Minggu, 19 Maret 2017 | 19:43 WIB
JAKARTA – International People’s Tribunal (IPT) 1965, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komnas Perempuan kembali mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kasus peristiwa 1965.
Pasalnya, hingga saat ini pemerintah dinilai belum membuat langkah konkret terkait penuntasan kasus 1965.
Padahal, janji tersebut tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 melalui pembentukan Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Reparasi Korban 1965.
Hari Wibowo dari IPT 1965 mengatakan, sejak putusan Sidang Mahkamah Rakyat Internasional bagi kejahatan kemanusiaan 1965-1966 pada Juli 2016, ada dua tuntutan yang sudah disampaikan kepada Komnas HAM.
Dua tuntutan itu yakni melakukan penyelidikan lanjutan atas fakta yang diungkap dalam persidangan dan memproteksi 120 titik kuburan massal yang berhasil ditemukan.
“Kami berikan data itu kepada Komnas HAM dengan harapan mereka mengambil langkah untuk memproteksi secara menyeluruh dan melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kasus HAM masa lalu, termasuk kasus peristiwa 1965,” ujar Hari dalam konferensi pers di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (19/3/2017).
“Logika hukumnya temuan baru harus ditindaklanjuti. Harus ada penyelidikan lanjutan oleh Komnas HAM,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, dalam kasus peristiwa 1965 telah terjadi kekerasan berbasis gender yang dialami oleh kaum perempuan.
Suara korban, khususnya kaum perempuan yang mengalami pemerkosaan, nyaris tidak terdengar. Sebab, sejak 1965 korban selalu mendapat tekanan dari negara, sehingga mereka tidak bisa mengungkapkan kekerasan yang dialami selama puluhan tahun.
Oleh karena itu, Mariana mendesak pemerintah segera menuntaskan kasus peristiwa 1965 melalui pengungkapan kebenaran dan pemulihan hak-hak korban.
“Suara mereka nyaris tidak terdengar. Pengungkapan kebenaran harus dilakukan oleh negara,” ucap Mariana.
Sementara itu, aktivis perempuan sekaligus perwakilan IPT 1965, Dolorosa Sinaga menilai, pasca-Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan oleh Kemenko Polhukam, pemerintah tidak berani menyelesaikan kasus 1965 secara tuntas.
Hal tersebut, kata Dolorosa, terlihat dari keengganan pemerintah mengumumkan hasil rekomendasi simposium nasional.
“Setelah simposium, negara tidak berani mengungkapkan hasil rekomendasi. Hingga saat ini hasil simposium berupa rekomendasi tidak kunjung diumumkan,” ujar Dolorosa.
Jalan panjang
Proses penuntasan kasus peristiwa 1965 mulai diinisiasi oleh pemerintah saat menyelenggarakan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Jakarta, pada 18 hingga 19 April 2016 lalu.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang menjadi penyelenggara saat itu dijabat oleh Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam simposium tersebut muncul berbagai fakta yang diungkapkan, baik oleh korban, keluarga korban, para pakar, dan pendamping korban.
Menurut para pakar yang hadir sebagai panelis, tragedi 1965 bukan merupakan hasil dari konflik horizontal melainkan konflik vertikal di mana negara memiliki tanggung jawab di dalamnya.
Menurut akademisi Ariel Heryanto, terlihat dari tiga indikator, yakni rentang waktu peristiwa pembunuhan massal 1965 yang berlangsung selama berbulan-bulan, jumlah korban yang begitu banyak, dan wilayah peristiwa yang meluas.
Dari sejumlah testimoni korban terungkap bahwa teror kepada korban dan keluarga korban masih terus berlangsung hingga saat ini. Selama berpuluh tahun korban dan keluarganya terus hidup dalam ketakutan dan perasaan tidak aman.
Selain itu, perlakuan diskriminatif juga kerap diterima oleh korban, baik secara sosial dan kultural. Akibatnya, hak-hak sebagai warga negara yang seharusnya merea rasakan tidak bisa dinikmati secara utuh.
Melalui simposium itu pula mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah agar hak-hak dasar mereka dipenuhi.
Ilham Aidit, anak dari petinggi PKI Dipa Nusantara Aidit, mengatakan bahwa jika pemerintah berniat menyelesaikan persoalan tragedi 1965 melalui jalur rekonsiliasi, maka harus melakukan empat hal.
Ia menegaskan setidaknya ada pengakuan resmi dari pemerintah atas pembunuhan massal yang terjadi terkait dengan pelurusan sejarah, permintaan maaf, pemenuhan hak-hak korban atas rehabilitasi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa depan.
“Jika meminta maaf itu hal yang sangat susah, paling tidak rehabilitasi sudah pantas diberikan kepada korban. Paling tidak kami bisa katakan bahwa kami bukan orang-orang yang salah, tapi orang-orang yang dipersalahkan. Selama ini kami dianggap orang berdosa dan bersalah sepanjang hidupnya. Itu berat sekali,” ujar Ilham.
Namun, hingga kini hasil rekomendasi simposium nasional tersebut belum diumumkan oleh pemerintah sebagai pijakan dari upaya rekonsiliasi.
Penantian para keluarga korban dan korban terhadap tuntutan mereka pun terasa semakin bertambah panjang.
Sumber: Kompas.Com
This post is also available in: Indonesian