Amnesia Sejarah, Andreas Iswinarto, 2015

Amnesia Sejarah, Andreas Iswinarto, 2015

Oleh: Bonnie Setiawan*

Sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada peristiwa 1965-1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan penghilangan orang secara paksa.  Selain itu, para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan mental  (psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan diskriminasi di  bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya.

(Pernyatan KOMNASHAM Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966, 23 Juli 2012)

Sebagaimana rilis KomnasHAM di atas, maka area genosida sistematis pada masa 1965-1966 meliputi berbagai hal yang bisa kita bayangkan, ataupun yang tidak bisa kita bayangkan, karena kejamnya dan biadabnya gerakan pembasmian kelompok masyarakat yang dianggap sebagai anggota PKI, anggota organisasi-organisasi afiliasinya, simpatisannya, orang-orang yang tersangkut langsung atau tidak langsung dengan kegiatan-kegiatan PKI atau afiliasinya, orang-orang kiri baik dari kalangan Nasionalis, Sukarnois maupun ormas-ormasnya, dan orang-orang di pedesaan atau dimanapun yang berada di tempat dan waktu yang salah. Genosida ini sangat-sangat buruk dalam ukuran peradaban sebuah bangsa ataupun bangsa-bangsa di dunia. Dan anehnya hingga saat ini para penguasa dan elit Indonesia enggan untuk menyingkap tabir gelap sejarah bangsanya sendiri, seolah-olah masih hidup di jaman purbakala dengan ukuran-ukuran peradaban yang rendah dan hina.

Bahkan hingga kini kalangan terpelajar, mahasiswa, pelajar dan kebanyakan generasi muda masih tidak tahu-menahu mengenai apa yang terjadi di masa 1965-1966 tersebut dan sesudahnya. Seolah-olah mereka menganggap tidak ada masalah besar dalam 1965, dan bahwa kesadaran dan pikiran mereka sepenuhnya telah terbentuk oleh propaganda sistematis Orde Baru selama ini. Orde Baru yang dimaksud bukan saja era rejim Suharto sejak 1966 hingga 1998, tetapi juga era setelahnya hingga kini, yang cocok disebut sebagai neo-Orba. Orba dan neo-Orba telah sangat berhasil menjadikan peristiwa 1965 sebagai peristiwa sejarah yang tidak memalukan dan justru diperlukan untuk menyelamatkan Indonesia dari Komunisme. Versi Orba mengenai ini, yang merasuk di alam pikiran generasi muda hingga kini adalah “tindakan penyelamatan Indonesia dari kudeta yang dijalankan oleh pihak Komunis yang akan mengganti Panca Sila dan menggantinya dengan pemerintahan komunis yang atheis”. Versi semacam ini telah berhasil menggiring pikiran dan kesadaran semua lapisan masyarakat Indonesia untuk tidak mau mengakui adanya genosida besar-besaran tersebut dan bahkan memastikan bahwa tindakan-tindakan pada saat itu oleh kalangan militer Jendral Suharto diperlukan untuk menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia.

Padahal dapat dengan jelas kita simpulkan, dari semua fakta-fakta sejarah dan analisa-analisa sesudahnya mengenai peristiwa G30S 1965, bahwa akibat dari peristiwa itu telah menyingkirkan Sukarno dari kekuasaannya, dan menyingkirkan Partai terbesar saat itu (PKI) yang berpihak pada Sukarno dan menjadi pendukung utamanya, serta menerapkan shock-therapy sekeras-kerasnya pada masyarakat agar ajaran-ajaran Sukarno, Komunisme, Nasionalisme Kiri dan semua ideologi kiri yang ada di sekitarnya tidak hidup lagi atau musnah selamanya. Semua itu sangat jelas dan tidak memerlukan analisa muluk-muluk, untuk menjelaskan apa sebenarnya arti dari peritiwa 1965 tersebut, siapa-siapa yang diuntungkan dan siapa-siapa yang disingkirkan. Jelas sekali bagi kita untuk menyatakan bahwa peristiwa 1965 adalah sebuah kudeta terencana dari Jendral Suharto dan komplotannya untuk menggulingkan Presiden Sukarno dan menghabisi sekali dan selamanya PKI dan gerakan kiri Indonesia, agar tidak pernah hidup kembali. Dan tujuan-tujuan itu telah tercapai dengan gilang-gemilang, genosida terburuk dalam abad 20, tanpa rasa bersalah dan lewat pembenaran-pembenaran yang sempurna. Tangan-tangan berdarah dari para algojo-algojonya dan dalang-dalangnya masih ada sampai sekarang, sehingga menjadi pembenaran untuk semakin menutupi peristiwa tersebut dengan semua propaganda busuk tentang 1965. Sebuah pemutar-balikan yang par-exellence dari rejim Suharto dan konco-konconya hingga sekarang.

Dan yang luar biasa, bahwa pembantaian terbesar tersebut dilakukan secara resmi oleh sebuah institusi Negara, yaitu Negara Orde Baru dengan semua perangkatnya dari atas ke bawah, dan dengan semua aparat propagandanya sejak dari pendidikan, kebudayaan hingga ideologi Negara. Semua itu dipertahankan selama 32 tahun rejim Suharto secara masif, dan hingga kini oleh Negara neo-Orba, yang dalam banyak hal adalah kelanjutan dari Orba, meskipun banyak upaya pembersihan diri dan penyangkalan sebagai kelanjutan Orba. Tapi segala sesuatunya sebenarnya tidak banyak berubah. 1965 masihlah sebuah tabu politik, dan siapapun yang hendak membuka selubungnya dan seluruh kebusukan di dalamnya akan segera berhadapan dengan aparat kekerasan, mulai dari preman-preman berjubah, ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh publik konservatif, sampai dengan aparat intelijen, polisi dan militer. Segala sesuatunya mengindikasikan bahwa isu 1965 adalah fondasi utama keberadaan Orde Baru, dan karenanya harus dijaga sedemikian kuatnya.

Memang benar sekali, bahwa 1965 adalah titik dimulainya kekuasaan Orba dan fondasi dasar sebuah rezim fasis-militeris yang hendak mempertahankan sebuah kekuasaan jahat dari para Kapitalis Birokrat (kapitalis rente). Sebagaimana diketahui Kapitalis Birokrat (disingkat Kabir) adalah sisa-sisa feodalisme di Indonesia yang akumulasi modalnya (kekayaannya) didasarkan pada kekuasaan politik, bukan pada praktek bisnis kapitalisme modern. Karenanya Kabir tidaklah dapat disebut sebagai kapitalisme modern. Dia adalah sisa-sisa yang masih kuat dari para penguasa feodal politik, yang berwujud kelompok militer terutamanya para Jendral; penguasa-penguasa berlatar belakang kekuasaan tradisional yang memakai agama atau adat atau privilese feodal mereka sebagai topeng penggenggam kekuasaan, dan para birokrat pengendali kekuasaan yang berkepentingan untuk mengkorupsi kekayaan Negara secara aman. Bahkanpun preman atau bandit merupakan bagian feodalisme yang dipakai penguasa untuk melestarikan kekuasaan mereka. Semua ini mudah dijumpai dalam politik sehari-hari di Indonesia, karena terjadi setiap harinya. Karenanya tidak heran bahwa sejak fenomena rezim Kabir itu ada di tahun 1950an, maka sampai kini rasanya tidak banyak perubahan yang terjadi. Rezim Kabir terus berkuasa di Indonesia, mempertahankan kekuasaan fasisnya dengan sedikit modifikasi reformasi kelembagaan maupun citra di tahun 1998, dan mempertahankan wacana 1965 sebagaimana yang telah dilakukan Suharto dan komplotannya.

Selama pendefinisian peristiwa 1965 masih seperti diatas, dimana PKI dijadikan tertuduh utama atas alasan sebagai pelaku kudeta dengan sifatnya yang anti-agama dan anti-Panca Sila, maka Kabir masih akan terus berjaya. Dengan definisi itu, mereka merasa akan selalu mendapat klaim sebagai pembela utama negeri ini dan bahwa proyek-proyek yang lahir darinya akan selalu absah dalam politik Indonesia. Mereka lupa bahwa jaman terus bergerak dan berubah. Mereka bisa saja terus mengelabui dan membodohi generasi-generasi mudanya, akan tetapi mereka juga telah menempatkan diri mereka sendiri dalam keterbelakangan dan ketidakberadaban berpikir. Era informasi saat ini sesungguhnya tidak akan bisa mereka lawan. Kini tidak ada lagi instrumen atau sistem pengawasan atau sensor jenis apapun yang bisa menghalangi dibukanya berbagai informasi baru atau informasi alternatif atas peristiwa 1965. Dan generasi muda masa kini yang lebih dekat dengan arus informasi tersebut, tidak bisa lagi dipengaruhi atau dibohongi.

1965 adalah sebuah genosida memalukan dari bangsa ini yang hendak ditutup-tutupi terus, dengan kebodohan dan kepicikan rezimnya. Akan tetapi mereka tidak akan bisa berhasil lagi. Zaman akan menghadapi mereka dengan lebih keras. Kaum Kabir merasa dunia adalah milik mereka dan praktek-praktek korupsi-kolusi-nepotisme serta penindasan hendak mereka lestarikan. Dan itu tidak akan bisa dipertahankan lagi, karena mereka menghadapi dunia yang lebih besar, arus informasi yang lebih kuat dan kemerdekaan berpikir yang lebih luas. Kabir adalah sebuah anakronisme. Kabir juga adalah musuh kapitalisme modern. Sudah saatnya menghabisi Kabir kini untuk selama-lamanya.

Bila saat ini pemutaran film Jagal dan Senyap masih terus dihantui oleh aksi-aksi kekerasan FPI atau FAKI dan sejenisnya, maka hal itu hanya menunjukkan sisa-sisa ketidakberadaban sistem kabir tersebut. Semua orang yang merasa masih waras dan sehat pikirannya akan menolak praktek-praktek Kabir tersebut. Preman-preman bayaran adalah prototipe kuno centeng-centeng ala tuan tanah feodal dan kolonial. Sudah saatnya mereka dihapuskan segera dari bumi Indonesia.

Tidak ada kata lain selain menyatakan bahwa isu 1965 adalah tuntutan akan keadilan, tuntutan akan keberadaban dan kewarasan sebuah bangsa, dan terutama sekali tuntutan akan kemanusiaan yang adil dan beradab! 1965 adalah genosida terburuk dalam sejarah Indonesia modern dan juga sejarah dunia modern. Levelnya setara dengan genosida zaman Hitler di Jerman. Suharto dan komplotannya tidak akan bisa lari dari pengadilan sejarah, sama seperti Hitler dan komplotannya di Jerman tidak bisa lari dari pengadilan Nueremberg. Hanya bila genosida 65 bisa dituntaskan oleh pemerintah Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, maka barulah bangsa ini dapat melangkah ke tahap berikutnya dari kemajuan yang hendak dicapainya, sebuah kemanusiaan Panca Sila diantara kemanusiaan bangsa-bangsa lain di dunia. Bila 1965 bisa dituntaskan dengan pengakuan akan kejadian-kejadian yang sebenar-benarnya dan permohonan maaf kepada para korban genosida maupun para penyintas yang masih trauma dengan kejadian tersebut, maka barulah Indonesia sebagai bangsa bisa bersatu kembali tanpa beban-beban masa lalu tersebut. Tanpa itu, Indonesia adalah sebuah rumah keluarga yang terpecah-belah, yang tidak mungkin bisa maju dalam peradaban modern, terseok-seok sebagai orang tidak beradab dan hina-dina.

Majulah Indonesia di usianya yang ke-70 Tahun. Mulailah dengan menyelesaikan setuntasnya 50 tahun genosida 65!

Jakarta, September 2015

* Penulis kelahiran Yogyakarta pada 1961, adalah Direktur Eksekutif di Resistance and Alternatives to Globalization (RAG) di Jakarta. Lulus dari FISIP-UI jurusan ilmu Politik tahun 1988. Lalu aktif di berbagai Ornop/LSM diantaranya Bina Desa, ISJ, KPA, NOVIB, INFID, IGJ dan sebagainya. Telah menerbitkan banyak buku diantaranya “Peralihan ke Kapitalisme di Dunia Ketiga”, “Menggugat Globalisasi”, “Globalisasi Pertanian”, dan bukunya terakhir adalah “Jaringan Rantai Kapitalisme Global”.

This post is also available in: Indonesian