Suti, mantan aktivis Gerwani saksi tragedi 1965. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Suti, mantan aktivis Gerwani saksi tragedi 1965. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Ingatan Suti masih kuat, namun trauma masa lalu membuatnya menangis dan berteriak-teriak pada malam hari.

Aku lahir di Musuk, sebuah kecamatan di Boyolali yang terletak di kaki Gunung Merapi, 96 tahun lalu. Persisnya, 15 Maret 1920. Anak seorang petani miskin. Tetapi, aku punya keinginan kuat untuk belajar sejak kecil meskipun orang tuaku tak mampu membiayai. Sampai-sampai aku rela ngenger (mengabdi) ke seorang keluarga kaya agar aku bisa disekolahkan di Sekolah Rakyat (SR).

Seorang carik desa kemudian mengambil aku sebagai teman perempuan anaknya. Kami berdua disekolahkan. Aku cukup beruntung bisa bersekolah karena waktu itu tidak banyak anak perempuan miskin yang bisa mendapat pendidikan SR.

Namun, sekolah ternyata tidak mengubah nasibku. Aku hanya berjualan sirih di pasar-pasar desa sewaktu muda. Dulu, ibu-ibu di desa biasa nginang (mengunyah daun sirih, buah pinang, kapur, dan tembakau, -red) untuk membuat giginya kuat.

Aku seorang penjual sirih yang bisa baca-tulis. Saat pedagang di pasar hanya berkutat dengan hitung-hitungan jual-beli, aku sudah membaca surat kabar dan majalah pada masa kemerdekaan. Aku mengikuti kabar perkembangan zaman.

Tahun 1951, suatu pagi, aku pergi berjalan kaki ke pasar Jatinom, Klaten, untuk berjualan sirih. Di jalan, aku menyaksikan ada kerumunan perempuan di sebuah rumah yang menarik perhatianku.

Aku pun mendekat, mencari tahu. Ternyata sebuah perkumpulan para perempuan yang menamakan dirinya Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis). Seseorang menghampiriku dan mengajakku bergabung.

Aku mendengar orang-orang di sana berbicara soal persamaan laki-laki dan perempuan dalam hak waris, perkawinan, pendidikan; kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki; penolakan terhadap poligami dan poliandri – mendukung monogami. Aku terpikat.

Aku sangat setuju dengan mereka. Aku adalah istri ketiga, korban poligami dari sebuah pernikahan yang dijodohkan oleh orangtua. Sebuah perkawinan yang tidak adil dan menyakitkan bagi perempuan.

Peran perempuan di Jawa saat itu tak lebih dari masak, macak, manak (memasak, berdandan, melahirkan). Kegiatannya tak jauh dari kasur, dapur, sumur. Sejak kecil, aku ditanamkan bahwa perempuan (istri) ibarat “swarga nunut, neraka katut” – perempuan hanya mengekor di belakang laki-laki, tak boleh punya pendirian. Aku ingin perempuan juga seperti laki-laki, dan bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki.

Aku semakin terlibat aktif dalam pergerakan yang berideologi sosialis-feminis yang didirikan SK Trimurti itu. Ini adalah pengalaman pertamaku berorganisasi. Aku sering berpidato setiap ada kegiatan di Jatinom dan Musuk, mengajarkan dan menyadarkan kaum perempuan terhadap hak-hak mereka.

“Siapa yang mengandung, menyusui, dan melahirkan laki-laki dan perempuan? Ibu kita. Seorang perempuan. Perempuan berjuang untuk kehidupan, tetapi mereka tidak diperlakukan sama dengan laki-laki,” itu kata-kataku untuk mengajak para perempuan bergabung dan memperjuangkan kesetaraan.

Perjuanganku berlanjut pada 2 Februari 1952 ketika Gerwis di Musuk dideklarasikan, dan aku terpilih menjadi ketuanya. Ketika pada Kongres 1954 di Jakarta, Gerwis berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), seluruh cabang organisasi ikut berganti nama.

Kemudian aku menjadi ketua bidang organisasi Gerwani Boyolali yang saat itu memiliki anggota lebih dari 2.000 orang dan terus bertambah sampai 4.000 orang, termasuk dari Kabupaten Semarang.

Kegiatanku dan kawan-kawan selain menyadarkan perempuan atas hak-haknya, juga mendirikan TK di desa-desa dan sekolah bagi perempuan yang buta huruf. Semuanya gratis, dan diperuntukkan bagi anak-anak dan perempuan yang tidak mampu. Dana kegiatan Gerwani dikumpulkan dari iuran anggota.

Aku pun menjadi saksi pemilihan umum (pemilu) pertama kali di negeri ini tahun 1955. Seingatku, ada empat partai besar saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Gerwani tidak memiliki hubungan organisasi dengan PKI, tetapi memang banyak anggotanya, termasuk aku, yang mencoblos PKI pada pemilu karena kesamaan ideologi sosialisme. Keputusan Gerwani untuk mendukung PKI atau tidak baru akan dibahas dalam Kongres Desember 1965.

Aku menjadi pengurus Gerwani hingga 1957.  Setelah reorganisasi, aku hanya menjadi aktivis biasa meskipun masih sering mengikuti berbagai kegiatan penting. Pergolakan politik tahun 1965 mengakhiri semuanya. Gerwani difitnah terlibat dalam pemberontakan dan penyiksaan para jenderal di Jakarta. Semua aktivis, pengurus, dan anggotanya diburu dan ditangkap. Organisasinya dinyatakan terlarang.

Boyolali yang dianggap salah satu basis komunis di Jawa Tengah menjadi tempat berburu pendukung PKI oleh tentara. Aku dikejar-kejar “baret merah” dan sekelompok Pemuda Marhaen yang mengancam akan membunuhku dan membakar rumahku.

Saat itu, rumah-rumah yang ditandai sebagai milik aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI) atau Gerwani dibakar. Penghuninya ditangkap, dipenjara tanpa pengadilan, atau dieksekusi mati.

Aku berhasil lari meloloskan diri ke sebuah desa dan menyamar menjadi petani di sebuah kebun sehingga tidak dicurigai sebagai aktivis Gerwani. Kemudian, aku bertemu dengan seseorang yang masih punya hubungan saudara denganku.

Tak disangka, ia diam-diam malah melaporkanku kepada tentara agar aku ditangkap karena dianggap membahayakan. Pelarianku berakhir.

Aku ditahan bersama 19 orang pemuda. Aku satu-satunya perempuan.

Suatu pagi yang gelap, kami diangkut dengan truk dan dibawa ke sebuah desa untuk menjalani pemeriksaan.

Para pemuda disuruh menggali lubang besar. Kemudian, pakaian kami dilucuti, benar-benar telanjang. Kami dijemur berdiam diri di bawah terik matahari hingga lewat tengah hari.

Aku menjalani hukuman topo pepe wudo sinjang rambut (bertapa dijemur telanjang hanya berbalut rambut). Beruntungnya, rambutku sangat panjang jika tidak digelung, dan bisa aku gunakan untuk menutupi kemaluanku.

Aku mengira kami akan segera dibawa ke penjara. Tetapi, dugaanku salah. Senapan menyalak berkali-kali, memecah siang yang sunyi. Satu per satu pemuda yang berdiri tegak roboh, tersungkur ke tanah tak bernyawa. Mereka dimasukkan ke lubang galian mereka sendiri. Sungguh mengerikan.

Aku merasa akan segera mati, menunggu peluru menembus dadaku. Namun, ketika tinggal sendiri, suara senapan malah berhenti. Aku mendengar dua tentara berbincang.

“Perempuan tua itu dibunuh sekalian atau tidak? Dia berbahaya,” kata seorang tentara kepada temannya.

“Biarkan saja, besok juga mati,” sahut yang lainnya.

Eksekusi selesai. Aku belum lega lolos dari maut hari ini. Pikiranku masih saja dibayangi ketakutan bahwa aku akan ditembak besok pagi. Aku masih terteror oleh pembantaian tadi.

Malam harinya, aku diberi makan sepiring nasi, lalu aku makan dengan lahap sampai habis. Biarkan nasi ini menjadi makan terakhirku dan bekal matiku besok, begitu kataku dalam hati.

Pagi harinya, aku malah dipindahkan ke dapur umum tentara. Aku menjadi pelayan mereka. Hampir setiap hari aku mengalami intimidasi dan teror.

“Kamu tahu ini apa, ini untuk membunuh kamu,” kata seorang tentara sambil menodongkan pistol ke kepalaku dari dekat, berusaha mengancamku.

Aku tak juga dieksekusi atau dibuang ke penjara Plantungan seperti aktivis Gerwani lainnya. Aku masih bertahan di dapur umum, sampai suatu hari seorang tentara memanggilku.

“Kamu ingin bebas?” kata seorang tentara kepala.

“Iya, Pak,” kataku tanpa berpikir panjang.

“Kamu bisa saya bebaskan tapi ada syaratnya. Kamu harus bekerja sama dengan kami, memata-matai kalau ada organisasi, perkumpulan, atau rapat-rapat di desa-desa.”

Mungkin tentara itu tahu saya “orang lama” di Gerwani, sehingga dianggap punya banyak informasi tentang gerakan ini dan anggota lain yang masih bersembunyi.

“Setiap minggu kamu laporkan ke saya,” kata si tentara itu.

Aku pun menyanggupinya, tetapi aku tidak pernah memberikan informasi apapun saat melapor. Aku menyampaikan bahwa tidak ada rapat-rapat gelap di desa, semuanya aman.

Ketika pulang, ternyata rumahku masih ada, tidak jadi dibakar. Tetapi, semua isi rumah raib dirampas orang. Suamiku tewas gantung diri di pohon.

Tak ada yang tersisa, kecuali Basuki, anak laki-lakiku yang masih kecil. Aku akhirnya dibebaskan tanpa syarat, karena pertimbangan aku harus mengasuh anakku.

Tetapi sulit bagiku untuk kembali ke masyarakat. Banyak orang di desa memusuhiku, mengucilkan, dan tidak mau lagi bertegur sapa. Aku dianggap seperti penjahat yang baru keluar penjara.

Seorang pamong desa kemudian menawarkan sesuatu. Aku tetap bisa ikut memilih dalam pemilu, tetapi aku harus ikut kehendak mereka agar bisa tetap hidup aman. Aku diharuskan mencoblos partai berlambang pohon beringin.

Tak ada lagi gerakan perempuan di zaman Orde Baru, diganti dengan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Perempuan dibungkam dan peran utamanya dikembalikan ke dalam urusan domestik rumah-tangga – mengurusi keluarga.

Beberapa kali aku bertemu dengan kawan-kawan mantan tahanan 1965 ketika bergabung dalam Paguyuban Korban Orde Baru. Tetapi ada juga yang hilang tanpa kabar.

Sekarang ada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang membantu kami mengungkap pelanggaran HAM berat 1965-66. Tetapi, aku tidak tahu apakah penegakan HAM akan berhasil. Orang-orang seusiaku yang menjadi saksi sejarah meninggal satu per satu.

Aku hanya berharap ada orang-orang yang terus berjuang untuk perempuan. 

Cerita ini dituturkan oleh Suti (96 tahun), aktivis Gerwis/Gerwani penyintas tragedi kemanusiaan 1965, kepada Ari Susanto dari Rappler. Suti kini tinggal bersama anaknya di sebuah desa di Musuk, Boyolali.

Sumber : Rappler.com, 2 Februari 2016

This post is also available in: Indonesian