Ingatan Muawanah Ibrahim masih jernih. Ia merekam jelas tragedi yang terjadi 51 tahun lalu itu. Para santri dan kiai diserang massa bersenjata. Mereka tergabung dalam Partai Komunis Indonesia dan sejumlah organisasi sayap partai itu. Perempuan 70 tahun itu sengaja datang dari Kediri untuk menghadiri acara Simposium Nasional bertajuk “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain” di Balai Kartini, Jakarta, Kamis (2/5).
Di sela acara, Muawanah bercerita tentang pengalaman kelam itu. Tragedi penyerangan besar-besaran oleh PKI kepada kalangan pesantren untuk pertama kalinya di Kediri. Kala itu Muawanah masih berusia 18 tahun. Dia baru menamatkan sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA), setaraf Madrasah Aliyah Negeri.
Muawanah mengikuti pelatihan kaderisasi yang diadakan Pelajar Islam Indonesia di Pondok Pesantren Al-Jauhar, Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, Jawa Timur. Liburan sekolah di bulan Ramadhan dimanfaatkan untuk mengikuti pelatihan. “Memang sudah menjadi kebiasaan Pelajar Islam Indonesia, setiap ada liburan diadakan pelatihan,” katanya saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Muawanah mengikuti pelatihan mental yang berisi kegiatan penguatan nilai keagamaan. Pada waktu yang bersamaan digelar pula pelatihan tingkat dasar dan training kepemimpinan. Pelatihan itu dimulai pada 9 Januari dan direncanakan berakhir pada 22 Januari 1965. Pesertanya terdiri dari 127 santri usia sekolah menengah atas. Pelatihan berhenti di tengah jalan.
Rabu, 13 Januari 1965. Langit masih gelap ketika Muawanah dan teman-temannya berada di asrama putri. Usai melaksanakan salat subuh, mereka hendak mengikuti kuliah umum.
Dor… dor… dor… Dari dalam ruangan, Muawanah mendengar suara tembakan. “Itu kode ternyata,” katanya. Setelah bunyi tembakan, sekitar ribuan orang datang berbondong-bondong menyerang asrama putra dan putri serta masjid. Pintu asrama putri digedor. Ketika dibuka, para pria langsung menyerang masuk. Muawanah dan santriwati lain pun ketakutan. “Bayangkan, kami masih anak usia SMA,” katanya.
Para penyerang langsung melontarkan kata makian. “Ini antek Belanda, antek Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), seret saja!” ujar Muawanah menirukan para penyerang. Muawanah juga menyaksikan bagaimana salah satu temannya dilecehkan oleh sejumlah pria yang masuk ke asrama. Namanya Khotijah, asal Kertosono. “Dia memang cantik anaknya, dilecehkan kemudian digerayangi semua, itu tidak hanya satu anak, kurang ajar sekali,” ujar perempuan kelahiran Blitar, 1946.
Para penyerang lalu mengambil Alquran, menginjak-injak, kemudian memasukkannya ke karung. Setelah itu para santri digiring keluar sambil diiringi umpatan kemarahan kader dan simpatisan PKI. Sebagian massa anggota PKI masuk ke masjid tanpa melepas alas kaki. Lantai masjid pun becek karena saat itu musim hujan. Mereka juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Ponpes Al-Jauhar. Muawanah menyaksikan para kiai diseret keluar dan dianiaya.
“Mereka ditempeleng, pokoknya direndahkan, dihina, dimaki dan sebagainya,” katanya. “Itu kiai sedang ada di masjid.” Muawanah baru menyadari tim keamanan pesantren yang mayoritas pria telah diikat beruntun satu sama lain. Kaki dan tangan mereka diikat. Mereka kemudian digiring menuju kantor polisi.
“Yang mestinya kalau ke kantor polisi Kras, kira-kira setengah kilometer tapi ini mubeng (berkeliling) sampe dua kilometer lebih,” katanya. Mereka diajak menyusuri pematang sawah. Di tengah perjalanan, para santri dan kiai diintimidasi. Mereka diancam akan dibunuh. Makian tak hentinya dilontarkan kepada mereka.
“Kalau sampai ada yang lari, bunuh,” kata Muawanah mengenang. Pukul enam pagi, mereka diserahkan kepada kepala kepolisian.
Salah seorang panitia pelatihan, Sunarsih, mengenali salah satu pelaku penyerangan. Namanya Suryadi, pimpinan organisasi sayap PKI, Pemuda Rakyat di desa itu. “Yang ambil pistol dan menembak ke atas itu namanya Suryadi, Ketua Pemuda Rakyat. Jadi semua tahu kalau itu PKI,” kata Sunarsih.
Dari situ warga pesantren mengidentifikasi bahwa penyerangan itu dilakukan oleh PKI dan underbouwnya, seperti Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia (BTI). “Yang tidak ada hanya Gerwani,” kata Sunarsih. Saat itu, Muawanah tidak paham mengapa PKI menyerang kalangan pesantren. “Mungkin itu test case dia (PKI) untuk mengadakan pemberontakan 1965,” katanya.
Sebelum kejadian di Kanigoro, sejumlah anggota PKI dibunuh di Madiun dan Jombang pada akhir 1964. Pembunuhan itu diduga dilakukan oleh kelompok santri. Kader PKI berusaha melakukan aksi balas dendam di Kanigoro. Usai penyerangan di Kanigoro, delapan bulan kemudian pecah peristiwa penculikan disertai pembunuhan tujuh jenderal di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kejadian itu dikenal dengan Gerakan 30 September. PKI dituding sebagai dalangnya.
Kemarahan kelompok santri atas Tragedi Kanigoro akhirnya meluap pasca peristiwa G30S. Kaum pesantren ikut membantai kader, simpatisan, dan orang-orang yang dituduh dekat dengan PKI. Pembunuhan massal mencapai klimaks saat Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 disahkan dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang.
This post is also available in: Indonesian