Senin, 20 Maret 2017 | 10:49 WIB

Jakarta — Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan serius 1965-1966 atau International People’s Tribunal (IPT) memutuskan ada 9 unsur kejahatan manusia dalam pemerintahan Indonesia 1965-1966. Sidang yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada 10-13 November tersebut bahkan menyimpulkan adanya kejahatan genosida pada masa itu.

Melalui hasil sidang tersebut, anggota Komisi Nasional Perempuan Mariana Amiruddin meminta pemerintah membuka mata lebar-lebar terhadap peristiwa keji tersebut. Dia meminta Presiden Joko Widodo peduli dan menegakkan keadilan bagi korban 1965-1966.

“Pak Presiden Joko Widodo, peristiwa (kejahatan) 1965 itu benar adanya,” tegas Mariana di Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Minggu 19 Maret 2017.

Mariana berusaha meyakinkan pemerintah. Pasalnya, hingga kini pemerintah dinilai suam-suam kuku menindaklanjuti permasalahan tersebut. Hingga kini, pemerintah masih meminta bukti terjadinya kejahatan pada 1965.

“Padahal sudah jelas ditemukan adanya 120 titik kuburan massal di sejumlah daerah di Indonesia. Namun kami tak memiliki wewenang untuk menyelidiki lebih lanjut kuburan tersebut,” terang dia.

Manipulatif

Sementara itu, perwakilan Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Rahmah beranggapan, pemerintah berusaha membelokkan kejelasan peristiwa itu dengan membentuk Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Pembentukan dewan ini dianggap sebagai langkah menghilangkan kebenaran sesungguhnya.

“DKN menjadi sebuah lembaga yang memanipulasi langkah-langkah rekonsiliasi menjadi kerukunan dan menyingkirkan tahap penting pengungkapan kebenaran,” terang Rahmah, kemarin.

Sementara posisi Komnas HAM dalam hal ini pun dianggap mandul. Rahmah mengatakan tak satu pun Petisi 2 Mei 2016 yang dijalankan Komnas HAM. Beberapa di antaranya ialah penyelidikan kuburan massal sebagai bukti kejahatan dan memproteksi bukti kuburan massal tersebut agar tidak dirusak.

“Tapi tak satu pun rekomendasi dilakukan. Negara bergeming dengan pelanggaran HAM yang terjadi,” tegas Rahmah.

Kongres IPT ’65

Merespons kondisi ini, Organisasi IPT ’65 di Indonesia berencana menggelar Kongres IPT ’65. Kongres ini dilakukan untuk terus mendesak negara setidak-tidaknya berani buka suara terkait kejahatan peristiwa 1965.

“Kami akan mendesak peristiwa ini melebih simposium. Kami akan bawa ke Kongres IPT untuk memperjuangkan ketidakadilan yang dirasakan para korban (peristiwa 1965),” kata panitia Kongres IPT ’65 Dolorosa Sinaga.

Dolorosa mengatakan, pihakya akan melakukan pra-kongres yang dilaksanakan di 9 kota. Pra-kongres akan diisi pembelajaran buku Laporan Akhir IPT ’65 dari Sidang di Den Haag, Belanda. Tujuannya agar masyarakat punya referensi lebih terkait kasus ini.

“Sebenarnya tidak ada yang baru dalam kasus ini. Tapi kita perlu ada strategi baru untuk membongkar kasus ini. Kita perlu masukan yang lebih substansial,” tegas Dolorosa.

http://lampost.co/berita/komnas-perempuan-kejahatan-1965-itu-benar-adanya

This post is also available in: Indonesian