Reporter: Petrik Matanasi | 11 Juli, 2016

tirto.idJika Pulau Buru adalah “neraka” buatan orde baru, maka Boven Digoel bisa disebut sebagai “neraka” buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Baik Digoel dan Buru tak ubahnya Kamp Siberia, yang tak lain adalah tempat pembuangan buatan Rusia. Tak harus ada tukang pukul kolonial yang kejam untuk menyiksa orang buangan, karena berada di Digoel adalah siksaan tersendiri.

Boven Digoel dijadikan kamp khusus untuk membuang orang-orang yang terlibat pemberontakan PKI 1926. Keputusan itu diambil setelah pertemuan para pejabat tinggi Hindia Belanda pada 18 November 1926 di Betawi (Jakarta). Lokasinya adalah hulu Sungai Digoel, tepat di tengah pulau Papua.

Lebih dari sejuta orang dikirim ke Boven Digoel. Pada awalnya, penghuni Digoel adalah orang-orang komunis yang tergabung dalam PKI. Ada pula orang-orang Sarekat Islam yang terlibat pemberontakan PKI meski tak semuanya berideologi komunis. Setelah 1932, orang-orang Nasionalis non PKI macam Hatta, Sjahrir dan pengikutnya pun dibuang ke sana.

Siksa Sepi Di Pedalaman Papua

Kamp Tanah Merah di Digoel punya lapangan sepakbola, gedung pertunjukan juga rumah sakit. Kota ramai terdekat adalah Merauke. Jaraknya sekitar beberapa hari dengan kapal uap. Digoel jelas jauh dari keramaian.

Kamp Tanah Merah juga Kamp Tanah Tinggi bukan kamp kerja paksa. Tak ada kerja paksa membuka lahan seperti yang pernah dialami Pramoedya Ananta Toer dan rekan-rekan tahanan politiknya di Pulau Buru. Kerja keras hanya perlu mereka lakukan di awal-awal pembuangan, ketika fasilitas umum dan rumah-rumah sedang dibangun. Semua yang dikerjakan orang buangan itu pada akhirnya dipakai oleh mereka juga.

Setelah semua fasilitas umum dan rumah-rumah terbangun, orang-orang buangan itu bebas berkeliaran, tetapi tak lebih dari 30 kilometer dari rumah mereka. Jika lebih dari itu, maka akan dikejar oleh polisi dan serdadu Hindia Belanda yang jumlahnya puluhan orang.

Tanpa uang, orang buangan bisa hidup. Mereka mendapatkan bahan makanan dari pemerintah kolonial. Namun, pemerintah juga membuka sedikit lapangan kerja bagi yang ingin memperoleh uang. Orang buangan bernama Chalid Salim, adik dari Agus Salim, juga bekerja untuk pemerintah di bagian kesehatan. Begitu juga tokoh Maluku A.J. Patty yang jadi mantri.

Hampir semua orang buangan tak tahan berada di Digoel. Meski ada beberapa fasilitas hidup, mereka terasing dari dunia luar. Orang-orang buangan yang kebanyakan pernah hidup di Pulau Jawa yang ramai itu merasa kesepian.

“Meski ada juga kegiatan-kegiatan olah raga untuk mengisi kesepian, tampak juga sikap keguncangan jiwa mereka,” aku Lukman, pengikut Hatta yang juga dibuang ke Boven Digoel. Lapangan sepakbola yang disediakan pemerintah kolonial ternyata tetap tak mampu mengusir sepi.

Yang agak melegakan, orang-orang buangan boleh membawa istri atau anak mereka. Bagi yang tak berkeluarga, mereka akan punya pikiran untuk kabur dari Boven Digoel.

Sayangnya, kabur dari Boven Digoel sendiri bukan hal mudah. Menurut Marco Kartodikromo dalam bukunya Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel (2002), dibutuhkan waktu paling cepat 15 hari berperahu untuk bisa bertemu kampung orang Papua yang beragama Kristen. Setelah itu baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Thursday Island. Pelarian itu harus melewati belantara Papua yang banyak dihuni suku terasing. Dalam pelarian, mereka hanya bisa memakan daun buah melinjo dan kluwih yang mereka jumpai. Jika beruntung mereka akan makan daging hewan buruan yang mereka temukan.

Kabur dari Digoel

Legenda Tukang Kabur

Bulan Januari 1929, seorang wakil pemerintah kolonial A.R. Block mulai memerintah di Digoel. Dia memaksa semua orang buangan berladang. Banyak orang buangan yang tak suka dengan paksaan itu. Tanah Digoel sendiri bukan lahan yang tak cocok untuk ditanami tanaman pangan seperti padi. Sebagian orang buangan melawan. Selain dengan aksi memantati pejabat yang datang, sebagian dari mereka melawan dengan cara kabur.

Di bulan April, Darsono asal Betawi dan Suhodo asal Semarang, kabur dari Tanah Merah. Mereka masuk hutan. Dalam pelariannya, Suhodo meninggal dan Darsono terpaksa kembali untuk cari bantuan mengurus jenazah Suhodo. Darsono lalu diperiksa dan diisolasi.

Selain itu, Mustakim asal Tegal dan Sinduatmo juga kabur pada 23 Februari 1929. Mereka
naik perahu menyusuri sungai. Namun, dalam perjalanan mereka bertemu Kapal uap Reteh milik perusahaan kapal Belanda KPM. Kapal uap itu hendah masuk ke Digoel. Mereka pun ditangkap lagi.

Pelarian tak hanya dilakukan satu atau dua orang. Tahun 1930, terdapat sekitar 10 orang yang melarikan diri. Mereka adalah Abas Hutagalung, Achmad Bin Husin, Hardjo alias Wirjosoedarmo, Sariman Martowirejo, Sadaja, Sukrawinata alias Roesbili, Dachlan alias Achmad Dahlan, Baharoedin Saleh dan Bakar Gelar Sidi. Mereka gagal kabur dan tertangkap. Mereka lalu diangkut dan kemudian ditahan selama setahun dalam kurungan dan tubuh mereka dirantai.

Setidaknya, ada 30 orang telah berusaha melarikan diri, sebagian telah mencapai Pulau Thursday di Australia. Mereka tertangkap oleh aparat Australia karena tak punya paspor. Perjanjian Ekstradisi Belanda dengan Australia adalah kutukan bagi pelarian dari Digoel. Mereka yang tertangkap kemudian dikembalikan ke Boven Digoel.

Di antara pelarian malang itu, dalam tulisannya, Marco begitu terkesan dengan Thomas Najoan. Dia adalah salah seorang sosialis generasi pertama Indonesia. Dia pernah jadi aktivis buruh di Semarang. Meski bukan pimpinan tertinggi PKI, dia dianggap berpengaruh.

“Kalau mendengar cerita mereka yang lari, amat sedih hati kita, walau begitu ada juga yang sampai dua kali lari seperti kawan Najoan dan Gusti Johan Idrus,” tulis Marco.

Di tengah Digoel yang mengerikan itu, Thomas Najoan selalu punya rencana kabur ketika dirinya sedang sehat. Dia pernah jadi orang frustasi ketika hanya berdiam di kamp Tanah Merah yang sepi dan membosankan.

Setidaknya, ia mencoba kabur tiga kali. Begitu yang ditulis oleh beberapa orang yang mengenalnya, seperti Chalid Salim atau Sjahrir. Pelarian pertama Najoan di tahun 1929, tergolong sukses, karena mencapai Pulau Thursday. Kebijakan ekstradisi membuatnya terlempar kembali ke Boven Digoel. Padahal, Najoan berhasil melewati ganasnya alam Papua. Kala itu Sungai Digoel yang dilalui Najoan masih dipenuhi buaya.

“Australia tidak suka padaku, maka kembalilah ke Om Bintang,” canda Najoan dan orang buangan yang mendengar tertawa. Orang-orang buangan di Boven Digoel mengenal Om Bintang sebagai seorang bekas tentara dari suku Ambon yang jadi kepala polisi di Tanah Merah. Om Bintang bersikap galak jika ada pembesar di sekitar orang buangan. Namun, sebagian menilai dia cukup baik pada orang buangan.

Menurut Marco, Najoan bersama Rompis, Katamhadi, Bagindo Kasim dan Usman Keadilan yang tertangkap sepanjang perjalanan tangan dan kakinya dirantai. Begitu tiba di dermaga Boven Digoel seorang polisi bertanya, apakah dia akan kabur lagi?

“Memang, kalau perlu,” jawab Najoan singkat. Najoan sendiri sering menjadi pemimpin dalam usaha pelarian. Selain berpengalaman kabur, Najoan adalah orang kuat optimismenya dan bersemangat. Daya tahannya terhadap siksa tergolong baik di mata Marco.

Najoan pernah kabur melalui jalur lain tetapi bertemu suku yang kepala kampungnya malah bekerja sama dengan polisi Belanda untuk menangkap Najoan dan kawan-kawan dengan imbalan tembakau terbaik. Najoan pernah nyaris bunuh diri karena frustasi setelah sekian lama tak melarikan diri.

Rasa sepi yang menyiksanya, membuat Najoan kabur lagi setelah hampir lima belas tahun di Digoel. Sekitar tahun 1942, Najoan kabur lagi. Polisi kolonial Belanda pun tak bisa menemukannya lagi. Pemerintah Belanda tak bisa mengejarnya karena harus berperang melawan Jepang dalam Perang Pasifik. Tak ada lagi kabar soal Najoan selain cerita kabur penghabisannya dari Boven Digoel.

Kabur adalah pilihan utama bagi mereka-mereka yang tak sanggup menahan siksaan sepinya Digoel. Meski tak mudah, tetapi upaya kabur dianggap lebih baik ketimbang mati perlahan karena kesepian.

(tirto.id – pet/nqm)
https://tirto.id/kabur-dari-digoel-bsnx

This post is also available in: Indonesian