“Sekali saya katakan bahwa Indonesia bukan negara komunis sesuai tap MPRS XXV tahun 1966 dan sesuai KUHP pasal 107 bahwa atribut dan logo PKI dalam segala bentuk jenis perwujudan tidak diperkenankan di Negara Kesatuan Republik Indonesia,”
kata Rizieq Shihab saat ditemui awak wartawan di Rumah Joeang 45, Menteng, Jakarta, Jumat (20/1/2017), soal logo BI di uang rupiah baru.
Rizieq benar untuk sebagian, namun pelarangan simbol komunisme yang terwakili oleh perpaduan gambar palu dan arit tak secara eksplisit disebutkan di dalam kedua dasar hukum itu. Pelarangan hanya berlaku pada penyebaran ideologi komunisme, Marxisme-Leninisme, terutama jika bertujuan untuk menggulingkan Pancasila.
Gubernur BI Agus Martowardojo membantahnya, berkata bahwa teknik “rectoverso” dalam logo BI itu merupakan bagian dari unsur pengaman uang Rupiah. “Di Indonesia, rectoverso telah digunakan sebagai unsur pengaman Rupiah sejak tahun 1990-an. Sementara logo BI telah digunakan sebagai rectoverso uang Rupiah sejak tahun 2000,” jelasnya.
Meski telah dibantah, Rizieq tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Tak butuh waktu lama agar isu tersebut menyebar luas di kalangan netizen Indonesia, terutama di barisan pendukung setia sang imam besar Front Pembela Islam (FPI). Kekhawatiran terhadap kebangkitan Partai Komunis Indonesia menyeruak. Semua berawal dari satu logo yang diklaim mirip palu arit.
Di panggung politik nasional, sikap Rizieq masih mendapat tempat sebab fobia atas segala hal berbau komunisme masih berkembang subur. Bukti bahwa propaganda rezim Orde Baru masih melekat dalam benak banyak orang. Sementara dalam konstelasi politik yang lebih luas, Indonesia bukan satu-satunya negara yang berupaya keras memberangus segala atribut dan simbol terkait komunisme di muka umum.
Mengapa Palu Arit?
Simbol yang menakutkan itu (bagi sebagian orang), selalu mewujud dalam perpaduan minimal dua benda sederhana: palu dan arit. Pernahkah bertanya mengapa gerakan komunisme sedunia memakai simbol tersebut dalam perjuangannya?
Dalam catatan International People’s Tribunal 1965 berjudul “The Spectre of Hammer and Sickle”, palu mewakili kaum buruh, sementara arit mewakili petani. Saat digabungkan, keduanya bersama-sama mewakili persatuan kaum proletar dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan setara.
Simbol ini dipakai pertama kali selama Revolusi Rusia namun tak menjadi simbol resmi Russian Soviet Federative Socialist Republic (Russian SFSR atau RSFSR) hingga 1924. Simbol ini kemudian dipakai oleh berbagai golongan komunis dan negara-negara sosialis sedunia.
Simbol lain yang kerap disandingkan dengan palu arit adalah bintang lima berwarna merah, yang pertama kali digunakan dalam Revolusi Oktober 1917 dan dilanjutkan perang sipil di Rusia. Simbol ini digunakan secara luas oleh gerakan dan partai anti-fasisme serta organisasi bawah tanah Eropa selama Perang Dunia II.
Kini simbol ini juga masih dipakai oleh partai komunis dan sosialis sedunia, bersanding dengan palu arit maupun atribut khas negara masing-masing. Baik palu arit dan bintang merah biasanya dituangkan dalam bendera berwarna merah dengan makna yang serupa: yakni perjuangan kelas proletar melawan penindasan borjuisme dan kapitalisme.
Dekomunisasi yang Tersandung Kebebasan Berekspresi
Dalam perjalanan sejarah pertentangan ideologi di Amerika Serikat, Zechariah Chafee Jr., mamaparkan dalam bukunya, Freedom of Speech, bahwa ketakutan akut terhadap komunisme pernah melanda dataran Negeri Paman Sam di era 1919-1920. Akibatnya banyak negara bagian yang mengharamkan berkibarnya bendera merah, sebagai atribut komunisme, di ruang publik. Mereka antara lain Minnesota, South Dakota, Oklahoma, dan California.
Namun, berbeda dengan di Indonesia, hak atas kebebasan berekspresi kemudian bisa menjadi dasar bagi pihak-pihak yang menganggap peraturan itu konyol dan perlu dihapuskan. Dalam kasus Stromberg vs California pada 1931, Mahkamah Agung memuturkan larangan tersebut tidak konstitusional karena melanggar Amandemen ke-14 tentang hak-hak sipil.
Kasus serupa pernah terjadi di sejumlah negara bekas kekuasaan Uni Soviet. Di Moldova, misalnya, pada 2009 parlemen Moldova mencoba untuk mengajukan hukum larangan publikasi simbol komunisme di ruang publik. Hukum tersebut berhasil disetujui dan mendapat efeknya pada 2012. Namun Mahkamah Konstitusi Moldova kemudian memutuskan hukum tersebut tak konstitusional.
Demikian juga di Georgia, pelarangan simbol komunisme pernah dikenalkan pada 2010, namun gagal diaplikasikan sebab tak menemui kata sepakat atas sanksi apa yang akan diberlakukan bagi para pelanggar. Usaha serupa kemudian diujicobakan kembali empat tahun berselang. Ada perubahan-perubahan yang mencoba digodok kembali. Meski demikian, pada 2015 hukum tersebut tetap tidak aktif.
Pada 30 November 2006, pemerintah Estonia menandatangani rancangan undang-undang untuk melarang pubikasi politis simbol-simbol Soviet maupun Nazi di tempat umum. Pada 24 Januari 2007, rancangan tersebut sempat sampai ke proses pembacaan pertama oleh parlemen. Isinya pelarangan bendera, lambang, dan atribut Uni Soviet lain, pun atribut serta simbol Partai Komunis Uni Soviet, Partai Nazi Jerman NSDAP, dan organisasi SS. Sayang, undang-undang tersebut gagal di tingkat komite parlemen sebab dianggap melanggar hak atas kebebasan berekspresi.
Kegagalan yang sama dialami oleh sejumlah negara-negara di Eropa Tengah dan Timur yang pernah masuk Eastern Block, negara-negara komunis yang dulu pernah membentuk kerja sama politik dengan Uni Soviet.
Pada 2009, misalnya, Polandia membentuk peraturan yang akan melarang “fasis, komunis, atau simbol totalitarian lainnya” kecuali digunakan “sebagai aktivitas seni, edukasi, atau akademik”. Hanya tiga tahun berselang, yakni pada 19 Juli 2011, Constotutional Tribunal of Poland menilai pelarangan ini tidak konstitusional dan melanggar hak atas kebebasan berekspresi.
Perjuangan menghapuskan simbol-simbol ”jahaman” diupayakan di Republik Ceko pada 2005 dengan pengajuan petisi. Dua tahun berselang amandemen baru diajukan demi penegakan atas pelarangan simbol komunisme secara resmi. Kedua usaha itu menemui kegagalan. Hal yang sama terjadi di Hungaria yang mencoba memberlakukannya pada tahun 2000 namun lagi-lagi ditentang atas dasar pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi.
Kenangan pada Komunisme
Meski demikian, tak semua negara menemui kegagalan. Pelarangan simbol palu arit dan sejenisnya telah terbit di Lithuania maupun Latvia sejak 2008. Di Romania, pelarangan simbol komunisme serupa dengan yang ada di Indonesia: tak secara eksplisit disebutkan dalam undang-undang, namun tetap ditegakkan demi kelancaran proses dekomuniasasi. Peraturan ini terbit sejak 1991, tahun ketika Uni Soviet runtuh berkeping-keping dan menandai berakhirnya Perang Dingin yang berlangsung lebih dari empat dekade.
Pada 2012 silam, kota Lviv di bagian barat Ukraina, melakukan pelarangan simbol-simbol komunis di muka umum. Sebagai bagian dalam proses mengikis segala unsur komunisme di negara tersebut, pada 2015 pemerintah Ukraina juga menguasahakan terbitnya undang-undang pelarangan simbol dan atribut komunisme.
Pada 9 April 2015, legislator Ukraina sukses meloloskan peraturan tersebut dan menandai kemenangan barisan anti-komunisme di negara tersebut. Dalam laporan BBC, pelarangan itu akan diterapkan untuk menyingkirkan monumen, tempat, hingga nama jalan yang berbau komunis. Pelaksanaan peraturan tersebut maksimal enam bulan terhitung sejak disahkan.
Ribuan patung akan dihancurkan, jutaan nama jalan akan diganti, dan proses maha besar ini terhitung menghabiskan tenaga adminstrasi yang luar biasa besar. Di tahun yang sama sebenarnya Ukraina sedang menderita krisis keuangan akibat perang, namun barisan anti-komunis di Ukraina percaya bahwa rencana besar itu setara harganya dengan cita-cita Ukraina yang ingin memutuskan diri dengan masa lalu.
This post is also available in: Indonesian