dasar isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tapi lantaran pilihan politik.

“Belum ada kesimpulan tegas dan jelas. Konsep hukum selalu berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman,” tuturnya.

Panitia IPT 65 lain, Dianto Bachriadi, menambahkan, bukan tidak mungkin kasus 65 bisa berulang kembali saat ini atau mendatang.

“Tandanya sudah ada. Polanya jelas. Kelompok lain sudah menjadi incaran kelompok politik lain. Artinya, jaminan keberlangsungan keamanan tak ada di negeri ini,” kata Dianto.

Untuk mendapatkan kesimpulan yang jelas dan tegas dari kasus tersebut, Reza pun mengajak semua elemen masyarakat membentuk gerakan mengungkap kebenaran kasus 65. Salah satu caranya, jika menemukan kuburan massal di suatu daerah, warga bisa menghubungi IPT untuk melakukan klarifikasi. Begitu pula apabila bertemu dengan penyintas yang usianya di atas 70 tahun, warga bisa merekam kesaksiannya.

Reza merasa harus terus menagih janji Jokowi saat pemilihan presiden 2014 lalu untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

PITO AGUSTIN RUDIANA
Sumber: Tempo.Co

This post is also available in: Indonesian